Bagaimana Jelaskan ke Anak tentang Demonstrasi dan Kabar Buruk Hari ini?
Nara, bayi perempuan berusia 13 bulan, biasanya tenang. Tangisnya muncul hanya saat lapar atau popoknya basah. Namun beberapa hari terakhir, Nara lebih rewel, menangis keras tanpa sebab jelas. Sasa, 31, ibu rumah tangga sekaligus reseller skincare, sudah mencoba berbagai cara untuk menenangkan anaknya. Mulai dari menimang, menggendong, mengecek suhu, bahkan berbicara lembut. Semua usaha sia-sia. Nara baru berhenti ketika tubuhnya terlalu lelah untuk menangis.
Perubahan ini terlihat sejak tiga hari terakhir. Sasa menghabiskan sebagian besar waktu dengan Nara, tapi perhatian pada gawainya tetap tak teralih. Sambil scrolling media sosial, ia membaca informasi terbaru. Sejak gelombang demonstrasi terus bergulir di berbagai daerah di Indonesia, keterlibatannya dengan gawainya meningkat drastis.
“Bagaikan mengonsumsi narkoba, aku ketagihan membaca informasi dari kanal berita dan media sosial, lalu membagikannya di Instagram Story atau X pribadiku,” ujarnya.
Sasa menyadari kebiasaan ini berdampak buruk bagi kesehatan mentalnya, terlebih karena masih menyusui Nara. Namun rasa kewajiban dan kecemasan sosial politik membuatnya sulit berhenti. “(Aku) enggak bisa ikut turun (aksi demonstrasi) karena Nara masih belum bisa ditinggal, jadi cuma ini yang bisa kulakukan,” tambahnya.
Meski membatasi diri membuka media sosial, kecemasan dan ketakutan tetap menumpuk, dan Nara menyerap semua itu. Bayi seperti Nara berperan sebagai “spons” emosi lantaran menyerap getaran hati orang tua tanpa bisa membedakan realitas dari stres orang tua.
Baca Juga: Pola Asuh Otoritatif yang Hangat namun Tegas Bermanfaat Bagi Anak
Anak Menyerap Kecemasan Orang Tua
Berbeda dengan bayi, anak yang sudah bisa berbicara menunjukkan dampak emosi orang tua lewat kata dan tindakan. Reno, 5, anak Ayu, belakangan lebih sering menunjukkan kasih sayang berlebihan. “Mama, I love you,” ucapnya disertai ciuman dan pelukan erat.
Reno juga menjadi lebih sensitif terhadap suara dan gerak-gerik ibunya. Hampir setiap kali Ayu membuka atau menutup pintu, ia bertanya ke mana sang ibu pergi dan memohon agar tidak meninggalkannya.
Bahkan Erna, Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang menjaga Reno menceritakan, “‘Mama hari ini berangkat demo lagi. Aduh, Reno takut kalau Mama ditangkap polisi. Reno sedih,’ dia bilang gitu. Terus kata Erna tuh Reno jadi lebih sering bengong.”
Meski tidak terpapar langsung berita demonstrasi, Reno menyerap kecemasan yang Ayu rasakan sebagai redaktur pelaksana media daring di Jakarta. Terlebih sejak (28/8), beban kerjanya meningkat: Memantau situasi, merencanakan editorial, dan menyunting tulisan reporter.
“Aku tuh sama editor dan pimpinan redaksi sampai jam 1 pagi masih koordinasi terus, masih memantau dan mengevaluasi kira-kira mau ngapain nih ini ada apa lagi nih, kayak gitu. Jadi kayak enggak pernah tidur gitu grup kerjaan,” ungkap Ayu.
Beban kerja yang berat, ditambah arus informasi yang penuh kekhawatiran, membuat kecemasan dan ketakutan Ayu tanpa sadar terserap oleh Reno.
Nana, 41, jurnalis sekaligus dosen di sebuah universitas Bandung, menghadapi tekanan serupa. Emosi dominan yang ia rasakan adalah kemarahan, diperparah oleh insiden brutalitas aparat pada (1/9) di kampus dekat rumahnya. Ia berusaha menahan diri agar tidak terlihat marah di depan anaknya yang berusia 7 tahun. Namun rentetan berita buruk yang terus diterima membuat letupan emosi muncul tanpa disengaja. Akibatnya, anaknya semakin menempel, memastikan orang tua aman, dan sering menanyakan keberadaan mereka.
“Suamiku juga jurnalis dan dia jadi merasa tidak aman kalau jauh-jauh dari orang tuanya. Jadinya suka nanyain kenapa bapak belum pulang ya sampai jam segini, coba ibu teleponin bapak,” ceritanya.
Baca Juga: Pelajaran Soal ‘Parenting’ dari Ibuku yang Anti-Mainstream
Emosi Orang Tua Terlihat dan Tertangkap Anak
Anna Surti Ariani, psikolog anak, menegaskan orang tua tidak bisa menyembunyikan emosi dari anak. Reaksi fisiologis—detak jantung cepat saat marah, tekanan darah naik, pernapasan lebih cepat, hingga bulu kuduk berdiri saat takut—akan tertangkap anak saat berada dekat dengan mereka. Bahkan hal-hal sekecil raut wajah atau nada suara yang sedikit berubah pun dapat dirasakan anak.
“Katakanlah kita lagi marah, tapi kita berusaha sekali untuk tidak ada marah-marah depan anak. Tapi kemudian kita peluk anak. Nah, ketika kita memeluk anak, itu sebenarnya sensasi fisiologis kemarahan kita tertangkap oleh anak,” jelas Anna.
Selain reaksi fisiologis, anak menyerap perubahan halus dalam tindakan dan tutur orang tua. Bayi dan balita belum bisa mengenali atau mengatur emosinya sendiri karena korteks otak mereka belum berkembang sepenuhnya. Akibatnya, mereka hanya bisa merasakan, meniru, dan merespons gejolak emosional orang tua.
Bayi bisa menjadi lebih rewel, menangis lebih sering, dan sulit ditenangkan. Balita, seperti Reno, menunjukkan perubahan perilaku yang lebih kompleks: Gangguan tidur, mimpi buruk, ketergantungan emosional, dan rasa takut berlebihan terhadap hal-hal yang sebelumnya aman, misalnya orang tua yang meninggalkan ruangan sebentar atau perubahan rutinitas harian.
“Ngikutin mulu ya apalagi ini anak-anak yang udah mulai bisa jalan. Itu biasanya tuh kayak ngintil mulu ibunya tanpa mereka juga tidak mengerti kenapa. Ya itu karena emosi itu bukan sesuatu yang mudah terkatakan, tapi terasa di badan,” kata Anna.
Fenomena ini juga terlihat pada Nara, bayi berusia 13 bulan. Ia mulai menangis lebih kencang dan lebih sering sejak ibunya mengalami kecemasan akibat paparan berita dan demonstrasi. Tubuh bayi secara otomatis merespons energi emosional dari orang tua, meski bayi belum memahami apa yang sedang terjadi.
Ayu mengamati jadwal tidur Reno mulai berantakan. Biasanya tidur pukul delapan malam, kini baru tidur pukul sebelas hingga dua belas malam. Saat tidur, ia tetap menempel pada ibunya untuk mencari perlindungan. Hal ini menegaskan betapa anak-anak membaca setiap sinyal emosional dari orang tua mereka, bahkan yang tampak sepele sekalipun, seperti napas yang cepat atau senyum yang terpaksa.
Baca Juga: Jerat Orang Tua Toksik dan Sulitnya Anak Menentukan Nasib Sendiri
Mulai Sadari dan Meregulasi Emosi
Anna menekankan bahwa jika orang tua tidak segera mengelola emosinya, dampak pada anak bisa serius, termasuk developmental trauma. Trauma ini tidak hanya berasal dari pola asuh, tetapi juga dari ketidakmampuan orang tua mengolah emosinya sendiri sehingga berdampak pada anak yang masih berkembang.
Langkah pertama adalah menyadari emosi sendiri. Perhatikan perubahan kecil pada tubuh dan kebiasaan: apakah detak jantung lebih cepat, napas tersengal, bahu dan leher terasa tegang, atau ada kebiasaan baru yang muncul? Identifikasi emosi dominan—marah, cemas, takut, atau putus asa. Kesadaran ini menjadi fondasi untuk mulai mengelola emosi secara sadar.
Tahap berikutnya adalah belajar mengelola emosi tersebut. Anna menyarankan latihan sederhana namun efektif, termasuk bernapas dengan sadar (mindful breathing). Fokus pada setiap hembusan napas, rasakan masuk dan keluarnya udara, perhatikan detak jantung, dan amati bagaimana tubuh mulai menenangkan diri sedikit demi sedikit. Selain itu, ubah kebiasaan yang dapat memicu kecemasan pada anak. Misalnya, jika sering mengecek jendela, kurangi frekuensi sambil memberi penjelasan singkat agar anak merasa aman.
“Kabar baiknya adalah kalau kita sudah lebih bisa menenangkan diri kita, maka emosi yang lebih positif tersebut akan tertangkap oleh anak dan menular ke mereka. Jadi memang penguasaan dan regulasi emosi itu sangat penting buat orang tua,” kata Anna.
Ayu mulai menerapkan regulasi emosi setelah menyadari dirinya mengalami self-compassion fatigue, akibat paparan berkepanjangan terhadap penderitaan orang lain sebagai jurnalis. Ia belajar memberi belas kasih pada diri sendiri, bernapas ritmis, memberi afirmasi positif, dan memberi waktu istirahat nyata walau sebentar, seperti mematikan ponsel, duduk santai, minum teh, atau tidur singkat.
“Pokoknya belajar ngasih izin ke diri sendiri kalau nggak bisa selalu sempurna,” ujarnya.
Dari proses ini, Ayu menata kembali interaksi dengan Reno. Ia selalu menanyakan perasaan anak, mendengarkan tanpa buru-buru menasihati, menceritakan buku favorit dengan pesan positif agar anak memahami situasi tanpa takut, dan lebih sering menunjukkan kasih sayang fisik. Ia juga menyesuaikan rutinitas harian agar anak merasa aman, seperti menetapkan waktu tidur yang lebih konsisten, mengurangi eksposur berita yang menakutkan, dan menyediakan momen berkualitas walau sebentar.
“Biar dia merasa aman dan enggak sendirian. Intinya, aku fokus buat komunikasi yang hangat, tenang, dan hadir penuh saat bersamanya, walaupun waktunya terbatas,” tutupnya.
















