December 10, 2025
Issues Politics & Society

#SemuaBisaKena: Diwarnai Kritik Publik, DPR Tetap Sahkan Revisi KUHAP

Sempat menyebut kritik masyarakat sebagai hoaks, DPR RI sahkan RUU KUHAP menjadi Undang-Undang hari ini.

  • November 18, 2025
  • 4 min read
  • 1113 Views
#SemuaBisaKena: Diwarnai Kritik Publik, DPR Tetap Sahkan Revisi KUHAP

Jajaran Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) menjadi undang-undang pada Sidang Paripurna ke-8 Masa Persidangan II, (18/11). Sidang dipimpin langsung oleh Ketua DPR RI Puan Maharani, dengan kehadiran Menteri Hukum dan HAM Supratman Andi Agtas, serta pimpinan DPR lain, seperti Sufmi Dasco Ahmad, Adies Kadir, Saan Mustafa, dan Cucun Ahmad Syamsurizal. 

Pengesahan ini merupakan kelanjutan dari proses pembahasan tingkat Panja di Komisi III DPR, (13/11). Berdasarkan pemantauan Magdalene, draf terbaru yang kemudian disahkan DPR teridentifikasi berasal dari versi yang beredar pada Maret 2025. Keterbatasan akses publik terhadap draf ini sejak lama menjadi sumber kritik berbagai organisasi masyarakat sipil. 

UU KUHAP sendiri akan mulai berlaku pada 2 Januari 2026, bersamaan dengan implementasi KUHP baru. Pemerintah menyebut sinkronisasi keduanya penting untuk memastikan reformasi hukum pidana berjalan menyatu dan konsisten. 

Baca juga: RUU KUHAP Pupus Keadilan Lingkungan, Hanya Satu Kata: Lawan!  

DPR Klaim Kritik Publik Hanya Hoaks 

Dilansir dari Youtube TV Parlemen, Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman bilang, penolakan publik terhadap sejumlah pasal dianggap tidak berdasar. Mengangkat selembar poster berisi empat poin yang selama ini dipersoalkan masyarakat, ia menyebut tudingan terkait penyadapan digital oleh kepolisian, pembekuan rekening, penyitaan ponsel dan data elektronik, hingga penangkapan sepihak adalah “kabar bohong” yang tersebar masif di media sosial. 

“Saya perlu menyampaikan klarifikasi terkait hoaks yang beredar sangat masif,” ujarnya, sembari menegaskan revisi KUHAP justru memberikan kejelasan prosedur dan mempertegas batasan kewenangan aparat penegak hukum. 

Namun, berbeda dengan klaim DPR, masyarakat sipil menilai persoalannya tidak sesederhana itu. Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP sejak awal menolak proses legislasi ini. Dalam konferensi pers (16/11), Arif Maulana, Wakil Ketua Yayasan lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), menekankan penyusunan RUU berlangsung tertutup, tanpa pembaruan informasi yang layak bagi publik. 

Baca juga: Semua (Masih) Bisa Kena, Pasal-pasal Bermasalah dari RUU KUHAP

“Tidak ada update mengenai sejauh mana pembahasan dilakukan. Padahal publik sudah berupaya menjalin komunikasi langsung,” kata Arif. 

Selain polemik substansi, prosesnya pun dipandang bermasalah. Unggahan Instagram DPR yang mencatut nama lembaga seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Amnesty International — seolah-olah mereka terlibat memberi masukan substansi — memicu protes keras. 

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) dalam rilis resmi mereka, (16/11) menyebut tindakan tersebut sebagai manipulasi partisipasi publik. Mereka menilai DPR ingin menampilkan kesan seakan proses berjalan inklusif, padahal aspirasi organisasi-organisasi tersebut tidak pernah benar-benar diakomodasi. 

ICJR lantas melaporkan pencatutan ini ke Mahkamah Kehormatan Dewan (17/11) dan meminta Presiden menarik kembali draf KUHAP karena prosesnya dinilai “dipenuhi kebohongan.” 

Baca juga: Tutorial Mudah Dipenjara dengan UU KUHP, Ini Kata Ahli 

#SemuaBisaKena: Apa yang Harus Kita Khawatirkan? 

ICJR juga menyoroti sejumlah poin penting dalam KUHAP baru yang mereka anggap krusial, mulai dari pengaturan ulang penahanan, penyitaan, dan kewenangan upaya paksa, hingga penataan sistem pembuktian dan barang bukti. Regulasi baru tersebut diklaim pemerintah sebagai langkah memperkuat due process of law, tetapi ICJR mengingatkan perubahan tekstual tidak otomatis menjamin perlindungan hak di lapangan, terutama pada institusi yang selama ini minim pengawasan. 

KUHAP baru juga diklaim memperjelas hak tersangka, saksi, dan korban, termasuk akses penasihat hukum dan kejelasan prosedur. Namun, kelompok masyarakat sipil menilai beberapa ketentuan masih membuka ruang tindakan sewenang-wenang, terutama pada tahap awal proses pidana yang sering kali rawan penyalahgunaan wewenang. Mereka juga menekankan perlunya instrumen pengawasan independen agar revisi KUHAP tidak menjadi sekadar dokumen hukum yang sulit diimplementasikan. 

Meski DPR dan pemerintah bilang pembaruan KUHAP adalah tonggak penting reformasi hukum, tekanan publik tidak menunjukkan tanda akan mereda. Kritik mengenai proses legislasi yang minim transparansi, pencatutan nama organisasi, serta penolakan terhadap tuduhan “hoaks” dari DPR menunjukkan kepercayaan masyarakat terhadap kualitas penyusunan hukum ini masih rapuh. 

Dengan aturan yang segera berlaku pada 2026, pertanyaan besar yang tersisa adalah apakah KUHAP baru benar-benar akan memperbaiki peradilan pidana, atau justru memperluas ruang abu-abu bagi penyalahgunaan kewenangan. 

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah lulusan Psikologi dan Kajian Gender UI yang punya ketertarikan pada isu gender dan kesehatan mental. Suka ngopi terutama iced coffee latte (tanpa gula).