Issues Opini

Di Antara Tuntutan Kawin dan Karier, Kata Siapa Lelaki Tak Menderita?

Lelaki juga bisa tertekan ketika terus-menerus dituntut untuk segera menikah dan punya karier tinggi.

Avatar
  • March 1, 2023
  • 4 min read
  • 919 Views
Di Antara Tuntutan Kawin dan Karier, Kata Siapa Lelaki Tak Menderita?

“Saya capek sama pernikahan saya, Pam, sama hidup saya. Berulang kali saya pengin menyudahi semuanya, tapi saya sayang sama ibu. Saya gak mau liat beliau sedih. Ah, tapi saya benar-benar belum mau menikah sebenarnya,” ucap Mas F suatu malam.

Siapa sangka, obrolan dengan senior tersebut bikin saya terus merenung hingga hari ini. Ternyata laki-laki juga bisa tertekan ketika dipaksa segera menikah oleh orang tua. Mas F konon dituntut untuk menikah karena umurnya dinilai pas untuk memulai keluarga baru. Saya pikir Mas F ini adalah kita, sebab ada banyak lelaki yang turut merasakan hal serupa.

 

 

Tekanan untuk menikah ini memang lebih banyak dialami oleh perempuan. Dalam hal ini ada anggapan–yang menurut saya usang–bahwa perempuan bakal cepat tua, punya usia reproduksi terbatas, dan sejenisnya. Padahal bisa jadi, perempuan merasa nyaman-nyaman saja untuk menikah. Pun, bisa jadi, bereproduksi, memiliki anak, tak menjadi tujuan final untuk mereka yang menikah.

Baca juga: 25 Tahun dan Hidup Melajang, Siapa Takut?

Demikian pula untuk lelaki yang bisa jadi keinginannya adalah berkarier sesuai passion-nya. Pun, menjalani hidup tanpa harus tersandera ekspektasi harus punya gaji segini segitu. Harus segera menikah, dan sejenisnya.

Di luar itu, ada alasan yang sama antara lelaki dan perempuan soal kenapa pernikahan menjadi tuntutan tersendiri. Selain dianggap sebagai identitas sosial, tuntutan untuk segera menikah ini berangkat dari latar belakang bahwa pernikahan adalah sumber kebahagiaan. Ini tergambar dalam riset Herdiyan Maulana, dkk. bertajuk “Development and Validation of the Indonesian Well-being Scale” (2019) yang terbit di Asian Journal of Social Psychology. Peneliti itu bilang, hubungan dengan keluarga adalah salah satu tolok ukur kebahagiaan yang penting.

Enggak heran jika pertanyaan–lebih serupa teror–kapan nikah, anak tetangga anak sudah satu terus kapan kamu mau nyusul, terus menggema saat acara-acara keluarga. Terlebih di momen Lebaran seperti yang akan datang.

Mas F adalah salah satu “korbannya”. Seorang lelaki yang tak punya kesiapan mental dan finansial, lalu di(ter)paksa untuk menikah cepat-cepat.

Baca juga: Pertanyaan-pertanyaan buat Lelaki yang Mempertanyakan Maskulinitas

“Penderitaan” kami tak selesai di situ. Para lelaki kebanyakan juga dituntut untuk punya karier tinggi di bidang-bidang yang kadang tak sejalan dengan mau yang sebenarnya. Katanya, agar jadi menantu idaman. Padahal sebenarnya bisa saja keinginan para lelaki sederhana, cuma ingin jadi manusia biasa-biasa saja. Lelaki yang biasa-biasa saja.

Dalam kasus Mas F, ia sering kali didesak oleh mertuanya untuk bisa berkarier lebih baik lagi ‘sesuai’ dengan pengharapan mereka. Ia diminta untuk menjadi pegawai negeri sipil (PNS) agar masa depannya lebih cerah. Tidak seperti sekarang saat ia masih bekerja sebagai karyawan swasta.

Sikap mertua yang mengekang Mas F menjadikan ia mudah murung dan tidak berambisi untuk menjalani hidup sehari-hari. “Buat apa saya punya ambisi kalau masa-masa bahagianya saya justru ada sebelum menikah, Pam,” tukasnya.

Kariernya yang tak sesuai ekspektasi juga membuat ia kerap dibanding-bandingkan dan disindir sana-sini. Ia dibandingkan dengan adiknya yang punya gaji, tunjangan, dan harta lebih banyak. Padahal, Mas F mengakui amat bahagia dengan pekerjaan yang ia lakoni saat ini.

Setop Menekan Hidup Orang Lain

Saya termasuk yang percaya, baik lelaki atau perempuan punya timeline hidup masing-masing. Mereka juga punya tujuan hidup yang berbeda-beda. Tak bisa disamaratakan bahwa di usia tertentu, lelaki atau perempuan berharap ingin menikah. Bahwa di titik tertentu, semua orang ingin kerja jadi PNS sesuai ekspektasi masyarakat.

Baca juga: Glorifikasi Sifat Maskulin: Bumerang Penanganan Kekerasan Seksual pada Laki-laki

Berangkat dari situ, sebenarnya masyarakat, termasuk para orang tua harus bisa memahami apa yang menjadi objektif hidup anaknya. Ini termasuk pula tidak menekan anak untuk segera menikah, hingga dalam berbagai kasus justru membuat stres anak yang bersangkutan.

Selain itu, anak mungkin akan kehilangan kepercayaan diri dan kemampuan untuk membuat keputusan penting dalam hidup mereka. Perkembangan pribadi dan sosial pun rentan terdampak.

Dari cerita dan pengalaman Mas F sendiri, saya tersadar, mulai hari ini saya tak mau dipaksa untuk menikah dan punya karier yang tak sesuai minat pribadi. Sebab, seperti yang lainnya, saya ingin bahagia atas pilihan-pilihan, baik dan buruk yang sudah saya buat sendiri. Yang lebih penting, saya dan mungkin banyak teman lelaki di sekitar saya, ingin belajar untuk hidup merdeka tanpa bayang-bayang tekanan sosial ini.



#waveforequality


Avatar
About Author

Anggit Pamungkas

Anggit Pamungkas adalah penulis amatir yang suka mengamati isu dan budaya sosial dalam keseharian; renyah kriuk-asam manis hidup lebih enak jadi bahan tulisan ketimbang bahan gibahan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *