Penculikan hingga Manipulasi Hukum: Praktik Kusut Polisi dalam Perburuan Aktivis
“Muklis” dan “Luki” (bukan nama sebenarnya) tidak kenal Direktur Lokataru, Delpedro Marhaen. Mereka berbeda gerbong dengan Delpedro. Kendati begitu, Muklis dan Luki dipaksa menerima panggilan Polda Metro Jaya untuk menjadi saksi dalam kasus Pedro.
Muklis mengendarai motor, membonceng dua orang teman kuliahnya pada Rabu (1/10) sekitar pukul 18:45. Mereka bertiga adalah mahasiswa baru yang ingin berangkat ke Bogor untuk ikut ospek.
Baru saja keluar dari gang indekos di Pancoran Buntu, Jakarta Selatan, 10 orang menggunakan tiga motor dan satu mobil sudah menunggu mereka. “Ini orangnya,” kata beberapa polisi sambil menunjuk Muklis. Satu orang kemudian memiting kepala Muklis dan memasukannya ke mobil.
Teman Muklis yang biasa dipanggil Keriting kemudian bertanya pada para polisi di luar mobil, “kawan saya mau dibawa ke mana?” Namun salah satu polisi malah memaksa mereka pergi. “Ini bukan urusan kalian, kalian pergi saja” kata Keriting menirukan polisi itu pada Kamis (2/10), melalui Zoom.
Dia sempat masuk lagi ke gang indekos untuk memanggil bantuan. Namun, saat mereka keluar, mobil dan motor itu sudah tak ada di sana. Jejak Muklis pun hilang.
Baca juga: Ironi di 40 Hari Kematian Affan: Polisi Bebas, Ratusan Demonstran Masih Ditahan
Berangkat Ospek, Sampai di Polda
Ketika Magdalene ingin mewawancarai Muklis dan mengabari sudah berada di depan gang indekos pada Minggu (5/10) sekitar pukul 18.00, pacar Muklis langsung menyuruh masuk. Dia masih terlalu was-was untuk menghampiri orang tak dikenal, persis di lokasi penculikan.
“Bukannya gue enggak percaya, ya. Tapi ini mah jaga-jaga aja, takutnya kayak kemarin kan, soalnya persis di situ,” katanya.
Muklis keluar dari kamar mandi milik bersama di indekos, di sela pembicaraan. “Sebentar ya, pakai baju dulu,” ujarnya sembari menenteng perlengkapan mandi ke arah kamarnya. Di rusuk kanannya, terdapat lebam tipis. Lebam itu berasal dari pukulan terakhir yang didapatnya saat penculikan.
Sebelum mobil berjalan, mata Muklis ditutup dengan lakban. Dia sempat bertanya siapa orang-orang tersebut. Namun, dia hanya disuruh kooperatif dan “menjelaskan semuanya di kantor.”
Empat orang di dalam mobil kemudian melontarkan nama-nama aktivis, seperti Delpedro Marhaen, Khariq Anhar, Syahdan Husein, dan Figha Lesmana, untuk menanyakan hubungan Muklis dengan mereka. Setiap menjawab tidak tahu, tinju melayang ke dada dan perutnya.
“Ada sekitar 30 nama, gue dipaksa buat, ‘lu kenal ini enggak?’ dan gue tetap bilang gue enggak kenal. Karena memang gue enggak kenal mereka,” kisah Muklis.
Terakhir, orang-orang itu meminta password ponselnya. Dia awalnya menolak. Namun, pikiran Muklis berubah setelah rusuknya dipukul. Sudah tak kuat menahan, dia menyebutkan kata sandi dan membiarkan orang-orang itu membuka ranah pribadinya.
15 menit setelah pukulan terakhir dilayangkan, Muklis sempat dipindahkan ke mobil lain yang membawanya ke Polda Metro Jaya, Jakarta Pusat. Sesampainya di sana, ia langsung dibawa ke ruang interogasi untuk pengisian Berita Acara Pidana (BAP). Jam dinding yang dilihatnya saat memulai interogasi menunjukkan pukul 21.00.
Intimidasi yang sangat personal
“Sudah, lu jawab saja yang benar. Karena kita sudah tahu keluarga lu, bokap lu di mana, nyokap lu ada di mana, adik-adik lu ada di mana,” ucap Muklis, menirukan salah satu petugas, sebelum dia diinterogasi di Polda Metro Jaya tanpa pendamping hukum.
Di ruangan yang memanjang serupa lorong itu, Muklis berhadapan dengan dua penyidik. Dia ditanyakan tentang keterlibatan pelajar dalam unjuk rasa akhir Agustus. Selain penyidik, ada beberapa polisi lain yang menyaksikan interogasi itu. Menurut pengakuan Muklis, mereka sesekali memerintahkannya agar tak berbohong.
“Ada beberapa yang suka nyeletuk, seakan-akan yang gue kasih tahu ke mereka semuanya bohong,” tukasnya.
Muklis bukan satu-satunya aktivis yang diintimidasi. Rekannya di organisasi, Luki merasakan hal yang sama. Bahkan sebelum diinterogasi, polisi sudah menunjukkan, mereka tahu informasi personalnya.
Pada (1/10), surat pemanggilan Luki sebagai saksi untuk kasus Delpedro Marhaen diantarkan seorang polisi ke rumah ibunya. Itu pemanggilan kedua yang diterima Luki. Perbedaannya, surat pemanggilan pertama datang ke tempat tinggalnya. Saat tahu polisi mengantar surat ke rumah sang ibu, Luki mempertanyakan tujuannya.
Selama ini ia kooperatif. Luki datang saat Polda memanggilnya untuk pertama kali. Luki hadir di Unit Siber Polda Metro Jaya, pada (11/9) untuk diinterogasi sebagai saksi kasus Khariq Anhar. Dia memang mengajukan pemunduran waktu interogasi ketika surat sampai di kediamannya pada (2/9), karena harus berkonsultasi dengan kuasa hukum terlebih dahulu.
Namun, yang terpenting menurut Luki, dia tetap hadir. Dia menilai, pengantaran surat ke rumah ibunya adalah bentuk intimidasi. Polisi itu, jelas ibu Luki, menanyakan berbagai hal tentang anaknya, seperti aktivitasnya, latar belakang pendidikan, dan pekerjaan.
“Ini si Luki memang sering kesangkut pidana seperti ini ya, Bu?” kata Luki menirukan salah satu pertanyaan polisi saat berkunjung ke rumah Luki. Sebelum akhirnya pergi, polisi pengantar surat itu memastikan agar Luki hadir di Polda Metro sesuai waktu yang ditentukan, “karena kalau enggak akan dijemput paksa.”
Baca juga: Antara Kritik dan Makar: Saat Negara Gagal Bedakan Pendapat dan Ancaman
Dijadikan Tersangka
Jika untuk Luki pengkriminalan masih berupa potensi dan ancaman. Bagi Muklis hal itu sudah di depan mata. Tak sampai sehari setelah diculik, dia disuruh menandatangani surat penersangkaan.
Memulai interogasi pada pukul 21.00, Muklis minta istirahat tidur sekitar pukul dua subuh. Namun, sekitar pukul tiga subuh, Muklis dibangunkan dari tidurnya.
“Gue disuruh tanda tangan. Pas gue lihat itu surat tersangka. Jadi ada nama gua, bawahnya keterangan tersangka, terus tanggal. Tanggal gue naik tersangka itu di 26 September.” Padahal, Muklis baru ditangkap pada tanggal 1 Oktober 2025.
Muklis dikenakan pasal berlapis. Mulai dari Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik hingga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dengan tuduhan penghasutan. Muklis tidak tahu-menahu mengapa dirinya dikenakan pasal-pasal tersebut. Sebab kala itu, ia tidak didampingi oleh pendamping hukum. Muklis sempat ditawarkan pengacara dari kepolisian, tapi ia menolak.
Pengacara Muklis baru datang pagi hari. Dia pun baru bisa menceritakan pengalamannya dipukuli, diperiksa untuk berita acara pemeriksaan (BAP) semalaman, dan sudah dijadikan tersangka.
Muklis baru dilepaskan pada tanggal 2 Oktober di malam hari dengan status tersangka yang masih melekat padanya. Ia mengaku mendapat tekanan dari seorang polisi, yang berpesan supaya Muklis “jangan aneh-aneh” setelah dilepas. Muklis juga diminta mengikhlaskan ponselnya.
Magdalene telah menghubungi Kabid Humas Polda Metro Jaya Brigjen Ade Ary Syam Indradi pada Minggu (5/10), tetapi tidak dibalas. Di hari yang sama, Magdalene juga mengirim pesan pada Kepala Subbidang Penerangan Masyarakat, Polda Metro Jaya, Ajun Komisaris Besar, Reonald Simanjuntak.
“Mohon waktu saya masing nunggu data lengkapnya dari penyidik,” tulis Reonald kepada Magdalene. Dia tidak membalas ketika kembali dimintai keterangan pada (7/10), (8/10), dan (10/10).
Ketika Netralitas Hukum cuma Omon-omon
Penangkapan terhadap aktivis seperti Muklis dan Luki memperlihatkan hukum yang sering kali bekerja bukan sebagai pelindung warga, melainkan alat kontrol kekuasaan.
Kriminolog Universitas Indonesia, Arthur Josias Simon Runturambi menjelaskan, dalam situasi seperti ini, pertanyaan yang perlu diajukan bukan lagi tentang dasar hukum polisi untuk menangkap seseorang, tapi apakah dasar hukum itu dijalankan secara benar dan independen.
Sementara itu, Arthur menekankan, posisi Polri saat ini rawan intervensi politik. Dalam konteks penangkapan aktivis dan massa aksi, potensi ini bisa menjadikan institusi kepolisian sebagai instrumen kekuasaan, bukan semata-mata penegak hukum yang netral. Ketika diintervensi politik, hukum kehilangan otonominya dan berubah menjadi mekanisme pembungkaman terhadap suara kritis.
“Polisi kan punya metode scientific crime investigation, nah itu yang sebetulnya harus dikedepankan. Sehingga tidak ada muatan politik, bias, intervensi, dan segala macam, begitu,” terang Arthur kepada Magdalene.
Siapa Penjahat Sesungguhnya?
Menurut Arthur, fenomena ini dapat dibaca melalui teori The Social Reality of Crime yang dikemukakan oleh Richard Quinney. Dalam teori itu, kejahatan tidak semata-mata merupakan tindakan yang melanggar hukum, tapi hasil konstruksi sosial yang diciptakan oleh penguasa.
Negara, melalui lembaga penegak hukumnya, memiliki kuasa untuk menentukan siapa yang disebut penjahat dan tindakan apa yang dianggap kejahatan.
Dalam kasus penangkapan aktivis, tampak bagaimana negara menggunakan kewenangannya untuk menempatkan pihak yang bersuara kritis sebagai pelanggar hukum.
Hal senada disampaikan Muhamad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Menurut Isnur, yang terjadi saat ini adalah perburuan masyarakat sipil yang kritis dalam rangka membungkam suara masyarakat.
“Jadi mereka mencari kambing hitam. Jadi targetnya adalah masyarakat sipil yang kritis. Dan itu adalah karakter pemerintah yang otoritarian, karena menempatkan orang-orang yang kritis, orang-orang yang dianggap oposisi harus dilemahkan,” jelas Isnur kepada Magdalene (8/10).
Hukum, kata Isnur, menjadi instrumen untuk mengkriminalkan, melemahkan, dan membungkam. Perburuan yang terjadi saat ini seperti deja vu penculikan dan penghilangan paksa dalam sejarah kelam Indonesia. Bedanya, metode yang digunakan hari ini menggunakan hukum sebagai alat, yakni dengan memenjarakan masyarakat yang kritis agar bungkam.
Inilah yang dimaksud Quinney ketika mengatakan, kekuasaan tidak hanya menegakkan hukum, tapi juga menciptakan realitas tentang siapa yang bersalah. Dalam kerangka ini, aktivis yang memperjuangkan kepentingan publik justru dikonstruksi sebagai ancaman terhadap stabilitas. Oleh sebab itu didefinisikan sebagai penjahat oleh negara.
Arthur menambahkan, teori tersebut juga menekankan pentingnya peran publik untuk mengkritik dan mengontrol konstruksi semacam ini. Sebab tanpa kritik sosial, kejahatan yang diciptakan oleh penguasa akan diterima begitu saja sebagai kebenaran hukum.
Isnur berpesan dalam menyikapi kondisi saat ini, masyarakat perlu membangun kekuatan kolektif dan bersuara lebih keras. “Bersuara lebih keras, lebih kompak, lebih solid, dan bersuara lebih tepat. Harus bersatu dalam gerakan yang sama,” pungkas Isnur.
















