Selain ‘Bayar, Bayar, Bayar’ Sukatani, Ini Karya Seni Lain yang Pernah Dibredel di Indonesia
Sensor terhadap karya seni bukan hal baru di Indonesia. Ketakutan pada “seni” tercatat di setiap rezim.

Lagu “Bayar, Bayar, Bayar” dari grup musik Sukatani belakangan ini jadi topik panas di kalangan netizen. Pasalnya, lagu ini dilarang beredar oleh polisi karena dianggap “menganggu”. Dua personel band ini bahkan diminta membuat pernyataan publik tentang penarikan lagu tersebut.
Meskipun band asal Purbalingga itu diduga diintimidasi polisi untuk menarik lagunya dari peredaran, perhatian publik justru semakin besar. Banyak yang menilai keputusan pemerintah ini melanggar kebebasan berpendapat, sebuah hak fundamental yang seharusnya dijunjung tinggi.
Tapi ternyata, pencekalan lagu seperti ini bukan hal baru di Indonesia. Sejak era Orde Baru, banyak karya seni yang dibatasi atau bahkan dilarang karena dianggap bisa memicu perlawanan terhadap pemerintah. Berikut beberapa contoh karya seni yang pernah mengalami nasib serupa.
Baca Juga: #IndonesiaGelap: 6 Dampak Buruk Efisiensi Anggaran Pendidikan
- Lagu “Surat Buat Wakil Rakyat” – Iwan Fals

Dirilis pada 1987 dalam album Wakil Rakyat, lagu ini menyentil kebiasaan para anggota dewan yang tidak serius menjalankan tugasnya, termasuk kebiasaan tertidur saat sidang. Dikutip dari Tirto, dengan lirik yang tajam dan menyindir pejabat negara, lagu ini dianggap bisa mengganggu stabilitas politik, sehingga sempat dicekal oleh pemerintah Orde Baru.
Meskipun begitu, lagu ini tetap populer dan menjadi simbol kritik terhadap ketidakadilan. Bukan hanya Surat Buat Wakil Rakyat, beberapa lagu lain dari Iwan Fals seperti Bento dan Galang Rambu Anarki juga mengalami nasib yang sama di era tersebut.
- Semsar Siahaan: Seniman yang Dianiaya karena Kritiknya

Semsar Siahaan adalah seniman sekaligus aktivis yang lantang mengkritik ketimpangan sosial lewat karya-karyanya. Salah satu peristiwa besar yang menimpanya terjadi pada Juni 1994. Saat itu, ia ikut serta dalam aksi protes menentang pembredelan Majalah TEMPO, Editor, dan Detik oleh rezim Orde Baru. Bukannya didengar, Semsar justru mengalami penganiayaan brutal hingga tiga tulang kakinya patah dan menyebabkan cacat permanen.
Kritik Semsar juga tertuang dalam karya-karyanya, seperti lukisan Manubilis (1988) yang menggambarkan sosok manusia berjas dengan karakter binatang dan iblis, sebuah sindiran terhadap penguasa saat itu. Karya-karya lain seperti instalasi kuburan di Jakarta Biennale dan lukisan Piza juga menyoroti ketidakadilan sosial.
Walaupun terus mendapat tekanan, Semsar tak pernah berhenti berkarya. Setelah sempat mengasingkan diri, ia kembali ke Indonesia pada 2004 dan menetap di Bali. Sayangnya, ia meninggal pada 23 Februari 2005 di RSUD Tabanan, dan dimakamkan di TPU Menteng Pulo, Jakarta.
Baca Juga: #KamiBersamaSukatani dan Ketakutan Negara pada Karya Seni
- Pameran Yos Suprapto yang Mendadak Dibatalkan

Kasus pembungkaman seni ternyata masih terjadi hingga sekarang. Dikutip dari Tempo, pada Desember 2024, pameran tunggal seniman Yos Suprapto bertajuk “Kebangkitan: Tanah untuk Kedaulatan Pangan” dijadwalkan berlangsung di Galeri Nasional Indonesia. Namun, hanya 10 menit sebelum acara dibuka, pameran ini tiba-tiba dibatalkan dengan alasan “kendala teknis”.
Lima dari 30 lukisan Yos dianggap terlalu politis dan vulgar, sehingga pihak galeri meminta Yos untuk menurunkan lukisan-lukisan tersebut. Menolak untuk menyensor karyanya, Yos akhirnya memilih untuk membawa pulang seluruh lukisan ke Yogyakarta.
Keputusan pembatalan ini mendapat sorotan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menyesalkan tindakan tersebut dan menegaskan bahwa kebebasan berekspresi dalam seni harus tetap dilindungi.
- Novel Bumi Manusia – Pramoedya Ananta Toer

Novel legendaris Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer sempat dicekal oleh pemerintah Orde Baru pada 1980-an. Melansir dari Detik, melalui Surat Edaran Nomor 73106/Sekjen PDK/1980, novel ini dianggap “meresahkan” dan “membahayakan ideologi Pancasila”.
Pram sendiri kerap dicap sebagai penyebar komunisme karena kedekatannya dengan kelompok kiri. Namun, menurut sastrawan Puthut EA, pelarangan ini lebih disebabkan oleh ketakutan Orde Baru terhadap pengaruh besar yang dimiliki Pram. Meski mengalami penindasan, ia tetap produktif dan menghasilkan karya yang menjadi bagian dari Tetralogi Pulau Buru.
Menariknya, setelah bertahun-tahun dicekal, kini Bumi Manusia justru masuk dalam daftar buku yang direkomendasikan oleh Kemendikbudristek untuk program “Sastra Masuk Kurikulum” yang diumumkan pada 20 Mei 2024.
Baca Juga: 100 Hari Rezim Prabowo-Gibran, Perlindungan HAM Kian Suram
- Buku Di Bawah Lentera Merah – Soe Hok Gie

Dikutip dari Tempo, buku ini mengupas periode penting dalam sejarah Indonesia, terutama saat gagasan kebangsaan mulai berkembang melalui organisasi seperti Sarekat Islam Semarang. Menggunakan sumber dari kliping koran tahun 1917-1920-an dan wawancara dengan tokoh sejarah, buku ini memberikan wawasan mendalam tentang transformasi masyarakat Indonesia dari pemikiran tradisional ke modern.
Bukan sekadar buku sejarah, karya Soe Hok Gie ini juga menjadi bagian dari diskusi panjang soal pergerakan sosial dan politik di Indonesia.
- Mimpi di Siang Bolong – Doel Sumbang

Di era 1970-an, lagu ini sempat menjadi hits di kalangan anak muda, tetapi kemudian dilarang beredar di era Orde Baru. Dikutip dari Bandung Bergerak, lagu ini disebut-sebut mengandung kritik tajam terhadap pemerintahan Soeharto dan dinilai berpotensi menggiring opini publik ke arah yang negatif.
Meskipun judulnya terdengar santai, liriknya justru mengangkat isu tentang korupsi dan manipulasi yang dilakukan oleh elit politik saat itu. Musiknya yang unik dan lirik yang tajam membuatnya dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah.
- Novel Djejak Langkah – Bakrie Siregar

Ditulis oleh Bakrie Siregar, seorang penulis beraliran sosialis, novel ini mengangkat realitas sosial pada zamannya. Dengan latar belakang sejarah Indonesia, novel ini menggambarkan perubahan masyarakat dan ketimpangan yang terjadi.
Meskipun memiliki nilai sastra yang tinggi, buku ini sempat menuai kontroversi karena sudut pandangnya yang dianggap berpihak pada pemahaman sosial-politik tertentu.
