Perempuan dengan Disabilitas Intelektual Rentan Kekerasan, Eksploitasi Seksual
Ada banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas intelektual yang "disimpan baik-baik" dengan berbagai alasan.
Muhammad Farhan adalah nama yang cukup dikenal di media sosial belakangan ini sebagai korban perisakan di Kampus Universitas Gunadarma. Nampaknya berita ini sempat menjadi viral karena yang menjadi korban adalah orang dengan berkebutuhan khusus, dalam hal ini hidup dalam spektrum autisme.
Jika yang mengalami perisakan adalah orang “tanpa berkebutuhan khusus” maka peristiwa tersebut mungkin masih dianggap sebagai kewajaran dari masyarakat “normal,” dan beritanya tidak akan se-viral berita tentang Farhan. Perisakan, secara diam-diam masih dianggap wajar oleh sebagian orang, entah dilakukan melalui media sosial atau dalam kehidupan sehari-hari. Sayangnya, institusi pendidikan pun tidak mampu menjadi model ruang anti-perisakan.
Pengalaman Farhan secara khusus adalah contoh kecil dari pengalaman orang dengan disabilitas di Indonesia. Pengalaman dirisak seolah menjadi pengalaman yang wajar bagi orang dengan disabilitas. Sejak kecil misalnya, karena memiliki bentuk tubuh yang berbeda, cara yang berbeda dalam bergaul, berpikir, belajar, dan bersikap, mereka sudah mengalami perisakan. Perisakan tersebut terjadi dalam bentuk microaggresion atau agresi mikro yaitu melalui berbagai nama julukan, pandangan mata yang merendahkan, dilupakan dalam pergaulan, dan stigma-stigma yang dilekatkan. Dan yang paling menyedihkan adalah hal-hal sehari-hari yang mereka alami ini belum tentu dianggap sebagai kekerasan oleh keluarga dan masyarakat. Seolah-olah apa yang mereka alami adalah konsekuensi yang wajar sebagai orang dengan disabilitas yang hidup di ruang masyarakat “normal.”
Orang dengan disabilitas, terutama yang berasal dari keluarga ekonomi lemah dan tidak dianggap memiliki prestasi tertentu, akan terbiasa hidup dengan agresi mikro tersebut. tersebut. Terutama para perempuan dengan disabilitas intelektual yang berasal dari keluarga ekonomi lemah sehingga tidak mendapatkan akses terhadap pendidikan yang memadai. Malahan mereka adalah pribadi-pribadi yang paling rentan mengalami kekerasan dan eksploitasi. Mereka sering kali menjadi korban kekerasan dan eksploitasi seksual.
Jika satu kasus perisakan terhadap Farhan menjadi viral, ada banyak kasus kekerasan terhadap perempuan dengan disabilitas intelektual yang “disimpan baik-baik” dengan berbagai alasan. Keluarga atau kerabat terdekat sulit melaporkan tindakan kekerasan tersebut karena mengakui keberadaan anggota keluarga dengan disabilitas intelektual di masyarakat “normal” adalah memalukan. Belum lagi dalam masyarakat kita masih terdapat kepercayaan bahwa orang dengan disabilitas intelektual bukan makhluk seksual, maka pelaporan atas kekerasan dan eksploitasi seksual terhadap mereka dianggap tidak relevan.
Dalam novel Ayu Utami, Saman, diceritakan seorang perempuan dengan disabilitas intelektual yang bernama Upi. Ayu tidak menghilangkan seksualitas Upi. Ia juga dengan tepat menggambarkan bagaimana Upi dengan mudahnya dieksploitasi secara seksual oleh orang-orang di sekitarnya. Hal ini bukan hanya terjadi dalam novel, tetapi dalam kompleksitas kehidupan sehari-hari. Dalam sebuah berita daring misalnya, saya menemukan bahwa sebuah keluarga berusaha melaporkan tindakan kekerasan seksual terhadap anggota keluarga mereka. Dalam proses pelaporan akhirnya keluarga “menyerah” karena pelaku kekerasan seksual tersebut adalah salah seorang tokoh masyarakat. Malahan terdapat pernyataan bahwa sepatutnya keluarga korban bersyukur karena anak perempuan mereka, dengan keadaaan disabilitas intelektual, masih ada yang mau “menyentuh.”
Masih banyak perempuan dengan disabilitas intelektual yang tidak hanya mengalami perisakan, tetapi juga kekerasan dan eksploitasi seksual. Sayangnya, hal ini tidak menjadi isu yang viral karena dianggap jauh dari ruang kehidupan masyarakat normal. Padahal sampai sekarang banyak sekali perempuan dengan kondisi mental tertentu dan hidup di jalanan, menjadi korban pemerkosaan.
Pengetahuan tentang disabilitas tidak menjadi suatu keharusan dalam masyarakat yang mengagungkan kenormalan. Padahal disabilitas adalah bagian dari kemanusiaan kita. Bukankah kita pun mungkin mengalami sakit, kecelakaan, menua, dan akhirnya mati? Konsep “normal” adalah ciptaan masyarakat yang berusaha mengingkari kerapuhan manusia dan berusaha mengontrol masyarakat yang bineka dengan ukuran tunggal, yaitu dirinya sendiri.
Konsep normal tidak mengizinkan kondisi tubuh yang beragam dan cara hidup yang berbeda. Segala yang normal hanya dapat dinilai dari ukuran produktivitas, efisiensi, intelegensi, dan model bentuk tubuh yang diiklankan berbagai produk kecantikan. Padahal kerapuhan itu selalu menjadi bagian inheren dalam kehidupan kita, dan tentunya dengan berbagai wujud yang berbeda. Kita semua rapuh dengan cara berbeda. Marilah kita terus belajar, karena “Nothing about Us without Us!”