Refleksi Menyekolahkan Anak di SD Berbasis Islam
Surat cinta seorang ibu terhadap sekolah berbasis Islam moderat di tengah konservatisme agama yang menjalar ke lembaga-lembaga pendidikan.
Kami telah meninggalkan engkau,
tasik yang tenang, tiada beriak
diteduhi gunung yang rimbun
dari angin dan topan.
Sebab sekali kami terbangun
dari mimpi yang nikmat
Potongan sajak “Menuju Laut” karya Sutan Takdir Alisjahbana itu sering terngiang di benak setiap menatap bangunan sekolah dasar ketiga anak saya. Hampir setiap pagi saya lepas mereka di sekolah dengan pelukan dan kecupan di dahi agar teringat kasih sayang orang tua sebelum mulai belajar. Harinya akan tiba saat mereka akan meninggalkan bangunan ini, tasik yang tenang, untuk menapak ke tahap berikutnya. Dan minggu lalu adalah saat terakhir si bungsu menamatkan sekolah dasar dan melanjutkan ke sekolah menengah di lokasi lain.
Memilih sekolah bagi kami sebagai orang tua berarti memilih tempat anak-anak mendapatkan modal dasar untuk mengenali dan membuka potensi dirinya kelak. Selain belajar kemampuan dasar seperti membaca dan berhitung, salah satu pelajaran terpenting dari sekolah adalah mempelajari bagaimana berinteraksi dengan sesama, baik teman-teman sebaya maupun dengan guru.
Setiap generasi orang tua biasanya memiliki harapan spesifik mengenai buah hatinya, misalnya agar sang anak menjadi pejuang keadilan sosial cilik (Social Justice Warrior alias SJW) atau menjadi Nadiem Makarim bagi Generasi Z. Namun yang diinginkan setiap orang tua dalam proses pembelajaran di sekolah kurang lebih sama, yaitu iklim belajar yang sehat dan merangsang tumbuh kembang fungsi kognitif dan sosial anak. Pertanyaannya, di Indonesia pada tahun 2019 ini, apakah sekolah sudah menyediakan hal itu?
Saya ingin kembali sejenak ke sekolah anak-anak saya, sebuah sekolah swasta berbasis Islam yang menggunakan kurikulum nasional. Si sulung merupakan angkatan pertama yang lulus dari sana. Tokoh yang menjadi inspirasi sekolah ini adalah pahlawan nasional Haji Agus Salim. Penokohan beliau yang mampu mewakili Indonesia memperjuangkan kemerdekaan di meja diplomasi tanpa menanggalkan identitas keislaman dan keindonesiaan menggugah saya dan suami untuk menyekolahkan anak-anak kami di sekolah tersebut.
Dari cerita-cerita yang saya dengar dari sekolah-sekolah Islam swasta lainnya di Jakarta, saya merasakan ada sedikit perbedaan dengan sekolah anak kami. Sejak taman kanak-kanak, mereka wajib belajar gamelan dan perkenalan akan budaya Indonesia sangat ditekankan dalam berbagai mata pelajaran. Lagu anak-anak dan lagu wajib rutin menyambut para murid ketika mereka sampai di sekolah, bergantian tiap hari dengan lantunan ayat Alquran. Harapan kami sebagai orang tua adalah anak-anak kami mendapatkan pengalaman dan pendidikan yang lengkap, baik soal keindonesiaan dan keislaman.
Secara prosedural, sekolah dasar tersebut sudah menyediakan iklim belajar yang mewadahi keindonesiaan dan keislaman bagi murid-muridnya. Tapi satu fakta yang sulit kita sangkal adalah konservatisme dalam beragama di masyarakat sekarang. Beragama secara konservatif tentu tidak menjadi masalah selama dalam interaksi sehari-hari tidak menjurus ke praktik diskriminatif kepada mereka yang beragama selain yang dianut kelompok mayoritas.
Mempraktikkan ajaran agama dengan disiplin seharusnya bisa dilakukan dengan menjaga kesantunan sosial dengan tidak mempertajam perbedaan dengan sesama. Namun sayangnya, pendidikan agama Islam di banyak sekolah sangat menekankan pada aspek ritual dan tidak menyediakan ruang yang cukup bagi murid untuk mengeksplorasi berbagai pemikiran dan tafsir dalam beragama. Radikalisme timbul apabila ruang publik untuk kontestasi pemikiran dan gagasan dalam beragama tidak mendapatkan arena yang seimbang.
Pendidikan agama Islam di banyak sekolah sangat menekankan pada aspek ritual dan tidak menyediakan ruang yang cukup bagi murid untuk mengeksplorasi berbagai pemikiran dan tafsir dalam beragama.
Hasil survei Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (2018) menunjukkan bahwa bibit-bibit radikalisme justru mulai disemai di sekolah. Konservatisme sebagai benih awal radikalisme semakin subur tumbuh di sekolah dan lembaga pendidikan karena ruang berpikir kritis terhadap praktik dan tafsir keagamaan langsung dicap bid’ah (sesat). Bukan rahasia bahwa masih ada guru yang menekankan pentingnya berhijab dengan mengajarkan bahwa anak-anak perempuan yang tidak berhijab kelak akan diguyur minyak panas di akhirat.
Ketika tahun politik datang, benih-benih konservatisme nyaris meruyak menanggalkan akal sehat dan rasionalitas. Ekspresi politik guru sebagai pendidik merembes ke ruang kelas. Kemudian guru secara implisit sampai eksplisit mengemukakan pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden (paslon) mereka ketika memberikan materi pelajaran di kelas.
Dalam versi yang lebih vulgar, guru mengenakan atribut kampanye paslon di kelas, meski masih dicoba diperhalus dengan kemeja atau selendang sehingga sedikit tertutupi. Saya pernah mendengar cerita bahwa seorang anak dimarahi gurunya karena mengenakan atribut kampanye paslon ke sekolah. Namun justru guru yang sama di kesempatan lain memakai atribut kampanye dari paslon lawan.
Sekolah yang kita andaikan sebagai rumah kedua dan tenang tak beriak sebagaimana puisi Sutan Takdir Alisjahbana ternyata tak mampu membendung politik praktis masuk ke ruang-ruang kelas. Sekolah dengan pendekatan agama yang kita harapkan memberikan tempat bernaung dan ruang diskusi yang aman bagi putra-putri kita ternyata menjadi persemaian bibit-bibit konservatisme yang menjurus ke radikalisme. Pelajaran agama, alih-alih memberi bekal nilai-nilai kejujuran dan kemanusiaan, malah mengarahkan anak-anak kita ke penundukan total pada teks dan mengabaikan konteks bumi tempat mereka berpijak.
Pilihan apakah yang tersedia bagi orangtua untuk meminimalisir peluang putra-putrinya terpapar radikalisme?
Apabila kita menyekolahkan anak-anak kita di sekolah berbasis agama, besar kemungkinan mereka berada di zona ekslusif. Anak-anak beragama Islam bersekolah di Al Azhar, anak-anak beragama Katolik di Tarakanita dan Kristen di BPK Penabur. Mereka akan bergaul dan menjalankan ritual keagaaman dengan orang-orang yang segolongan. Paparan akan pergaulan dengan orang-orang yang berbeda agama akan lebih terbatas dibanding teman-teman mereka yang bersekolah di sekolah umum.
Untuk Indonesia yang mulai terkotak-kotak karena politik identitas, kami memandang perlunya intervensi pada lingkungan tempat anak-anak kita dididik dan belajar. Usai sudah waktu menjadi eksklusif dan hanya terpapar pada orang-orang dengan latar belakang agama yang sama. Dunia semakin kecil dengan globalisasi; pengalaman menjadi manusia yang siap berinteraksi dengan mereka dengan latar berbeda menjadi kebutuhan yang semakin krusial.
Mari kita kembali sejenak ke puisi Sutan Takdir Alisjahbana di atas:
Tetapi betapa sukarnya jalan
badan terhempas, kepala tertumbuk
hati hancur, pikiran kusut
namun kembali tiadalah ingin
ketenangan lama tiada diratap
Tumpah darah anak-anak kita adalah Indonesia. Selama mereka bertumbuh kembang di Indonesia, maka perjalanan menuju kedewasaan, menuju ke laut, adalah perjalanan yang seharusnya lengkap dengan pengalaman menjadi Indonesia. Pengalaman menjadi Indonesia adalah pengalaman berinteraksi dengan teman-teman dengan latar belakang sosial budaya berbeda dan memiliki ciri fisik lain dengan dirinya. Perjalanan anak-anak kita dalam menjadi (orang) Indonesia bisa jadi mirip dengan puisi Sutan Takdir di atas. Penuh hempasan, tumbukan, kehancuran hati, dan kekusutan karena keragaman bukan tak mungkin berbuah kegamangan. Tapi bukankah bagaimana menghadapi tantangan merupakan syarat menuju dewasa?
Pelajaran agama, alih-alih memberi bekal nilai-nilai kejujuran dan kemanusiaan, malah mengarahkan anak-anak kita ke penundukan total pada teks dan mengabaikan konteks bumi tempat mereka berpijak.
Isu yang dihadapi Indonesia dan situasi global adalah radikalisme dan kesenjangan ekonomi. Apakah anak-anak kita akan menerima pendidikan untuk hidup yang memadai dalam menghadapi dua isu tersebut dalam lingkungan minim keragaman? Saya khawatir jawabannya tidak.
Si sulung dan si tengah kami kini belajar di sekolah Katolik. Mereka melihat bagaimana agama selain yang mereka imani ikut mempraktikkan kebaikan bagi sesama. Sebagai minoritas, mereka merasakan keringnya berpuasa saat teman-temannya makan dan minum. Teman-teman non-muslim dengan baik memperingatkan apabila ada makanan tidak halal hampir dikonsumsi anak-anak kami.
Dalam dunia yang semakin mengecil, kami merasa pengalaman menjadi minoritas adalah bekal bermakna bagi mereka menuju kedewasaan kelak. Apakah kami khawatir anak-anak kami akan kehilangan iman Islam mereka? Kekhawatiran selalu ada, tapi kami percaya, selama orang tua mereka memberi teladan, maka tantangan justru akan memperkuat iman.
Dan akhirnya tulisan ini menjadi surat cinta yang disusun selama nyaris 15 tahun untuk SD anak-anak kami. Hari terakhir si bungsu tercatat sebagai siswa di sekolah ini usai sudah. Benih-benih keyakinan bahwa keislaman tidak pernah bertentangan dengan keindonesiaan tuntas ditanamkan ke anak-anak kami dari taman kanak-kanak sampai sekolah dasar di tempat ini. Dalam perjalanan mereka menuju ke laut, sauh sudah ditambatkan di pelabuhan baru. Ada gelombang tinggi, cuaca asing dan hempasan yang berbeda namun bekal dari tambatan lama tetap menjadi dasar.
Doa kami sekeluarga bagi sekolah dasar tersebut agar tetap mempertahankan identitas sebagai sekolah Islam yang menghargai keragaman dan menjunjung keindonesiaan, tumpah darah kita semua.
Ilustrasi oleh Karina Tungari