December 5, 2025
Issues

Saat Kepemilikan Buku Jadi Bukti Kejahatan

Kepolisian menyita sejumlah buku demonstran sebagai kejahatan. Ini menandakan sesat pikir dan kekalutan rezim, sehingga dibutuhkan perlawanan kolektif untuk membaca, berpendapat, dan melawan intimidasi.

  • October 30, 2025
  • 5 min read
  • 395 Views
Saat Kepemilikan Buku Jadi Bukti Kejahatan

Di atas meja barang bukti, buku-buku diletakkan sejajar dengan benda-benda lain yang mencurigakan: bom molotov, spanduk, hingga cat semprot. Judul-judul yang sebenarnya sudah lama beredar di toko-toko buku atau rak-rak perpustakaan publik seperti Pemikiran Karl Marx karya Franz Magnis-Suseno, Anarkisme karya Emma Goldman, Kisah Para Diktator oleh Jules Archer, dan Strategi Perang Gerilya dari Che Guevara mendadak berubah status, dari bacaan menjadi bukti kejahatan.

Buku-buku ini menyoroti perjuangan untuk kebebasan, keadilan sosial, serta perubahan radikal terhadap sistem politik yang mapan. Tak ada yang berbahaya dari isinya, tapi dalam gelombang penangkapan massal pasca-demonstrasi pada akhir Agustus hingga September lalu, buku itu jadi alat bukti kejahatan yang dipercaya menimbulkan kericuhan.

Polisi berdalih penyitaan dilakukan sesuai hukum. Kepala Bidang Humas Polda Jawa Barat, Kombes Hendra Rochmawan, menyatakan buku-buku itu “berperan membentuk pola pikir pelaku.”

“Paham anarko dan anarkisme ini terinspirasi dari buku-buku tersebut. Pemahaman ideologi itu dari buku ke buku, yang dia baca,” ujar Hendra, seperti dikutip dari Tirto.id.

 Baca Juga: Demonstrasi Berujung Mimpi Buruk: Cerita Rian, Remaja Korban Kekerasan Aparat

Salah kaprah soal penyitaan buku

Penyitaan buku sebagai bukti kejahatan menunjukkan cacat prosedural dan inkonstitusional. Girlie Lipsky Aneira dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menjelaskan dalam hukumonline.com bahwa Pasal 39 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menegaskan: barang yang disita harus relevan dengan tindak pidana. Artinya, penyitaan hanya sah bila barang itu langsung digunakan untuk melakukan kejahatan. Kepemilikan atau pembacaan buku tidak bisa dijadikan bukti tindak pidana.

Ronny Agustinus, pendiri penerbit Marjin Kiri, menilai dasar kriminalisasi ini terletak pada kesalahan logika tentang membaca. Menurutnya, membaca adalah proses kumulatif: pembaca berdialog, mempertanyakan, dan menilai isi buku. Seseorang bisa setuju atau menolak ide di dalamnya, dan pandangannya bisa berubah seiring waktu. Karena itu, ia mengatakan, menyimpulkan bahwa orang pasti bertindak sesuai buku yang dibaca adalah kekeliruan berpikir.

“Apakah kita bisa menyimpulkan itu semua hanya dari bacaan? Tidak. Pasti ada hal lain seperti jalan hidup dan pengalaman pribadi,” ujar Ronny.

Sejarah menunjukkan penyitaan buku bukan hal baru. Penulis dan sejarawan Raisa Kamila menjelaskan, hampir setiap rezim punya jejak kelam menjadikan buku sebagai kambing hitam.

Pemerintah kolonial Belanda, lewat Commissie voor de Inlandsche School en Volkslectuur (Balai Pustaka), menyensor bacaan yang dianggap membahayakan kekuasaan. Buku-buku Semaoen dan Marco Kartodikromo yang membahas ketidakadilan dan kemerdekaan dilarang beredar. Pada masa pendudukan Jepang, karya Sutan Takdir Alisjahbana juga dilarang karena dianggap menyebarkan imperialisme Barat, di saat negara itu gencar menggaungkan pan-Asianisme atau ideologi persatuan politik, ekonomi, dan budaya di antara negara-negara Asia.

Setelah kemerdekaan, praktik pelarangan buku berlanjut. Di akhir masa Soekarno, karya Mochtar Lubis, Hamka, Sjahrir, dan Pramoedya Ananta Toer sempat dilarang. Di era Orde Baru, pelarangan mencapai puncaknya. Instruksi Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 1381/1965 menetapkan daftar buku-buku yang harus ditarik, termasuk karya Pramoedya dan S. Rukiah. Penulis dan penjualnya bisa dipenjara.

Setelah reformasi, pelarangan tetap terjadi. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) No. XXV/MPRS/1966 tentang larangan ajaran komunisme masih dijadikan dasar aparat menyita buku. Namun, Raisa mencatat pola baru pada kasus demonstrasi kali ini.

“Dulu, situasinya lebih jelas, ada surat edaran atau peraturan yang melarang buku tertentu. Sekarang, penafsirannya jauh lebih karet dan tidak jelas batasnya,” ujarnya.

Misalnya, seseorang bisa dituduh makar hanya karena memiliki buku tentang komunisme atau Organisasi Papua Merdeka (OPM).

“Fokusnya kini menebar teror,” kata Raisa.

Baca Juga: Kartu Pers Tak Lagi Cukup Melindungi: Intimidasi Jurnalis dalam Aksi Massa

Semakin dilarang semakin menyebar

Bagi kekuasaan yang rapuh secara intelektual, berpikir kritis adalah ancaman. Penyitaan buku lebih merupakan pesan politis bahwa penguasa tengah mengawasi warganya. Tapi sejarah juga menunjukkan, semakin keras larangan, semakin banyak orang yang membacanya secara diam-diam. Gerakan membaca pun menjadi bentuk perlawanan.

Makassar Book Club, misalnya, rencananya menggelar diskusi tentang buku-buku terlarang di Makassar dan Jakarta bulan Oktober. Awal Hidayat, pegiat literasi di komunitas itu, menekankan pentingnya membuka ruang bagi buku-buku yang dilarang, bukan hanya untuk melawan rasa takut, tapi menjaga agar pengetahuan alternatif tetap hidup.

“Harapannya supaya kita nggak gentar, tetap membahas buku-buku yang penting,” ujarnya.

Menurutnya, buku yang disita justru bisa menjadi pintu masuk untuk belajar. Pertanyaan seperti “Mengapa buku ini dilarang?” atau “Apa yang hilang jika buku ini dirampas?” memicu pemikiran kritis.

Hal serupa dilakukan Raisa dan kawan-kawannya di Banda Aceh. Mereka mengadakan kegiatan baca bulanan khusus buku sejarah agar publik bisa membedakan antara wacana kritis dan tuduhan sepihak. Ruang diskusi menjadi bentuk perlawanan intelektual agar pengetahuan tidak dimonopoli kekuasaan.

Gerakan membaca juga diperkuat toko buku independen. Windy Ariestanty, penulis dan pendiri toko buku independen patjarmerah, mengatakan toko-toko ini berperan sebagai kurator ide.

Baca Juga:  Temuan Komnas Perempuan dalam Aksi Massa: Penangkapan, Label ‘Nakal’, dan ‘Fear Mongering’ Kekerasan Seksual

“Dengan menata buku-buku progresif di rak-rak mereka, mereka berkata, ‘Pemikiran ini penting. Suara ini layak didengar.’ Mereka menyaring kebisingan informasi dan mengarahkan pembaca pada karya-karya yang substansial,” jelas Windy.

Penyitaan buku bukan akhir dari gagasan, melainkan awal dari perlawanan pengetahuan. Di tengah represi, diskusi, ruang baca, dan toko buku independen menjadi benteng terakhir kebebasan intelektual. Selama ada orang-orang yang percaya bahwa membaca adalah hak, maka pengetahuan dan gagasan tak akan bisa dibungkam.

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.