December 18, 2025
Environment Issues Opini Politics & Society

Hewan juga Korban Bencana, Inisiatif Warga Tak Seharusnya Bikin Negara Cuci Tangan

Banjir Sumatera menunjukkan, penyelamatan hewan lebih banyak ditopang solidaritas warga ketimbang sistem negara yang seharusnya bekerja.

  • December 3, 2025
  • 6 min read
  • 826 Views
Hewan juga Korban Bencana, Inisiatif Warga Tak Seharusnya Bikin Negara Cuci Tangan

Banjir dan longsor yang melanda berbagai wilayah di Sumatra dalam beberapa hari terakhir bikin kita be duka. Daerah di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat terdampak parah, terutama kawasan yang sebelumnya mengalami alih fungsi hutan dan degradasi daerah aliran sungai. Ini jelas bukan sekadar cuaca ekstrem, melainkan puncak dari tata ruang yang melampaui daya dukung lingkungan, lemahnya perlindungan ekosistem, dan sistem kebencanaan yang belum memperlakukan seluruh korban secara setara. 

Bencana ekologis tak pernah berdiri sendiri. Ia selalu berkaitan dengan struktur kuasa, baik ekonomi, geografi, hingga politik representasi kelompok rentan. Namun ada satu kelompok korban yang hampir selalu luput dari perhatian: Satwa liar dan hewan domestik. Mereka enggak punya ruang untuk menuntut perlindungan, tidak masuk dalam formulir prioritas bantuan, dan jarang menjadi bagian dari skema evakuasi resmi. Kehilangan mereka lebih sering hadir sebagai gambar viral di lini masa ketimbang diakui sebagai bagian dari tragedi yang sama. 

Gambaran itu terasa jelas pada (1/12), ketika bangkai seekor gajah Sumatera ditemukan terseret banjir bandang di Pidie Jaya, Aceh. Ia terjebak di antara tumpukan kayu yang dibawa arus. Bangkainya tak dapat dievakuasi karena medan sangat sulit. 

Banyak yang melihat peristiwa ini sebagai dampak “banjir ekstrem,” padahal pembingkaian itu tidak sepenuhnya menjelaskan akar masalah. Gajah itu tidak mati akibat terseret derasnya arus, tetapi gara-gara hutan tempat tinggalnya hilang, sungai-sungai melemah daya tampungnya, dan tanah di sana tak lagi mampu menyerap air. 

Banjir dan longsor ini membuat populasi gajah Sumatera yang berstatus terancam kritis menurut lembaga konservasi internasional, terus menurun. Lalu siapa paling bertanggung jawab? Sejumlah lembaga masyarakat menduga, ada andil industri ekstraktif yang membalak atau mengalihfungsikan hutan menjadi kebun monokultur.

Namun ada satu kelompok korban yang hampir selalu luput dari perhatian: Satwa liar dan hewan domestik. Mereka enggak punya ruang untuk menuntut perlindungan, tidak masuk dalam formulir prioritas bantuan, dan jarang menjadi bagian dari skema evakuasi resmi.

Baca Juga: ‘Warga Sudah Peringatkan tapi Tak Didengar’: Banjir Sumatra Kini Telan Ratusan Korban 

Satwa Tak Dianggap Subjek Korban 

Dalam skema kebencanaan Indonesia, satwa liar maupun hewan domestik hampir tidak pernah masuk daftar prioritas. Konservasi berada di satu kementerian, penanggulangan bencana di lembaga lain, dan urusan kesejahteraan hewan domestik di instansi berbeda pula. Fragmentasi kewenangan ini membuat tidak ada mekanisme otomatis yang memerintahkan evakuasi satwa ketika status darurat bencana diumumkan. 

Jika ada satwa yang terselamatkan, itu lebih sering hasil kerja organisasi penyelamatan hewan, dokter hewan lokal, dan relawan komunitas—bukan karena negara memiliki protokol yang menyeluruh. Kebijakan bantuan tidak meniadakan keberadaan satwa, tetapi juga tidak menginstitusikan mereka sebagai prioritas. Posisi mereka berada di ruang abu-abu: bukan tidak dianggap korban, namun juga tidak diutamakan. Akibatnya, penyelamatan satwa dalam bencana berubah menjadi kerja moral sukarela, bukan mandat kebijakan. 

Pada saat yang sama, manusia yang paling terdampak kerap berasal dari kelompok lokal—komunitas adat penjaga hutan, petani kecil, perempuan di wilayah hilir yang menanggung beban perawatan, serta warga desa yang minim akses mitigasi risiko. Sementara itu, keputusan mengenai alih fungsi lahan, konsesi, dan pembukaan hutan lebih banyak diambil oleh struktur yang jauh dari wilayah terdampak dan dekat dengan kepentingan modal. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa korban ekologis, baik manusia maupun satwa, lahir dari pola kekuasaan yang sama. 

Perspektif interseksionalitas pernah dijelaskan Profesor dan Aktivis AS Kimberlé Crenshaw dalam Demarginalizing the Intersection of Race and Sex (1989). Penjelasannya membantu kita memahami bahwa bencana ekologis menyingkap irisan identitas korban sekaligus kekuasaan yang menciptakan kerentanan sejak awal. 

Hak untuk hidup aman tergerus sejak ruang direkayasa tanpa pertimbangan ekologis. Statistik kerentanan perempuan lokal dan kerusakan habitat satwa bukan dua masalah terpisah—melainkan dua gejala dari ketimpangan yang sama. 

Baca juga: 7 Perusahaan Diduga Jadi Biang Keladi Bencana Ekologis di Sumatera Utara

Warga Bantu Warga Mengisi Lubang Kebijakan 

Di tengah minimnya sistem penyelamatan satwa, solidaritas publik muncul sebagai respons instan. Penyanyi Sherina Munaf, bersama komunitas Stay Purr Club dan organisasi penyelamatan hewan JAAN Domestic, menginisiasi penggalangan dana di platform Kitabisa.com untuk menyelamatkan hewan yang terdampak banjir. 

Hingga (2/12), mereka mengumpulkan Rp119 juta dari target Rp200 juta, melibatkan 1.332 donatur. Partisipasi ini menunjukkan solidaritas lintas daerah, mobilisasi cepat melalui ruang digital, dan peran signifikan perempuan serta generasi muda sebagai penggerak. 

Dalam deskripsi penggalangan dananya, Sherina menulis: “Teman-teman, tanpa mengurangi kepedulian kita pada korban manusia—hewan-hewan di Sumatera juga menghadapi situasi sulit dari akumulasi ulah manusia yang merusak ruang hidup mereka.” 

Kalimat ini buat saya bukan sekadar ajakan berdonasi. Ia adalah kritik terhadap model perlindungan yang baru bergerak ketika tragedi sudah terjadi. Percikan empati publik tidak muncul dari ruang kosong melainkan lahir karena sistem formal belum mengakomodasi satwa sebagai subjek penyintas. 

Bantuan dari komunitas seperti JAAN Domestic tidak menggantikan kerja kemanusiaan, tetapi mengisi celah sistemik yang sejak awal tidak mengakui satwa sebagai bagian dari mandat penyelamatan. Donasi bukan penanda bahwa masalah selesai, tetapi penanda bahwa negara belum menyediakan jalur bantuan otomatis. 

Habitat satwa sudah rusak jauh sebelum banjir datang, dan ketika bencana terjadi, tidak ada mekanisme penyelamatan yang otomatis bekerja.

Di lapangan, relawan berhadapan dengan keterbatasan dokter hewan, minimnya peralatan evakuasi, dan sulitnya akses menuju kawasan sungai maupun hutan. Banyak hewan domestik terpisah dari pemiliknya dan kehilangan sumber pakan. Relawan manusia pun sudah kewalahan mengurus logistik penyintas, membuat penyelamatan satwa kian bertumpu pada NGO lokal dan komunitas digital. Bukan karena negara abai, melainkan karena kebijakan belum dirancang untuk secara otomatis mengakui satwa sebagai bagian dari penanganan bencana. 

Dalam perspektif interseksional, kondisi ini menyingkap dua hal. Pertama, sistem bantuan lebih mudah mengakui korban yang identitasnya “kebijakan-friendly” — mereka yang bisa dicatat dalam formulir, anggaran, atau jalur distribusi. Gajah Sumatera mungkin dilindungi di atas kertas, tetapi habitatnya tidak pernah setara prioritasnya dengan kepentingan industri. Kedua, perempuan dan generasi muda urban yang melihat kekosongan respons negara justru menjadi motor solidaritas yang paling cepat bergerak. 

Namun inti persoalannya jauh melampaui penggalangan donasi. Yang kita lihat adalah lubang kebijakan: Habitat satwa sudah rusak jauh sebelum banjir datang, dan ketika bencana terjadi, tidak ada mekanisme penyelamatan yang otomatis bekerja. Karena itu, pertanyaan mendasarnya bukan hanya “bagaimana mengevakuasi bangkainya?”, tetapi “mengapa habitat yang seharusnya menjaganya tetap aman dibiarkan hilang?” 

Penyelamatan satwa bukan sekadar mengangkat tubuh dari lumpur; ia menyangkut pemulihan ruang hidup. Dan ruang hidup itu rusak bukan oleh “manusia” secara abstrak, melainkan oleh konfigurasi kuasa: izin industri, pembalakan, dan alih fungsi yang disahkan oleh segelintir pemegang modal. 

Baca juga: Dari Banjir ke Banjir: Mengapa Kita Masih Gagap Hadapi Bencana?

Kutipan Sherina menunjukkan hal itu dengan jernih: empati pada satwa dan manusia tidak saling meniadakan. Perlindungan habitat harus menjadi bagian dari tata ruang, dan sistem kebencanaan wajib memasukkan satwa sebagai subjek yang layak diselamatkan. Jika tidak, penyelamatan akan terus bergantung pada solidaritas digital alih-alih kebijakan yang bekerja sebelum bencana tiba. 

Banjir dan longsor mungkin tidak dapat dihilangkan sepenuhnya, tetapi jumlah korban—baik manusia maupun satwa—dapat ditekan bila negara berhenti melihat ruang hidup sebagai arena produksi semata. Ekosistem yang sehat adalah prasyarat perlindungan lintas spesies. Solidaritas publik penting, tetapi sistemlah yang seharusnya memimpin. 

Karena ketika satwa, perempuan lokal, warga desa, dan seluruh lanskap ekologis berada dalam irisan tragedi yang sama, maka keadilan bantuan juga harus hadir pada irisan kebijakannya. 

About Author

Foggy FF

Foggy FF adalah novelis dan cerpenis, aktif berkampanye tentang isu kesehatan mental dan pemberdayaan perempuan.