Issues Politics & Society

Wajib Lapor Barang Bawaan: Bukan Kali ini Saja Bea Cukai Bikin Repot

Empat peraturan ‘agak laen’ Bea Cukai, dari pembatasan pembalut sebanyak lima potong hingga wajib lapor barang bawaan.

Avatar
  • April 1, 2024
  • 7 min read
  • 2310 Views
Wajib Lapor Barang Bawaan: Bukan Kali ini Saja Bea Cukai Bikin Repot

Belakangan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai panen sindiran dari warganet X gara-gara aturan barunya. Dalam video yang pertama kali diunggah akun Instagram Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea Cukai (KPPBC) Tipe Madya Pabean (TMP) B Bandara Kualanamu disebutkan, setiap penumpang yang mau ke luar negeri diminta melaporkan barang bawaan ke petugas Bea Cukai di terminal kedatangan.

Dikutip dari CNN Indonesia, penumpang harus mengantre dan melaporkan barang apa saja yang akan dibawa ke luar negeri termasuk data diri, tiket perjalanan, dan boarding pass. Setelah itu, penumpang akan diberikan dokumen Surat Persetujuan Membawa Barang (SPMB) atau Formulir BC 3.4 sebagai bukti pelaporan.

 

 

Sekembalinya ke Indonesia, penumpang juga harus menunjukkan dokumen BC 3.4 kepada petugas Bea Cukai. Hal ini dilakukan untuk memastikan barang yang dilaporkan benar-benar dibawa kembali. Jika terdapat barang yang tidak dibawa kembali, akan diperiksa apakah barang tersebut dianggap sebagai ekspor dan dikenakan bea keluar.

Peraturan tersebut dianggap enggak efektif, buang-buang waktu, dan justru bakal merepotkan WNI yang hendak melakukan perjalanan ke luar negeri. Apalagi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sendiri juga mengimbau penumpang untuk datang lebih awal demi untuk melaporkan barang bawaannya. Penumpang yang tadinya bisa langsung pergi ke terminal keberangkatan (Departure), lewat peraturan baru ini harus pergi ke terminal kedatangan (Arrival) dan mengisi dokumen terlebih dahulu untuk kemudian kembali ke terminal keberangkatan.

Tak cuma buang-buang waktu, warganet juga menyindir pertanyaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang mengatakan bahwa pelaporan bersifat opsional alias tidak wajib. Berdasarkan rapor merah petugas Bea Cukai, warganet curiga, peraturan yang harusnya opsional justru berubah wajib oleh oknum-oknum tertentu. Pun, bisa menjadi celah untuk memberikan pajak barang pribadi dengan alasan tidak dideklarasi dari awal.

Peraturan nyeleneh mengundang kontroversi dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai bukan kali ini saja. Ada beberapa peraturan lain yang dianggap merugikan masyarakat. Berikut rangkuman redaksi Magdalene:

Baca Juga: Upaya Naikkan Pajak Orang Super Kaya Dapat Bantu Pulihkan Ekonomi Saat Pandemi

1.  Pembatasan Pembalut, Popok, dan Handuk

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diprotes akibat kebijakan pembatasan jenis barang bawaan penumpang dari luar negeri. Mengutip dari akun resmi X @beacukaiRI, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 yang mulai berlaku 10 Maret 2024, setiap penumpang hanya boleh membawa barang tekstil jadi sebanyak 5 (lima) potong/item per orang.

Kategori barang tekstil sendiri mencakup selimut, sprei, taplak meja, handuk, kain lap, tirai gorden, kelambu, kantong/karung, tote bag, terpal, tenda, pampers/pembalut/sanitary towel. Bagi perempuan yang mengalami masa menstruasi, pembatasan pembalut yang hanya dibolehkan lima potong dinilai tidak masuk akal. Sebab, ketika menstruasi di hari pertama atau kedua, volume darah cenderung lebih banyak yang tentunya berpengaruh pada jumlah penggunaan pembalut.

Belum lagi jika penerbangan yang harus dilalui perempuan lebih dari 10 jam. Jika dihitung kasarannya, perempuan yang tengah menstruasi harus mengganti pembalutnya 1 hingga 2 jam sekali, maka dalam penerbangan 14 jam misalnya, ia akan menghabiskan tujuh pembalut.

Selain pembalut, warganet terutama perempuan juga mengeluhkan soal pembatasan popok dan handuk yang dimasukkan dalam satu kategori. Buat mereka yang membawa anak bayi, kebutuhan akan popok dan handuk tidak terelakkan. Jika dibatasi lima dan itu sudah termasuk dengan pembalut, bagaimana nasib ibu yang sedang menstruasi tetapi juga membawa anaknya ke kabin? Dengan tujuan yang bias ini, warganet menyindir pembuat peraturan nyeleneh ini tak melek dengan kebutuhan biologis perempuan dan boro-boro paham mengurusi bayi.

Baca Juga: Korupsi Pajak Ayah Mario Dandy, Perempuan Tetap Paling Merugi

2.  Peraturan IMEI yang Menuai Kritik

Sebagai langkah dalam menekan penyelundupan ponsel dari luar negeri, pada 18 April 2020 lalu, pemerintah menetapkan program pengendalian International Mobile Equipment Identity atau dikenal IMEI untuk perangkat telekomunikasi. Peraturan ini termaktub dalam Surat Edaran Dirjen Bea dan Cukai Nomor: SE – 12/BC/2020 yang menjelaskan, para pengguna ponsel diharuskan mengecek IMEI ponselnya dan mendaftarkan IMEI ponsel yang baru dibelinya, paling banyak dua unit bagi tiap penumpang atau awak sarana pengangkut.

Pengamat telekomunikasi dari Institut Teknologi Kreatif (ICT Institute), Heru Sutiadi dalam wawancaranya bersama BBC Indonesia, peraturan ini bisa berpotensi merugikan pedagang bahkan jadi ladang baru penyalahgunaan atas data pribadi pengguna layanan telekomunikasi. Heru lalu menambahkan peraturan ini sebenarnya bukan jalan keluar dalam menghentikan impor gelap telepon genggam karena menurutnya kasus yang merugikan negara lebih dari Rp2,8 triliun melibatkan tokoh politik yang sampai saat ini tidak jelas penyelesaiannya.

Jika dibatasi lima dan itu sudah termasuk dengan pembalut, bagaimana nasib ibu yang sedang menstruasi tetapi juga membawa anaknya ke kabin? Dengan tujuan yang bias ini, warganet menyindir pembuat peraturan nyeleneh ini tak melek dengan kebutuhan biologis perempuan dan boro-boro paham mengurusi bayi.

Selain itu, registrasi IMEI melalui Bea Cukai juga memberikan masalah baru pada WNI yang pulang ke Indonesia. Dalam peraturan ini, setiap penumpang diberikan pembebasan sebesar USD500, dan atas kelebihannya akan dikenakan pungutan bea masuk dan PDRI yang terdiri dari bea masuk sebesar 10 persen PPN 11 persen, dan PPh 10 persen bagi yang memiliki NPWP.

Kevin, WNI yang kembali ke Indonesia pasca-studi di Australia salah satunya dipersulit oleh dalam prosedur pendaftaran IMEI. Ia tidak hanya harus mengantre hingga empat jam sampai gilirannya dipanggil oleh petugas Bea Cukai, ia juga dipungut pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan yang sudah tertera. Dalam wawancaranya bersama Detiknet ia mengatakan kendati sudah menyediakan struk pembelian ponsel ia berakhir dikenakan pajak lebih besar senilai Rp1.980.000 untuk Pixel 7 Pronya. Padahal seharusnya ia cuma dikenai pungutan sekitar R-1,1 juta.

Baca Juga: Riset: Kebelet Trendi, Alasan Kelas Menengah Beli Barang Mewah Palsu

3.  Hadiah yang Justru Dikenakan Pajak

Awal 2023 lalu, Indonesia dihebohkan dengan pengakuan penyanyi warga negara Indonesia (WNI), Fatimah Zahratunnisa yang “dipalak” oleh Bea Cukai. Dalam cuitan di akun pribadinya, Fatimah menceritakan kemenannya di lomba menyanyi di Jepang, sehingga mendapatkan piala. Lantaran piala tersebut terlalu besar dan tak bisa dibawa ke dalam pesawat, akhirnya Fatimah memutuskan untuk mengirimkannya melalui jasa logistik ke Indonesia.

Tidak disangka dari pengiriman piala itu, Fatimah malah dikenakan biaya Rp4 juta oleh Bea Cukai padahal piala didapatkannya secara gratis dan tidak ada hadiah berupa uang dari penyelenggara lomba.

Juru Bicara Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Yustinus Prastowo tak lama menanggapi berita viral Fatimah Zahratunnisa. Dilansir dari Liputan6, Yustinus Prastowo menjelaskan, sebenarnya Fatimah Zahratunnisa tidak perlu membayarkan pajak yang ditagihkan oleh petugas Bea Cukai. Dia hanya perlu menunjukkan bukti dari penyelenggara kompetisi saja.

“Kalau itu hadiah atau pemberian yang tidak ada nilainya,” kata dia. Sebaliknya jika hadiah yang diterima memiliki nilai, maka akan dikenakan pajak. Namun hadiah tersebut baru akan dikenakan pajak jika harganya di atas ketentuan yakni nilainya maksimal US$500.

Sayangnya berkebalikan dengan apa yang dikatakan Yustinus, Fatimah bahkan harus mengajukan banyak surat, menunjukkan video acara TV, bahkan sampai harus menyanyi di kantor Bea Cukai sebagai bukti. Puncak dari kejadian ini pun Fatimah ceritakan ketika salah satu pegawai pegawai Bea Cukai bertanya berapa jumlah uang yang bisa Fatimah sanggupi untuk menebus pialanya tersebut.

4.  Warga Batam Keluhkan Pajak Pengiriman 

Dalam laporan Batam News pada 2023 lalu diketahui, sejumlah warga Batam mengaku kesal dan kecewa dengan aturan yang diterapkan Bea Cukai terkait bea masuk serta pajak pengiriman barang yang enggak masuk akal. Lewat Peraturan Menteri Keuangan Nomor 199 Tahun 2019 tentang Ketentuan Kepabeanan, Cukai, dan Pajak atas Impor Barang Kiriman, Nila, ibu yang hendak mengirimkan baju almamater kampus anaknya ke Pulau Jawa diwajibkan membayar pajak.

Karena peraturan ini, mereka harus membayar hingga dua kali lipat dari harga barang yang dikirim ke luar dari Pulau Batam. Benny misalnya, pembelian kopi tanker yang ia kirim ke Surabaya dipungut pajak sebesar Rp500.000 padahal harga kopinya hanya Rp200.000.  

Warga lainnya juga mengeluhkan pengenaan pajak pada barang yang dibeli di Jakarta, dibawa ke Batam, dan hendak dikirim kembali ke Jakarta. Hal serupa dialami oleh mereka yang membeli barang di luar Batam, namun saat pengiriman karena barang rusak, tetap terkena pajak.

Anggota DPRD Kepri Rudi Chua yang juga diwawancara portal berita ini menilai, aturan tersebut sangat merugikan apalagi sudah mulai ada trend Bea Cukai yang sibuk menangkal reseller yang hendak mengirim barang keluar Batam melalui Tanjungpinang. Menurutnya, aturan yang seharusnya melindungi pelaku usaha dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) malah justru menyengsarakan masyarakat Batam secara keseluruhan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *