Perempuan dan Beban Tanggung Jawab Ketahanan Hubungan
Dari Kitab Suci hingga dongeng rakyat, beban tanggung jawab mempertahankan hubungan ada pada perempuan.
Sinta menanti dengan harap-harap cemas di Taman Argasoka. Dua belas tahun lamanya hingga Rama dengan bantuan Hanoman beserta pasukannya berhasil menyelamatkan Sinta dari cengkeraman Rahwana. Namun penderitaan tak berakhir sampai di situ saja, sebab ia harus membuktikan kesuciannya dengan membakar diri di api suci.
Sinta, yang lolos dari lingkaran yang dibuat oleh Laksmana untuk melindunginya ketika Rama memburu Kijang Kencana Emas untuknya, harus terpenjara menjadi tawanan Rahwana. Kerentanan Sinta yang mengharuskan ia tak kuasa menjaga dirinya sendiri, adalah dinilai sebagai upaya penggambaran opresi terhadap perempuan. Ia yang menjadi rebutan layaknya sebuah benda berharga yang akan membuat sang pemilik berbangga diri. Harapan akan kebebasan hanya membawanya kepada jerat yang lainnya, ketidakpercayaan sang kekasih.
Di lain kisah, Dewi Uma harus merelakan parasnya yang cantik jelita berubah menjadi seorang raseksi berkat kutukan suaminya, Dewa Siwa. Uma tak diberikan kesempatan untuk membela diri. Ia tak menyangka pengorbanannya demi kesembuhan suami yang sedang pura-pura sakit akan berujung pada amarah yang membuatnya menjadi Durga—dewi kematian dan penyebar penyakit dengan rupa serta bau yang busuk.
Ada rasa keadilan yang terganggu. Uma dihukum padahal ia mengorbankan kehormatannya demi obat untuk suaminya yang sedang sekarat. Penyerahan dirinya kepada sang penggembala sapi mengapa tak dianggap pengorbanan? Tentulah bukan kenikmatan layaknya sebuah pengkhianatan, namun penderitaan yang ia rasakan. Tapi Dewa Siwa memilih tubuhnya ketimbang hati istrinya. Ia tak mau menerima tubuh yang telah di-sudra. Istri bagi sang Betara hanyalah tubuh semata, bukan jiwa. Dan itu harus ia buktikan melalui sebuah ujian yang diterapkan tanpa sepengetahuan yang diuji.
Baca juga: 3 Alasan Utama Budaya Patriarki Masih Melekat di Masyarakat
Dalam konstruksi di atas, tubuh perempuan tidak memiliki otoritas. Konstruksi sosial yang dibangun oleh masyarakat yang patriarkal ternyata telah menemukan akarnya sejak zaman silam. Ketika tubuh perempuan hanya dianggap tak lebih dari sekadar komoditas dengan laki-laki yang berkuasa terhadapnya secara mutlak. Kewajiban untuk mempertahankan sebuah hubungan menjadi agenda yang harus dipenuhi oleh perempuan.
Mengapa Sinta dan Dewi Uma yang harus diuji kesuciannya sedangkan suami tidak? Perempuan memikul tanggung jawab besar demi keutuhan hubungan, sedangkan lelaki memiliki kebebasan untuk bertindak, bahkan mengelabui istri dianggap lazim. Seperti pendapat teolog feminis yang memakai hermeneutik “kecurigaan” dalam menafsirkan Kitab Suci dan rakyat. Dicurigai bahwa Kitab Suci dan rakyat dibangun atas pola pikir patriarkal sehingga mengukuhkan kekuasaan laki-laki.
Langgengnya stigma tersebut dijumpai hingga kini. Tentang perempuan yang wajib menjaga kehormatan sebelum terikat oleh pernikahan. Lelaki yang di masa sebelum menikah bebas tanpa tuntutan menjaga kehormatan kembali menemui kebebasannya dalam mengendalikan perempuan setelah pernikahan.
Baca juga: Lasminingrat Lawan Perjodohan di Tatar Sunda Lewat Sastra
Perempuan harus dilekatkan dengan ranah domestik yang melingkupinya. Apabila terjadi penyelewengan dalam rumah tangga, sering kali perempuan disalahkan karena dianggap tidak mampu mengurus suami, atau sudah tak mampu merawat diri. Keputusan berkarier juga acap kali dijadikan senjata bagi lelaki untuk berkhianat.
Baru-baru ini mencuat kasus yang ramai di jagat Twitter. Tentang seorang perempuan yang meminta pertanggungjawaban seorang lelaki yang pernah berhubungan dengannya. Lagi-lagi, mengapa kemudian perempuan yang berperan dalam mencoba mempertahankan hubungan yang kemudian dinilai oleh warganet sebagai upaya “mengemis” untuk dinikahi oleh sang lelaki.
Saya tertarik akan komentar warganet menanggapi kasus tersebut. Seperti yang telah diduga, warganet justru mempermasalahkan si gadis yang tak lagi perawan dengan menyebutnya sudah ternodai dan tak suci lagi, maka tak akan ada lagi laki-laki yang mau menerimanya sebagai pasangan hidup. Sebuah pemikiran yang melanggar otoritas tubuh perempuan serta mengamini konstruksi realitas akan tubuh perempuan sebagai objek. Perempuan dinilai sebagai barang yang dilihat berdasar keutuhan fisik. Lantas mengapa tak pernah ada yang mempermasalahkan keperjakaan laki-laki?
Secara historis kita telah dihadapkan pada konstruksi realitas mengenai perempuan sebagai objek bagi kuasa laki-laki. Adalah relevan pernyataan Simone de Beauvior, penulis perempuan Perancis dalam bukunya The Second Sex, bahwa laki-laki sering dianggap sebagai “a human being” atau manusia seutuhnya dengan kesempatan tidak terbatas, sementara perempuan selalu dianggap sebagai “other” yang keberadaannya dirujuk pada lelaki.