Issues Opini

Kerja Domestik adalah Keterampilan Dasar, Jangan Biarkan Ibu Lakukan Sendiri

Masih banyak lelaki tak bisa melakukan pekerjaan domestik. Lalu mereka membiarkan perempuan bekerja seperti pembantu.

Avatar
  • August 7, 2023
  • 5 min read
  • 1410 Views
Kerja Domestik adalah Keterampilan Dasar, Jangan Biarkan Ibu Lakukan Sendiri

Tiga lelaki itu tampak sibuk membersihkan rumah. Saking berantakannya, mereka harus minta bantuan teman untuk membereskan. Usut punya usut, sang ibu sedang tergeletak sakit. Warganet lantas membanjiri kolom balasan di sender @sosmedkeras tersebut. Mayoritas berkomentar, betapa sosok ibu layaknya penyelamat dunia, termasuk dalam urusan menjaga kebersihan rumah secara cuma-cuma.

Sepintas, komentar-komentar ini terkesan harmless bahkan mengagungkan peran ibu. Namun buatku, komentar-komentar ini justru menunjukkan dimana posisi ibu dalam relasi keluarga. Mereka dianggap pekerja rumah tangga (PRT) yang mesti bertanggung jawab membersihkan rumah sendiri. Di saat bersamaan, para PRT mendapatkan upah atas pekerjaan domestik serupa.

 

 

Celakanya, ini bukan kejadian pertama. Sebelum viral unggahan @sosmedkeras di platform X (dulu Twitter. Red), TikTok dan Instagram lebih dulu memviralkan tren video di mana lelaki merekam diri sendiri saat melakukan pekerjaan domestik. Lalu mereka melantunkan lirik “Your wife is your partner not your mom”.

Tren ini menyedot banyak views (di TikTok jumlahnya sampai 54,5 juta views sampai artikel ini ditulis), dan diproduksi ratusan kali. Dari video-video ini banyak warganet mengapresiasi laki-laki yang mau terlibat aktif dalam melakukan pekerjaan domestik. Namun, lagi-lagi buatku komentar mereka jahat. Tren video tersebut memperlihatkan bagaimana masyarakat dunia masih mengglorifikasi kerja domestik yang dilakukan lelaki. 

Baca Juga: Sulitnya Gapai Impian Setelah Jadi Ibu

Glorifikasi yang Banyak Dimaklumi

Kekesalanku sebenarnya dipupuk sejak melihat pembagian peran gender yang tak adil di rumah. Aku tumbuh dengan pemahaman kodrat jadi kepala keluarga yang mencari nafkah. Sementara, perempuan tugasnya jadi ibu dengan segala kerja perawatan di rumah.

Pemahaman ini dulu membuatku maklum ketika papa tak pernah terlibat dalam kerja-kerja domestik. Padahal mama juga bekerja, tapi masih harus mengerjakan pekerjaan domestik sendiri tanpa bantuan.

Saat adik laki-lakiku lahir, pemakluman ini masih langgeng. Akulah yang membantu mama melakukan pekerjaan rumah. Sementara, adikku dibiarkan duduk santai menonton TV atau main gim. Kami para perempuan tak punya niat menegurnya untuk ikut membantu.

Dua laki-laki ini hidup “enak” di rumah, dilayani oleh para perempuan. Akibatnya mereka berdua bahkan tak tahu letak penyimpanan perabotan rumah tangga sederhana, seperti piring, mangkuk, sapu, atau lap pel.

Pemahamanku bergeser sejak belajar Kajian Gender di bangku kuliah. Aku baru paham, yang kami alami ini adalah bagian ketidakadilan gender. Hal itu langgeng karena ada glorifikasi yang berlebihan.

Baca juga: Resep Pernikahan Bahagia: Peran Gender yang Fleksibel

Setidaknya, ada dua teori yang menjelaskan tentang ini: Gender socialization (sosialisasi gender) dan gender factory (pabrik gender). Dalam penelitian Mick Cunningham, profesor sosiologi dari Western Washington University disebutkan, sosialisasi gender memang berakar dari masa kanak-kanak dan diperkuat hingga remaja. Pengalaman awal anak-anak dalam melakukan pekerjaan rumah tangga membantu membentuk sikap terhadap pembagian pekerjaan rumah tangga kelak. 

Dengan mengamati orang tua, anak-anak belajar tentang tugas domestik dan siapa yang melakukannya. Karena perempuan lebih sering melakukan pekerjaan domestik daripada laki-laki, maka peran mereka pun secara tak langsung telah ditetapkan dalam keluarga.

Sosialisasi gender macam ini semakin diperparah dengan apa yang disebut Sarah Fenstermaker Berk (1985) sebagai gender factory. Ia bilang, rumah adalah tempat di mana (peran) gender terus dinegosiasikan, ditampilkan, dan diperkuat melalui interaksi berulang di antara anggota keluarga. Celaka dua belas, tak jarang peran gender memang dari awal telah mematok peran perempuan sebagai pekerja domestik. Baik lelaki atau perempuan sama-sama menginternalisasinya sebagai kewajaran.

Keyakinan ini kemudian dibawa dari keluarga ke unit sosial yang lebih besar. Kerabat, teman, rekan, kerja, tetangga, bahkan atasan. Akibatnya, masyarakat cenderung punya pemahaman seperti ini. Mereka memandang laki-laki yang tak mengerjakan pekerjaan domestik sebagai kewajaran. Di saat bersamaan, masyarakat juga memaklumi jika ada laki-laki yang sama sekali tak punya kemampuan dasar membersihkan rumah sendiri. 

Baca juga: ‘OK Boomers’: Mengenalkan Kesetaraan Gender pada Ayah

Hapus Ketidakadilan Gender dari Level Keluarga

Beban pekerjaan domestik perempuan inilah yang kita kenal dengan kerja perawatan tak berbayar. Dalam penelitian Soraya Seedat and Marta Rondon bertajuk Women’s wellbeing and the burden of unpaid work (2021) disebutkan, mulai dari memasak dan membersihkan rumah, mengambil air dan kayu bakar, atau merawat anak-anak dan orang tua, perempuan melakukan setidaknya tiga kali lebih banyak daripada laki-laki. 

Dalam perhitungan keduanya, perempuan menghabiskan waktu mereka secara tidak proporsional untuk melakukan tiga perempat pekerjaan tak berbayar sebanyak 11 miliar jam sehari. Perempuan pun jadi memiliki lebih sedikit waktu untuk melakukan pekerjaan berbayar atau mengurus diri sendiri.

Mereka juga bekerja dengan durasi yang lebih panjang dengan menanggung tanggung jawab domestik dan publik secara bersamaan. Alhasil, risiko penyakit mental di antara perempuan yang terlibat dalam pekerjaan tidak dibayar jadi niscaya.

Lalu apa solusinya? Berkaca pada pengalamanku, sebenarnya pintu masuk menghapus ketidakadilan peran gender mesti dimulai dari rumah. Aku sendiri berusaha memberikan pemahaman kepada papa dan adik laki-laki tentang beratnya beban kerja domestik mama. Kami memberi ruang pada mama untuk menceritakan betapa lelahnya ia bekerja sendirian. 

Mama seperti halnya semua perempuan, istri, dan ibu di dunia, bukanlah superwoman. Mereka tak bisa melakukan kerja domestik sendiri, dan di saat bersamaan juga harus bekerja di sektor publik.

Karena itu aku lalu mengusulkan jika ada pekerjaan domestik yang bisa papa dan adik laki-laki lakukan sendiri, maka lakukanlah. Jangan menunggu mama atau aku mengerjakannya. Sebisa mungkin juga mereka juga mulai membantu mama menyapu, masak, atau mengepel.

Usahaku tak sia-sia. Kini para lelaki di rumah sudah bisa menyapu, mengepel, mencuci, dan memasak. Kami pun di rumah tak memandang itu sebagai sesuatu yang perlu diglorifikasi. Memang sudah sepatutnya semua gender bertanggung jawab atas kerja domestik di rumah mereka sendiri.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *