December 5, 2025
Lifestyle Opini

Saat Tasya Farasya ‘Akhirnya’ Cerai Juga: Cermin dari Publik, Media, dan Standar Ganda

Reaksi publik terhadap perceraian Tasya Farasya membuka cermin soal ‘schadenfreude’, standar ganda patriarki, dan ilusi investasi audiens di media sosial

  • September 24, 2025
  • 4 min read
  • 4397 Views
Saat Tasya Farasya ‘Akhirnya’ Cerai Juga: Cermin dari Publik, Media, dan Standar Ganda

Ketika berita perceraian influencer Tasya Farasya muncul, menarik melihat respons warganet yang muncul—ada yang prihatin, tapi tidak sedikit pula yang bersorak seakan mendapat hiburan baru. Fenomena ini punya istilah khusus: schadenfreude, atau rasa senang di atas penderitaan orang lain.

Dalam kasus Tasya, bahan olokan sudah tersedia sejak lama. Mulai dari pesta pernikahan tujuh hari tujuh malam yang sempat jadi sorotan, kisah “naksir duluan sejak SD” yang dianggap menempatkan Tasya lebih cinta daripada pasangannya, pernikahan yang belum genap sepuluh tahun, sampai potret rumah tangga serba mewah dan harmonis yang ia bagikan ke publik. Begitu kenyataan berubah, semua itu dijadikan amunisi cibiran.

Padahal, setiap orang berhak membagikan kebahagiaannya, termasuk di media sosial. Masalahnya, banyak audiens terlalu larut (invested) dalam kisah figur publik. Ketika kehidupan pribadi itu dimonetisasi sebagai “konten eksklusif,” audiens merasa seolah sudah membeli tiket VIP. Mereka pun merasa berhak mengatur alur cerita: ikut bangga saat bahagia, ikut kecewa saat retak, ikut nyinyir saat runtuh.

Inilah ilusi “investasi”. Publik merasa sudah membayar lewat like, view, atau pembelian produk endorse, sehingga menganggap berhak ikut campur. Padahal yang terjadi hanyalah transaksi satu arah: Tasya memberi konten, audiens memberi perhatian. Tidak ada kontrak sosial yang mewajibkan kisah hidupnya sesuai ekspektasi penonton.

Baca juga: Perceraian Sebagai Salah Satu Proses Hijrah Diri

Perceraian figur publik perempuan dan standar ganda patriarki

Perceraian figur publik perempuan hampir selalu dibaca dalam kaca mata patriarki. Apa pun penyebabnya, perempuan cenderung diposisikan sebagai pihak yang salah. Jika suami selingkuh, pertanyaannya: “kenapa istrinya tidak bisa menjaga?” Jika perempuan duluan jatuh cinta lalu dikhianati, ia dianggap bucintol alias “budak cinta tolol.” Jika pesta pernikahan mewah berujung perceraian, narasinya: “uang tidak bisa membeli kebahagiaan.”

Bandingkan dengan kasus figur publik laki-laki. Saat kabar perceraian Pratama Arhan merebak, justru simpati yang berdatangan. Warganet perempuan ramai-ramai “menggatal,” mengumbar rayuan di ruang digital, bahkan figur publik lain ikut meramaikan tren itu. Tidak ada yang menyalahkan Arhan, tidak ada yang menilai rumah tangganya gagal karena sikapnya. Justru perceraiannya dianggap sebagai “kesempatan baru.”

Standar ganda ini jelas terasa. Laki-laki yang bercerai dilihat sebagai individu dengan peluang segar, sementara perempuan yang bercerai dibanjiri penghakiman.

Media daring pun tidak membantu. Alih-alih memberi ruang sehat untuk memahami perceraian sebagai bagian dari dinamika hidup, mereka memancing klik dengan judul murahan. “Seperti Inilah Mewahnya Pernikahan Tasya Farasya,” atau “Ini Alasan Tasya Farasya Menggugat Cerai” yang isinya sering hanya spekulasi. Media ikut menyalakan api schadenfreude karena memang ada pasar untuk itu. Selama orang haus drama, gosip murahan akan terus disajikan.

Baca juga: Reggy Lawalata dan Ketabuan Seputar Perceraian

Menerima perceraian sebagai kenyataan sosial, bukan kegagalan

Pertanyaan mendasar di balik peristiwa ini adalah, kenapa perceraian hampir selalu dianggap kegagalan? Kita terbiasa menyebutnya “rumah tangga yang gagal,” seolah hidup harus mengikuti formula sukses permanen. Padahal kenyataannya sederhana, tidak ada yang abadi, termasuk perkawinan. Semua relasi pada akhirnya akan berakhir, entah lewat perceraian atau kematian.

Jika dilihat dari perspektif ini, perceraian bukan kegagalan, melainkan akhir dari sebuah bab. Sama seperti pekerjaan yang selesai, proyek yang rampung, atau persahabatan yang meredup. Dalam kasus Tasya, menggugat cerai bisa dibaca sebagai keberanian mengusahakan bahagia baru, alih-alih terjebak dalam ketidakbahagiaan.

Ada juga anggapan: “kalau tidak mau dihujat, jangan pamer hidup pribadi.” Sekilas masuk akal, tapi sesungguhnya menyesatkan. Membagikan hidup di media sosial adalah hak siapa pun, sama seperti hak untuk tidak membagikan apa pun. Pamer tidak otomatis menghapus hak seseorang atas empati. Tidak ada legitimasi bagi orang asing untuk merundung atau menyiksa mental orang lain hanya karena merasa sudah “membayar” lewat atensi.

Di sisi lain, benar juga bahwa tanpa penonton, parade kebahagiaan tidak akan sebesar itu. Ini situasi seperti ayam dan telur. Figur publik menampilkan kehidupan pribadinya karena ada audiens yang lapar akan tontonan. Audiens merasa berhak karena diberi tontonan. Relasi ini berjalan selama keduanya merasa diuntungkan. Begitu salah satu pihak berhenti, kontrak semu itu pecah dan drama pun meledak.

Baca juga: Hidup setelah Pisah, Perlu Banget Umbar Aib Mantan ke Publik?

Daripada bersorak atas runtuhnya rumah tangga orang lain, mungkin lebih bermanfaat jika kita belajar bahwa tidak ada kebahagiaan yang absolut, tidak ada perkawinan yang kebal dari akhir. Semua orang berhak mengusahakan bahagia—dengan menikah, bercerai, atau menikah lagi. Menertawakan penderitaan orang lain hanya menegaskan satu hal: kita sendiri begitu takut menghadapi rapuhnya hidup, sehingga butuh rasa aman palsu dengan melihat orang lain jatuh.

Perceraian Tasya Farasya bukan tragedi nasional, bukan pula panggung sandiwara untuk dinilai publik. Biarkan dia menjalani hidupnya sendiri. Pada akhirnya, bukankah begitu juga dengan semua kisah—termasuk kisah kita sendiri?

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Poppy R. Dihardjo

Poppy R. Dihardjo atau biasa dipanggil Kapop adalah orangtua tunggal, praktisi komunikasi dan lawyer in progress yang suka sambat di medsos seputar isu perempuan.