December 5, 2025
Issues Politics & Society

Isu Perusuh dalam Penjarahan Pejabat: Aparat yang Tertangkap, Temuan Warga, dan Isu Makar yang Bahaya

Saat fasilitas umum dirusak, dan rumah pejabat dijarah, warga tetap tidak lupa tugas utamanya: saling jaga, saling pantau.

  • September 4, 2025
  • 9 min read
  • 3133 Views
Isu Perusuh dalam Penjarahan Pejabat: Aparat yang Tertangkap, Temuan Warga, dan Isu Makar yang Bahaya

Helm, mesin air, celengan, dolar Singapore, ijazah, tas LV, foto keluarga, setelan Iron Man, sertifikat rumah, jam tangan mahal, hingga boneka Labubu.

Daftar barang hasil penjarahan dari rumah Ahmad Sahroni itu berseliweran di media sosial beberapa hari terakhir. Dalam berbagai rekaman, terlihat massa mencomot apa saja yang bisa mereka bawa keluar dari rumah anggota DPR tersebut.

Sebagaimana dilaporkan oleh berbagai media, rumah Ahmad Sahroni, politikus Nasdem nonaktif yang bertempat di Tanjung Priok, Jakarta Utara dijarah pada Sabtu (30/8). Sementara rumahnya dijarah, Sahroni diketahui pergi ke luar negeri. Ia sempat tertangkap kamera sedang berada di Singapura, dan kini dilaporkan lanjut ke Jerman hingga Eropa Timur.

Rumah Ahmad Sahroni jadi yang pertama. Setelahnya, massa bergerak menjarah rumah anggota DPR lain yang menuai kontroversi. Di antaranya rumah Surya Utama (Uya Kuya), di Duren Sawit, Jakarta Timur dan Eko Patrio, di Kuningan, Jakarta Selatan. Penjarahan mereka dilakukan pada hari yang sama dengan rumah Ahmad Sahroni.

Dalam klip yang beredar di media sosial, terlihat massa penjarah membobol pagar rumah Uya Kuya. Barang yang diambil beragam, yang paling banyak disoroti adalah penjarahan kucing. Sementara di rumah Eko, sejumlah perabotan rumah tangga, pakaian, hingga barang elektronik turut dijarah.

Rumah Ketua DPR RI Puan Maharani juga ikut digeruduk massa pada (31/8) dini hari. Dari luar pagar, mereka berteriak menantang puan untuk keluar menemui massa. Namun, upaya itu gagal setelah aparat gabungan TNI-Polri berhasil mengamankan lokasi, sebagaimana dikutip Radar Banyuwangi.

Tak hanya Anggota DPR, Menteri Keuangan Sri Mulyani pun ikut terkena penjarahan. Penjarahan rumah Sri Mulyani terjadi dalam dua gelombang, pertama sekitar pukul satu dini hari, gelombang kedua terjadi sekitar jam tiga dini hari. 

Sebelumnya, publik juga digegerkan oleh pembakaran beberapa halte Transjakarta di dekat titik aksi. Berdasarkan catatan Tirto, ada tujuh halte yang dibakar. Antara lain: Halte Bundaran Senayan, Pemuda Pramuka, Polda Metro Jaya, Senen Toyota Rangga, Sentral Senen, Senayan, dan Gerbang Pemuda.

Merespons situasi yang tidak kondusif ini, Presiden Prabowo Subianto merespons dengan menyebut aksi demonstrasi mulai mengarah pada makar dan terorisme.

“Bahkan ada yang mengarah kepada makar dan terorisme,” ujar Prabowo, Minggu (31/08), saat menjenguk polisi-polisi yang terluka saat bertugas.

Ia memerintahkan TNI dan Polri mengambil “tindakan tegas” terhadap segala bentuk perusakan fasilitas umum maupun penjarahan.

“Saya perintahkan untuk mengambil tindakan yang setegas-tegasnya terhadap segala macam bentuk perusakan fasilitas umum, penjarahan terhadap rumah individu ataupun tempat-tempat umum atau sentra-sentra ekonomi, sesuai dengan hukum yang berlaku,” kata Prabowo.

Prabowo menegaskan aspirasi damai akan dihormati pemerintah, sepanjang tidak melanggar aturan.

Namun, berbeda dengan respons pemerintah yang reaktif, berbagai kalangan masyarakat menyoroti kejanggalan dari aksi kerusuhan sepanjang demonstrasi pekan lalu. Misalnya, sebelum aksi di rumah Puan berlangsung, sebuah video viral di TikTok yang menunjukkan massa sedang beramai-ramai menuju kediaman Ketua DPR itu. 

Di video, salah seorang massa menunjukkan sebuah pesan berantai yang disinyalir merupakan arahan untuk menjarah, seolah-olah penjarahan sudah dikoordinir. 

Selain video itu, ada juga video kesaksian seorang paramedis yang menyebut perusakan halte dilakukan oleh massa bukan demonstran. Ditambah sejumlah laporan media menemukan pelaku penjarahan dan perusakan fasilitas umum bukan berasal dari demonstran maupun warga sekitar. Klaim ini dikuatkan laporan Republika yang mewawancarai langsung sejumlah pelaku kerusuhan.

Kecurigaan publik juga mencuat ketika di beberapa video penjarahan terlihat adanya keamanan seperti TNI, namun pihak TNI tidak berbuat apa-apa. 

Wakil Panglima TNI Tandyo Budi Revita menyebutkan pihaknya menunggu permintaan kepolisian untuk membantu pengamanan. “Kita taat konstitusi. Ada permintaan tidak? Itu. Ada permintaan tidak? Saya sampaikan kita taat konstitusi, ya. Konstitusi bicara seperti itu. Kita kan perbantuan. Jelas ya,” kata Tandyo di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, (1/9) dikutip dari Kompas.com.

Mabes TNI sebelumnya juga sempat merespons unggahan viral di media sosial yang menyebut prajurit TNI ditangkap polisi karena diduga menjadi provokator kericuhan. Sebuah akun mengunggah foto pria yang dinarasikan sebagai anggota Bais TNI. Pria itu tampak diamankan polisi.

Unggahan tersebut juga disertai foto kartu tanda anggota Bais TNI yang dibawa pria itu. Ia ditangkap di daerah Pejompongan, Jakarta, pada Jumat (29/8).  Menanggapi ini, Wakil Panglima TNI Jenderal Tandyo Budi Revita menyebut narasinya tidak benar. Ia tidak membantah bahwa pria itu anggota TNI. Ia malah menyebut, harusnya informasi itu tidak disebarkan.

“Saya sampaikan ya, namanya orang memberikan informasi itu kan kita harus masuk di dalam, ya, itu kita ikut mereka, kegiatan mereka,” kata Tandyo seusai rapat bersama Komisi I DPR di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (1/9), dikutip dari detikNews.

“Begitu ini ditangkap kemudian keluar seperti itu, harusnya yang menangkap itu tidak menyebarkan itu, karena kan intelijen,” sambungnya.

Baca juga: #WargaBantuWarga: Solidaritas yang Tumbuh di Tengah Represi dan Tuduhan Makar

Temuan Media: Perusuh dari Kelompok Terorganisir

Berbeda dengan pernyataan pemerintah yang menuding aksi demonstrasi berujung makar dan terorisme, sejumlah laporan media justru menemukan fakta lain di lapangan.

Republika, dalam artikel berjudul “Siapa Penjarah Rumah Sahroni, Eko, Menkeu? Ini Kata yang Ketinggalan Rombongan”, menemukan bahwa massa penjarah didatangkan dari berbagai daerah luar Jakarta, seperti Cimahi, Bandung, Cianjur, Sukabumi, hingga Bogor.

Dalam wawancara dengan Ahu, salah seorang massa perusuh, aksi mereka diorganisir diduga preman berinisial R, serta atasan R yang identitasnya tidak diketahui Ahu karena selalu memakai masker.

Rombongan Ahu berangkat dari Cimahi dan menjemput massa tambahan dari berbagai kota. Mereka konvoi dengan mobil berplat nomor F, E, dan B, serta rombongan 600 orang bersepeda motor. Sebelum ke Senayan, mereka berunjuk rasa terlebih dahulu di Tangerang.

Ahu mengaku mereka sudah dipersenjatai oleh ratusan bom molotov dan petasan. Lalu saat tiba di Kompleks Parlemen, massa langsung menyerang pagar, membakar petasan, dan melempar bom molotov. 

Di saat yang bersamaan, sebagian massa membakar halte-halte Transjakarta menggunakan molotov. Sebagian lainnya siaran langsung di TikTok.

Sebagai imbalan, mereka diberi nasi bungkus dan diperbolehkan mengambil hasil jarahan. Ahu mengaku tidak mengetahui siapa saja pejabat yang menjadi target, tetapi ia tetap berniat ikut. Namun, pada malam sebelum penjarahan, situasi menjadi ricuh setelah polisi menembakkan gas air mata ke arah massa demonstrasi. Dalam kekacauan itu, Ahu terpisah dari rombongannya tanpa membawa ponsel maupun uang.

Saat Republika menunjukkan video penjarahan, Ahu mengenali beberapa penjarah. ““Itu yang naik ke atas mobil yang pegang hape sama jaket saya,” kata dia saat diperlihatkan video penjarahan dan perusakan kediaman politikus Nasdem Ahmad Sahroni di Tanjung Priok, Jakarta Utara. “Itu yang baju biru juga rombongan saya, Bang,” ia melanjutkan.

Temuan Republika itu sejalan dengan laporan Narasi. Dalam interview dengan warga di lokasi penjarahan, Narasi mencatat kesaksian yang menyebut penjarah bukan warga sekitar. Di kediaman Ahmad Sahroni, Ketua RT setempat Yuridisman menegaskan bahwa massa yang merangsek masuk ke rumah Ahmad Sahroni bukanlah warga sekitar, melainkan orang-orang tak dikenal yang sebagian besar masih remaja.

“Memang massa itu dari luar semua, kita enggak ada yang kenal itu, satu per satu, enggak ada yang kenal itu. Terus anaknya (penjarah) juga kayaknya masih remaja-remaja semua, sekitar SMA.”

Pola serupa juga terlihat di rumah Eko Patrio di Mega Kuningan dan rumah Uya Kuya di Pondok Bambu. Penjaga keamanan maupun warga sekitar sama-sama menegaskan bahwa massa yang datang bukan bagian dari lingkungan mereka. Jumlahnya besar, datang bergelombang, dan tak satupun dikenali penduduk setempat.

Hal yang sama terjadi di Bintaro, Tangerang Selatan. Staf keamanan rumah Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku penjarah datang bergerombol dalam jumlah besar, bahkan ada yang membawa senjata tajam dan drone

Laporan Tirto menunjukkan, massa datang serempak lewat pintu gerbang kompleks, lalu meninggalkan lokasi juga dengan bersamaan. Salah satu saksi mata menyebut seperti ada aba-aba sebelum massa memasuki kompleks perumahan Sri Mulyani. Aba-aba berupa bunyi kembang api.

Baca juga: Sejumlah Aktivis Ditangkap, Puluhan Orang Masih Hilang: Kebebasan Sipil Terancam

Pola yang Berulang dari Kerusuhan 1998

Pola terorganisir yang ditemukan Republika maupun kesaksian warga yang dihimpun Narasi dan Tirto seakan mengulang pola lama kerusuhan Mei 1998. Kala itu, terjadi peristiwa serupa yaitu penjarahan, pembakaran, hingga perusakan fasilitas umum.

Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dalam laporannya menemukan bahwa aksi kerusuhan tersebut bukanlah murni tindakan spontan rakyat. Laporan TGPF menyebut kalau ada kelompok provokator yang memulai kerusuhan. 

Mereka menggerakkan massa dengan memancing keributan, melakukan perusakan awal, pembakaran, dan mendorong penjarahan. Kelompok provokator tidak berasal dari penduduk setempat. Mereka juga telah menyiapkan alat-alat untuk membuat rusuh seperti batu, bom molotov, cairan pembakar, linggis, dan lain-lain.

Temuan TGPF paralel dengan pola yang terjadi dalam penjarahan rumah pejabat dan pembakaran halte Transjakarta baru-baru ini. Massa penjarah datang dari luar Jakarta, bergerak secara terorganisir, dipersenjatai dengan bom molotov dan petasan, serta ada sosok yang menggerakkan. Kesaksian warga di lokasi penjarahan pun menguatkan bahwa pelaku bukanlah bagian dari komunitas lokal.

Sebagaimana temuan TGPF 1998, warga setempat kerapkali hanya hadir sebagai penonton, dan baru terlibat setelah kerusuhan terjadi. Langkah pertama penjarahan dan perusakan dilakukan oleh massa dari tempat dan identitas yang tidak diketahui.

Baca juga: Mahasiswa Amikom Tewas, Diduga Akibat Brutalitas Aparat

Bahaya Narasi Penjarahan

Virdika Rizky Utama, peneliti politik dari PARA Syndicate, menegaskan kalau kerusuhan dan penjarahan yang terjadi pekan lalu bukanlah pola yang baru. Ia menuturkan, pada Mei 1998 kerusuhan juga terjadi setelah muncul kelompok tak dikenal bergerak di luar tuntutan masyarakat.

“Tujuannya bisa macam-macam. Bisa untuk menciptakan alasan intervensi, bisa untuk mendiskreditkan gerakan sipil, bisa juga untuk membuka ruang bagi aktor-aktor yang selama ini berada di pinggir kekuasaan,” katanya, dilansir dari BBC Indonesia.

Pola yang berulang dan kejanggalan yang kentara membuat spekulasi publik tidak dapat dihindari. Penjarahan terhadap rumah pejabat, termasuk milik Sri Mulyani, menimbulkan tanda tanya besar di benak publik. Ketika sosok sekelas menteri keuangan bisa dijarah tanpa perlindungan memadai, wajar jika muncul spekulasi tentang siapa yang mengatur, siapa yang membiarkan, dan siapa yang sebenarnya diuntungkan dari situasi ini.

“Saya pikir publik menangkap itu. Dan ketika figur sekelas Sri Mulyani bisa dijarah tanpa perlindungan, spekulasi soal siapa yang mengatur, siapa yang membiarkan, dan siapa yang diuntungkan jadi tak terhindarkan,” tambahnya.

Virdika mengingatkan soal bahaya narasi penjarahan yang saat ini terus digulirkan. Menurutnya, perbedaan penjarahan hari ini dengan tahun 1998 adalah adanya tujuan untuk menggeser narasi, yang dapat membuat tuntutan rakyat tenggelam. 

“Supaya tuntutan rakyat tenggelam di tengah asap dan pecahan kaca. Supaya negara punya alasan untuk bertindak lebih keras. Supaya ruang sipil bisa dibekukan atas nama ketertiban,” tambahnya.

Ia juga menyampaikan kekhawatirannya bahwa tuduhan makar dan terorisme yang dilontarkan presiden bisa dijadikan dalih untuk membenarkan tindakan represif terhadap gerakan rakyat.

“Saya khawatir, tuduhan makar dan terorisme (dari presiden) bisa dipakai untuk membenarkan represi.”

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Muhammad Rifaldy Zelan and Aulia Adam