Politics & Society

Penggembira, Selebriti Cantik: Faktor Perempuan dalam Pemilu

Perempuan mencakup lebih dari sepertiga calon anggota legislatif dalam pemilu tahun ini, tapi seberapa tulus keterlibatan mereka? Peran apa yang mereka mainkan dalam politik Indonesia pada lima tahun terakhir?

Avatar
  • June 23, 2014
  • 9 min read
  • 1178 Views
Penggembira, Selebriti Cantik: Faktor Perempuan dalam Pemilu

Di panggung politik Indonesia yang miring, tidak beraturan dan seringkali membingungkan, Lismaini benar-benar seorang pendatang baru: ibu rumah tangga yang tidak pernah membaca berita, tetapi entah bagaimana bisa terjaring untuk menjadi calon anggota legislatif dalam pemilihan umum tahun ini.

Petualangannya di panggung politik dimulai ketika perempuan berusia 47 tahun ini bertemu dengan seorang politisi perempuan dalam pertemuan terbuka tahun lalu. Politisi itu mencalonkan diri untuk menjadi anggota DPR, dan dia meminta Lismaini untuk juga mencalonkan diri sebagai wakil dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

 

 

Dia tidak memiliki waktu untuk menimbang tawaran itu. Saat itu sudah Mei dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah memulai proses verifikasi daftar calon anggota legislatif. Jadi hanya tiga bulan sebelum ke-15 partai peserta Pemilu 2014 mengajukan daftar  akhir calon anggota legislatif mereka.

Setelah menyatakan diri bersedia, Lismaini tidak perlu berbuat banyak, dia hanya perlu mengisi sejumlah formulir, menyerahkan foto berukuran untuk paspor, dan datang untuk menjalani pemeriksaan kesehatan (yang sudah dibayar lunas oleh partainya).

“Waktu teman-teman saya mendengar saya mencalonkan diri sebagai anggota DPR, mereka sangat kaget,” katanya saat saya wawancara pada Desember tahun lalu untuk riset buku yang akan saya tulis.

“Mereka bertanya berapa dana yang akan saya habiskan untuk kampanye, saya bilang saya akan gunakan dana sesedikit mungkin,” ujarnya.

Empat bulan sebelum hari pemilihan pada 9 April, Lismaini belum berbuat banyak, kecuali mencetak kartu nama yang memuat gambar Kabah yang merupakan simbol partai, fotonya dan nomor urut caleg (6).

“Masih ada waktu beberapa bulan, saya tidak khawatir,” ujarnya sambil tertawa.

Waktu yang tersisa sebelum musim kampanye dimulai pada Januari 2014 adalah tiga minggu, tetapi saya sudah bertemu dengan banyak calon anggota legislatif sehingga saya tahu kemungkinan untuk menang akan lebih besar jika mereka berkampanye sejak awal.

Sejak pertengahan 2013, sejumlah calon anggota legislatif telah membangun dan membina komunikasi dengan konstituen mereka secara sistematis, seperti bertemu dengan para pemimpin masyarakat setempat, menggelar konser atau kegiatan olahraga, memberi sumbangan, membagikan bibit tanaman dan pupuk kepada para petani, menyelenggarakan pelatihan bagi guru-guru, atau menawarkan pemeriksaan pap smear dan perawatan gratis bagi kaum perempuan.

Saya bertanya kepada Lismiani apakah dia ingin menang, dan jika iya, mengapa dia belum mengunjungi daerah konstituennya di Bogor yang hanya berjarak 1,5 jam dari Jakarta.

“Saya ingin menang, tetapi saya tidak punya uang. Dan jika kampanye dilakukan sejak awal, dana yang harus dikeluarkan juga semakin besar,” jawabnya.

Dunia Pertunjukan dan Politik Dinasti

Uang bukan hanya satu-satunya masalah yang dihadapi oleh calon legislatif perempuan dalam pemilu tahun ini. Inti permasalahannya adalah bahwa kaum perempuan dimanfaatkan oleh partai-partai peserta pemilu sekadar sebagai penggembira agar mereka bisa memenuhi kuota caleg perempuan sebesar 30 persen yang ditetapkan oleh UU Pemilu 2008. Para caleg perempuan itu direkrut tetapi kemudian dibiarkan berjuang sendiri.

Berkat penerapan peraturan itu yang lebih ketat oleh KPU, jumlah caleg perempuan tahun ini mencapai jumlah terbanyak, 38 persen dari 6.608 caleg yang terdaftar. Meski ini adalah satu pencapaian bagi kelompok-kelompok perempuan yang berjuang keras sejak 1998 agar kaum perempuan diikutsertakan dalam politik, masih banyak faktor lain yang harus diperbaiki.

Partai-partai politik pada awalnya menolak kebijakan berdasarkan gender dalam pemilihan legislatif ini, dengan menyebutnya tidak demokratis dan tidak realistis. Kekhawatiran partai-partai ini memang nyata: mereka tidak memiliki kader-kader perempuan untuk bisa memenuhi kuota 30 persen tersebut.

Meski ada peningkatan jumlah perempuan Indonesia yang memegang jabatan penting seperti menteri, hakim agung, walikota bahkan gubernur, politik tetap merupakan panggung bagi kaum pria.

“Partai-partai masih dijalankan berdasarkan politik patronase, yang sangat patriarkal,” ujar Siti Zuchro, ahli politik dari Lembaga Penelitian dan Ilmu Pengetahuan Indonesia, LIPI.

“Semuanya dari atas ke bawah dan berdasarkan senioritas. Mereka sangat berorientasi kekuasaan, yang sebenarnya tidak ada salahnya kalau saja  mereka tidak lalai dalam mengembangkan proses perekrutan dan regenerasi yang andal.”

Kegagalan mencolok partai-partai dalam membangun institusi dengan kader-kader yang berkualitas ini telah menghambat partisipasi yang berarti dari kaum perempuan dalam politik.

Setelah pemilu 2009, partai-partai politik seharusnya lebih mengintensifkan jaringan mereka di kampus-kampus universitas, profesional, kelompok madani dan kaum intelektual untuk merekrut perempuan yang memiliki kemampuan untuk bisa dibina menghadapi pemilu selanjutnya, kata Siti Zuhro.

Tetapi sesuai dengan kebiasaan di Indonesia yaitu menjalankan segala sesuatu di menit-menit terakhir, partai-partai politik itu kelabakan mencari calon legislatif perempuan setahun sebelum pemilu, sehingga akhirnya mereka hanya bisa merekrut calon legislatif yang tidak memiliki prestasi di bidang layanan publik atau pengalaman profesional. (Lismiani memegang gelar sarjana ekonomi, tetapi tidak pernah bekerja sama sekali, begitupun dengan sejumlah calon legislatif perempuan yang saya wawancarai).

Partai-partai politik memenuhi kuota itu dengan mengambil langkah-langkah praktis: mendorong anggota keluarga atau teman untuk mencalonkan diri. Sebagian besar dari caleg perempuan ini tidak diharapkan untuk menang, sudah untung jika mereka bisa mendapatkan beberapa ribu suara saja.

Untuk bisa benar-benar mendapatkan suara, partai-partai ini menjaring sejumlah selebriti cantik (sebagian bahkan memiliki masa lalu yang cukup “berwarna”), seperti penyanyi, mantan model dan bintang sinetron. Penyanyi dangdut Angel Lelga menjadi caleg untuk PPP, dan menjadi bahan tertawaan setelah penampilannya di salah satu acara wawancara di televisi. Tetapi dia hanya satu dari sekitar 50 selebriti yang menjadi caleg dalam pemilu ini.

Meski mereka tidak memiliki kemampuan dan latar belakang yang diperlukan, sejumlah selebriti diperkirakan akan bisa menjadi anggota DPR karena popularitas dan penampilan menarik mereka. Tetapi bagi caleg yang tidak memiliki ketenaran atau sumber daya lain, mereka tidak tahu bagaimana memulai kampanye.

Beberapa partai politik memberi bantuan kepada caleg mereka, mendidik mereka mengenai cara-cara untuk menang, menilai kekuatan dan kelemahan mereka dan dalam beberapa kasus, memberi bantuan dana kepada caleg yang dipandang berpotensi (meskipun nilainya kecil).

Bersama dengan caleg perempuan dari partai-partai lain, Lismaini menghadiri beberapa pelatihan yang diadakan oleh LSM. Tetapi selain sejumlah bendera partai, dia tidak mendapat bantuan lain dari PPP.

“Saya ingin, misalnya, belajar berbicara di depan umum karena jika saya pergi ke daerah pemilihan saya sekarang, saya tidak tahu bagaimana harus berbicara,” ujarnya.

Siti Zuhro menyelenggarakan pelatihan bagi caleg perempuan dan juga anggota DPR perempuan yang baru terpilih mengenai kampanye, hak dan kewajiban anggota DPR – acara yang terkadang dihadiri hingga 70 orang.

“Menurut saya, dari puluhan peserta yang telah saya latih, mungkin ada 10 orang yang benar-benar memiliki kemampuan dan mau bekerja keras untuk melaksanakan tugas yang telah diberikan,” ujarnya.

Faktor agama di wilayah yang menerapkan ajaran Islam yang lebih ketat membuat situasi semakin rumit. Penelitian LIPI pada 2012 menemukan bahwa kaum perempuan di provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tidak didorong untuk masuk dunia politik dan menjadi pemimpin masyarakat di sana.

Aceh, yang menerapkan hukum syariah, adalah salah satu provinsi dengan jumlah anggota DPRD berjenis kelamin perempuan paling sedikit, hanya empat perempuan dari 69 anggota DPRD.

“Banyak terjadi intimidasi dan teror di daerah yang menerapkan nilai-nilai Islam dengan ketat,” kata Siti, merujuk pada pengalamannya melatih caleg perempuan di Aceh.

Secara umum, perempuan, termasuk selebriti seksi, juga cenderung memakai pakaian tertutup setelah memasuki panggung politik. Mereka yang tidak mengubah gaya berpakaian, pada akhirnya mendapat tekanan untuk memakai kerudung, setidaknya dalam foto resmi kampanye mereka.

“Saya tidak memakai jilbab sekarang, meskipun di pas foto pakai, tapi begitu saya turun, saya mungkin harus memakainya,” ujar Lismaini.

Kuda Pekerja

Sejumlah kecil perempuan dalam panggung politik Indonesia yang benar-benar bekerja adalah para pekerja yang melaksanakan tugas anggota legislatif atau birokrasi, tanpa banyak mendapat pengakuan dan hampir tidak terdengar sepak terjangnya dalam hiruk pikuk politik rekan-rekan mereka yang berjenis kelamin pria.

Salah satu pekerja keras perempuan yang seumur hidup membangun karir di bidang layanan publik adalah Siti Nurbaya. Dia mencalonkan diri sebagai caleg partai Nasional Demokrat mewakili daerah pemilihan Lampung. Selama 30 tahun dia berkarir sebagai birokrat di Lampung dan Jakarta – termasuk memimpin pembuatan RUU politik dan proses desentralisasi yang penting pada periode transisi di awal 2000-an. Pada 2011, dia mundur dari jabatan sebagai Sekretaris Jenderal DPD untuk berkecimpung langsung di politik.

Nurbaya selalu menjadi perintis dalam jabatan-jabatan sebelumnya, termasuk sebagai sekretaris jenderal perempuan pertama di Kementrian Dalam Negeri dan, pada 1980-an, menjadi perempuan pertama yang memimpin organisasi pemuda Partai Golkar, Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia, di tingkat provinsi. Sekarang, selain berkampanye dengan suaminya yang pengusaha, dia juga bertugas mengawasi kegiatan NasDem di Lampung yang memberinya kekuasaan untuk turun tangan (dan mempergunakan otot politiknya) dalam konflik internal yang terus terjadi.

Saya menanyakan kepada Nurbaya, 58, apakah jenis kelamin menjadi halangan untuk karir politiknya.

“Tidak sama sekali,” jawabnya..

Merujuk pada pilihan pakaian yang disukainya, termasuk kemeja polos pria, dia mengatakan, “Saya memang sedikit tomboy, mungkin ini menjadi penyebab banyak orang tidak memperlakukan saya seperti mereka memperlakukan kebanyakan perempuan.”

Dia menambahkan, “Saya pikir saya bisa mencapai karir tinggi di birokrasi karena saya memperlihatkan rasa percaya diri yang tinggi dan berani.”

Harapan vs Kenyataan

Saat ini, 18 persen dari 560 anggota parlemen adalah perempuan, dan jumlah perempuan di DPRD tingkat I dan tingkat II masing-masing 16 persen dan 12 persen. Tetapi jika dilihat lebih teliti bisa dilihat bahwa hampir setengah dari perempuan yang terpilih adalah keturunan dinasti politik.

Mayoritas dari mereka adalah pendatang baru yang tidak memiliki latar belakang politik, layanan publik atau pengalaman di bidang pemberdayaan kaum perempuan, dan mereka tidak banyak membantu mengedepankan kebijakan yang bisa menjawab kebutuhan gender.

Mereka gagal meloloskan sejumlah peraturan penting, seperti Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender, perubahan pada UU Perkawinan dan revisi pada UU Perlindungan dan Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia ke Luar Negeri.

Lebih buruk lagi, Komisi Nasional Anti Kekerasan pada Perempuan mencatat peningkatan dalam jumlah peraturan yang mendiskriminasikan hak-hak perempuan dan kaum minoritas dalam lima tahun terakhir: sebanyak 342 peraturan yang diskriminatif pada 2013, dua kali lipat jumlah 2009.

Di Jawa Barat, tempat perwakilan perempuan bertambah dua kali lipat menjadi 25 persen pada 2009, terdapat 35 peraturan diskriminatif pada 2012. Provinsi ini juga memiliki angka perdagangan manusia dan kematian ibu saat melahirkan yang lebih tinggi dari rata-rata.

Bahkan PDI-P, satu-satunya partai yang dipimpin oleh seorang perempuan (Megawati Soekarnoputri), tidak banyak berbuat untuk memenuhi aspirasi kaum perempuan. Seperti partai-partai besar lain, PDIP lebih memusatkan perhatian dalam memenangkan pemilihan kepala daerah. Dan banyak kaum perempuan yang didukung oleh partai-partai politik untuk menjadi gubernur, walikota atau  camat seringkali merupakan kepanjangan tangan politik dari suami atau keluarga mereka.

Pemilu kali ini kita bisa mengubah hal itu dengan memilih caleg perempuan yang memiliki catatan prestasi bagus dan integritas yang diharapkan (dan mereka itu ada; silakan periksa caleg di daerah pemilihan anda, di sini).

Sementara itu, hari pemilihan semakin dekat dan para “penggembira” pun mulai bergerak, meski sangat lambat.

Ketika saya menghubungi Lismaini beberapa hari lalu, dia mengatakan telah menghabiskan dana Rp 5 juta untuk mencetak 3.000 stiker dan kartu nama, dan mencetak namanya di bendera partai. Dia masih belum juga mengunjungi daerah pemilihannya dan baru akan berangkat akhir minggu depan.

Pemilihan umum kurang dari dua bulan lagi, kenapa menunggu begitu lama? tanya saya.

“Saya tidak punya uang,” ujarnya. “Ini juga sudah lebih besar dari anggaran yang saya rencanakan.”

“Selain itu,” lanjutnya dengan nada positif, “Saya pikir semakin lambat saya berkampanye, semakin besar kemungkinan orang akan ingat saya dalam pemilu nanti.”

Ikuti @dasmaran di Twitter.

Diterjemahkan oleh Yoko Sari dari artikel “Warm Body, Hot Celebs: The Female Factor in This Election.”



#waveforequality


Avatar
About Author

Devi Asmarani

Devi Asmarani is the co-founder and Editor-in-Chief of Magdalene. She has enjoyed resisting every effort to tame her and ignoring every expectation tied to her gender.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *