Issues

Jilbab Salah, Terbuka Salah: Perempuan yang ‘Dipenjara’ karena Busana

Penjajahan terhadap perempuan sampai ke ruang privat, termasuk urusan berpakaian. Dalam beberapa kasus, perempuan bahkan mesti berhadapan dengan hukum karena ini.

Avatar
  • November 17, 2023
  • 6 min read
  • 1260 Views
Jilbab Salah, Terbuka Salah: Perempuan yang ‘Dipenjara’ karena Busana

Rasanya obsesi masyarakatuntuk mengatur pakaian perempuan sudah sangat keterlaluan. Beberapa waktu lalu sempat beredar video di akun X @/tanyarlfes tentang terduga tentara Israel yang memaksa perempuan Palestina menanggalkan jilbabnya. Perempuan di Shufat, Yerussalem itu tampak melawan di video, hingga akhirnya jilbabnya ditarik paksa tentara Israel.

Masalahnya, pemaksaan berpakaian itu tak cuma terjadi d tengah rezim bermental penjajah. Korbannya pun bisa mereka yang berpakaian terbuka atau tertutup dengan jilbab menutup kepala. Di negara macam Prancis dan Belgia, perempuan dilarang berjilbab, terutama ketika berada di tempat kerja. Sebaliknya, perempuan berpakaian terbuka juga dihakimi di negara yang dekat dengan nilai-nilai moral dan agama, termasuk Indonesia.

 

 

Catatan Paw Research pada 2020 berjudul “Women in many countries face harassment for clothing deemed too religious – or too secular” menyatakan, perempuan di 56 negara menjadi korban permusuhan sosial yang mengarah pada penggunaan kekerasan, baik verbal maupun fisik, termasuk pembunuhan, yang dilatarbelakangi oleh pilihan pakaian. Sementara 61 negara lainnya melarang perempuan untuk menggunakan pakaian tertentu, termasuk penutup kepala. Artinya, tidak ada pakaian yang benar-benar bebas dari penghakiman selama itu digunakan oleh perempuan. Betapa menyedihkan.

Yang lebih menyedihkan, terkadang pelaku yang menghakimi itu adalah sesama perempuan juga. Baru-baru ini, beredar video tentang perempuan hamil yang difoto dan direkam tanpa izin kemudian marah kepada si perekam. Diduga, ia dicemooh lantaran pakaian yang digunakan. Yang bikin miris, pelaku perekaman dan penggunjingan di grup percakapan adalah sesama perempuan.

Tentu saja tidak ada pembenaran dari merekam orang lain secara diam-diam dan tanpa izin, tapi sedih sekali menyadari, sesama perempuan menghakimi perempuan lain. Padahal, sebagai kelompok rentan, sudah kewajiban buat kita sesama perempuan untuk saling menjaga dan memberi rasa aman atas tubuh masing-masing.

Baca juga: Tubuhku Bukan Milikku: Moralitas dan Kontrol Perempuan di Indonesia

Prasangka Sosial dan Politik Berpakaian

Hapsari Dwiningtyas Sulistyani dalam jurnal penelitiannya “Women, Fashion and Social Prejudice” (2022) menyebutkan, pakaian perempuan sering kali menjadi sumber prasangka yang digunakan sebagai pembenaran atas persekusi, pelecehan, dan kekerasan seksual.

Penelitian yang dilakukan oleh Mariela E. Jaffé et al dalam jurnal “You should go for diversity, but I’d rather stay with similar others: Social distance modulates the preference for diversity” (2019) menyimpulkan hal serupa. Bahwa manusia menyadari pentingnya menghormati keberagaman secara umum, namun mereka cenderung memilih untuk berinteraksi dengan orang-orang yang serupa atau homogen. Hasil penelitian Hapsari senada dengan Jaffé, di mana muncul tanggapan negatif terhadap perempuan yang berpakaian terbuka.

Besarnya prasangka dan bias sosial yang mengatur kendali perempuan atas ekspresi ketubuhannya berpengaruh pada seberapa besar keinginan seseorang untuk membangun interaksi sosial dengan mereka yang exposing body. Prasangka negatif yang didasarkan pada pilihan pakaian perempuan melahirkan stereotip yang berpengaruh pada perspektif memandang orang lain. Perempuan masih menjadi sasaran utama label buruk hanya karena pakaiannya tidak sama dengan pilihan mayoritas.

Baca juga: Tubuhku Bukan Milikku: Perkara Ruwet Dipaksa Berjilbab

Hal ini didukung dengan kecenderungan orang untuk mengasosiasikan pakaian perempuan dengan nilai moral atau spiritual. Budaya penghakiman ini sangat tidak adil bahkan sejak dalam pikiran karena keinginan untuk menyeragamkan perempuan secara tak langsung, menabrak jaminan atas hak dasar manusia.

Maraknya penghakiman atas pilihan pakaian perempuan bukan terjadi baru-baru ini, tapi sudah melalui sejarah panjang yang penuh dengan opresi. Disadari atau tidak, perkembangan pakaian perempuan dan segudang aturannya bertalian erat dengan situasi politik dan konstruksi sosial di suatu negara. Mengutip pendapat sejarawan University of Michigan, Charley Sullivan dalam disertasinya yang berjudul “Years of Dressing Dangerously: Modern Women, National Identity, and Moral Crisis in Sukarno’s Indonesia, 1945-1966”, pada masa pasca-kemerdekaan, kain batik dan kebaya menjadi simbol modernitas dan kebanggaan kultural.

Namun jangan salah, perempuan di masa ini dibebani ‘tugas’ untuk menampilkan statement politik anti-kolonialisme dan imperialisme. Di masa kepemimpinan Presiden Soekarno, tubuh perempuan yang berbalut kain nusantara dicitrakan sebagai bentuk perlawanan pada hegemoni budaya barat, khususnya Amerika Serikat.

Ketika tampuk kepemimpinan beralih ke tangan Presiden Soeharto, tubuh perempuan dan pakaian apa yang boleh dikenakannya terikat erat dengan citra perempuan ideal. Orde Baru meredefinisikan peran dan imej perempuan seiring ideologi ibuisme. Penggunaan jilbab sangat dilarang pada masa ini karena dianggap bagian dari ekstremisme beragama. Orde Baru yang mengopresi kebebasan berbicara dan berpendapat memang mereduksi berbagai peran perempuan, termasuk gaya berpakaian. 

Belenggu pelarangan jilbab berakhir saat kejayaan Orde Baru runtuh. Pada masa reformasi, perempuan lebih leluasa untuk berjilbab dan memilih pakaiannya sendiri. Namun, seiring dengan meningkatkanya konservatisme islam di Indonesia, jilbab yang tadinya merupakan pilihan yang bebas bagi perempuan Muslim mulai bergeser menjadi kewajiban. Perempuan lagi-lagi kehilangan haknya untuk memilih apapun yang melekat di tubuhnya karena besarnya stigma yang mungkin diterima.

Jika di 1980-an penggunaan jilbab dianggap sebagai simbol perlawanan atas pelarangan jilbab yang digencarkan oleh pemerintah Orde Baru, situasi kontras justru ditampilkan kini ketika pemaksaan jilbab bagi perempuan semakin masif dilakukan.

Laporan Human Right Watch berjudul “Aku Ingin Lari Jauh” merekam fenomena pemaksaan jilbab bagi siswi sekolah dan pegawai pemerintahan, baik itu perempuan Muslim maupun bukan, yang dilegitimiasi oleh peraturan daerah yang menerapkan syariat Islam. Tidak ada penghormatan atas keberagaman dan kebebasan perempuan dalam berpakaian yang sekaligus memberi ruang bagi tindakan persekusi, diskriminasi dan penggunaan kekerasan.

Baca juga: Stop Nilai Diri dan Perempuan Lain dari Penampilan Fisik

Jangan lupa bahwa segala prasangka dan labelling negatif yang ditujukan kepada pakaian perempuan dapat berakhir sebagai kejahatan serius. Di Iran, kematian Mahsa Amini, perempuan yang disiksa oleh polisi moral karena melanggar aturan jilbab yang diskriminatif, menuai protes besar-besaran dari perempuan-perempuan Iran yang terbelenggu sekian lama. Kematiannya merupakan satu dari sekian banyak penyiksaan dan pembunuhan pada perempuan atas nama kehormatan.

Penggunaan kekerasan berlebihan, termasuk perkosaan, dan honor killing pada banyak perempuan karena jilbab dan pakaian masih terus terjadi terutama di negara-negara di Afrika, Timur Tengah, dan Asia Selatan. Keyakinan yang dipegang oleh masyarakat patriarki yang menempatkan kehormatan sebagai basis kedudukan sosial, membuat honor killing tidak dianggap sebagai kejahatan, melainkan hal yang biasa dilakukan untuk mengembalikan honor dan status sosial keluarga. Penghilangan nyawa seseorang jelas merupakan pelanggaran hak hidup dan sungguh menyesakkan bagaimana perempuan diopresi sedemikian berat hari demi hari hanya karena memilih pakaian yang ia suka.

Masyarakat harus berhenti mengatur pakaian perempuan. Aturan diskriminatif yang dipaksakan hanya menghadirkan lebih banyak kekerasan dan penghakiman masal, di samping meminggirkan kebebasan perempuan atas tubuhnya sendiri. Menghadirkan ruang aman bagi perempuan dapat dimulai dengan berhenti memaksakan kehendak personal dan mulai belajar menghormati pilihan orang lain atas tubuhnya sendiri.

Shofia, pekerja kantoran biasa yang suka menulis dan menangis. Hidup bersama pasangan keritingnya yang feminis. Shofia selalu penuh semangat untuk menyuarakan hak-hak perempuan dan kelompok marjinal.



#waveforequality


Avatar
About Author

Shofia

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *