Surat untuk Gen Z dari Kami Generasi yang Mengalami Langsung Dwifungsi ABRI
Mereka membakar buku dan menaruh kepala hewan di depan pintu, agar orang-orang kritis diam. Cuma soal waktu sejarah yang sama akan berulang di kamu.

Saya adalah Gen Z yang tak mengalami langsung hidup di tengah rezim Orde Baru. Yang saya dengar, cerita ayah dan kakek kebanyakan diisi dengan pujian Soeharto sebagai Bapak Pembangunan, dan betapa mudahnya mengakses bahan pangan. Karena itu sulit untuk memercayai bahwa kondisi hari ini segenting yang orang-orang bicarakan: Orde (Ter)Baru kembali, salah satunya lewat potensi Dwifungsi Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sebagai generasi yang tercerabut dari sejarah, saya ingin membuktikannya sendiri. Saya lalu menemui orang-orang yang jadi saksi sejarah bagaimana rasanya hidup di tengah kebijakan Dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Konon katanya, ABRI kala itu punya kekuatan paling besar dari atas hingga bawah struktur masyarakat. Mereka memegang senjata, mengatur roda pemerintahan daerah, mengendalikan kementerian, parlemen, dan jabatan strategis di perusahaan-perusahaan.
Literatur-literatur sejarah non-arus-utama juga kerap menuliskan, kekuasaan besar ABRI berbanding lurus dengan besarnya kerusakan yang mereka buat di Indonesia. Di antaranya, pembunuhan jurnalis Harian Umum Bernas Udin; pemerkosaan dan pembunuhan buruh perempuan Marsinah; dan tentu pembunuhan sistematis penembak misterius (petrus) terhadap ribuan jiwa. Belum lagi kontrol terhadap pemberitaan di media massa. Jurnalis Kompas Arif atau Ai dalam diskusi di Tempo Institute mengatakan, malam sebelum koran-koran nasional terbit, biasanya ABRI akan menelepon pemimpin redaksi untuk menanyakan, “Apa headline esok hari?”
Baca Juga : Revisi UU TNI Penuh Mudarat, Cuma Ada Satu Kata: Lawan!
Ateng, 55, salah satu orang yang hidup di tengah “masa kegelapan” itu bercerita panjang lebar pada saya. Pria yang kini berprofesi sebagai jurnalis itu bilang, tentara sering keliling kampung di jam malam, menyisir orang-orang yang berkumpul. Lalu menindak kumpulan orang yang dicurigai bisa mengganggu stabilitas keamanan negara.
Tak cuma itu, Ateng dan kawan-kawan harus berburu buku kesukaannya karya Pramoedya Ananta dan Tan Malaka diam-diam seperti kriminal. “Maklum, zaman itu Pram dianggap sebagai Lekra, lembaga kesenian sayap PKI. B egitu pun Tan malaka lewat Madilog-nya,” kata dia pada Magdalene.
Ateng khawatir, pengesahan UU TNI akan membuka jalan pada berbagai pembatasan seperti era Orde Baru. Apalagi saat ini berbagai indikator pengekangan itu sudah terlihat. Misalnya kantor Tempo dikirimi kepala babi. Seperti era di mana Suara Indonesia dikirimi paket kepala manusia atau Suciwati, istri aktivis HAM Munir yang dihadiahi kepala dan tahi ayam di rumahnya. Pun, demo yang diamankan oleh aparat gabungan dari polisi, TNI, dan BRIMOB.
Senada dengan Ateng, Ronny, 45 merasakan sulitnya kebebasan sipil untuk rakyat di zaman Orde Baru dulu. Dia bercerita, saat berkumpul dengan teman di kampung, ia langsung dihampiri oleh tentara agar membubarkan diri dan tidak berkumpul lagi.
Dia juga mengisahkan bagaimana tentara memaksa program pemerintah agar diterima langsung, lepas dari kritik dan ketidaksetujuan warga. Misalnya, program satu keluarga hanya dua anak. “Itu perempuan dikejar oleh aparat yang belum (pakai KB), untuk memakai KB. Petani pun dijemput di sawah untuk memakai KB,” katanya
Sekarang, bahaya Dwifungsi TNI itu akan hidup lewat disahkanya RUU TNI oleh DPR dalam sidang Paripurna (20/3). Apa saja sebenarnya yang direvisi oleh pemerintah Prabowo dan DPR itu.
Baca Juga : Apa yang Sebenarnya Kita Takutkan dari Revisi UU TNI?
Pasal UU TNI yang Berpotensi Melahirkan Dwifungsi Tentara
Ada sejumlah pasal di UU TNI yang disinyalir membuka keran dimulainya Dwifungsi TNI kembali.
Pada Pasal 7 UU TNI, tercantum dua tugas baru TNI dalam operasi militer selain perang dari yang sebelumnya empat belas kini menjadi enam belas. Dua kewenangan TNI dalam operasi militer selain perang, yaitu TNI membantu dalam upaya menanggulangi ancaman siber, melindungi, dan menyelamatkan warga negara serta kepentingan nasional di luar negeri.
Dalam Pasal 47, ada penambahan empat posisi jabatan publik yang bisa diisi TNI aktif. Sebelumnya sepuluh kini diperluas menjadi empat belas. Di antaranya, Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Keamanan Laut, dan Kejaksaan Republik Indonesia (Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer).
Lalu, Pasal 53 UU TNI mengubah batas usia pensiun prajurit. Ketentuan ini diatur dalam ayat (2) dengan batas usia pensiun yang variatif berdasarkan pangkat dan jabatan. Bintara dan Tamtama maksimal 55, perwira sampai dengan pangkat kolonel maksimal 58 tahun, perwira tinggi bintang satu maksimal 60, perwira tinggi bintang dua maksimal 61, perwira tinggi bintang tiga maksimal 62, Khusus untuk perwira tinggi bintang empat, batas usia pensiun maksimal 63 dan dapat diperpanjang maksimal dua kali atau dua tahun sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
Ikhsan Yosarie dan Meidi Kosandi, akademisi Politik Universitas Indonesia dalam tulisan “Analisis Penempatan Prajurit TNI di Jabatan Sipil Pada Masa Orde Baru dan Pascareformasi” menjelaskan situasi ini. Kata mereka, ada perbedaan fundamental dalam fenomena penempatan militer pada jabatan sipil. Jika masa Orde Baru penempatan tersebut merupakan aktualisasi doktrin dan regulasi, maka pasca-Reformasi penempatan ini merupakan perluasan posisi militer pada jabatan sipil. Keduanya memiliki dampak yang sama, yakni regresi demokrasi melalui bentuk kontrol sipil subjektif (subjective civilian control).
Jika dibiarkan tanpa pengawalan dan perlawanan, pasal-pasal ini akan membuat rakyat seperti Ateng, Ronny, bahkan Generasi Z macam saya, terjepit berbagai pembatasan. Tak bisa bebas berdiskusi dan mengemukakan pendapat atau kritik. Sulit berserikat dan berorganisasi, juga tak bisa leluasa membaca buku-buku dari penulis kesayangan yang dianggap “subversif” oleh pemerintah Prabowo sekarang.
Baca Juga : Setelah UU TNI Sah, Memang Bisa Dibatalkan?
Marhaban Ya Melawan
Lalu apa yang bisa dilakukan agar anak-anak muda seperti kita tak mengalami hal buruk seperti generasi sebelumnya dengan Dwifungsi TNI? Cuma satu kata: Lawan!
Dan perlawanan bisa dilakukan dengan beragam jalan. Perlawanan selemah-lemahnya iman adalah dengan terus berisik di media sosial. Post, repost, like, bubuhkan komentar pada setiap postingan yang bergema di linimassa. Sebab semakin banyak dibagikan, semakin luas jangkauan pesan bisa menyebar.
Kita mesti tunjukkan bahwa situasi di Tanah Air sedang tak baik-baik saja. Kita harus buktikan kepada pemerintah dan pendengung bayaran mereka, tak semua rakyat bisa dibodohi dan dilenakan dengan jargon-jargon kosong. Kita harus tunjukkan kemarahan dan kekecewaan ketika pemerintah cuma bisa meng-gaslight kritik dengan ucapan “Ndasmu, kampungan, dan anjing menggonggong. Kita perlihatkan kepada TNI kalau Generasi Z bersolidaritas pada jurnalis yang jadi korban teror, pada mahasiswa yang jatuh diamuk polisi, pada korban buruh yang hilang saat aksi.
Jika kamu punya energi, tunjukkan kritikmu di jalan-jalan lewat aksi demonstrasi. Dukung dan jaga kawan-kawan karena perjuangan kita tampaknya akan menemui jalan panjang di depan.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
