Minim Perempuan di Kabinet Merah Putih Prabowo, Apa Artinya?
Penurunan jumlah menteri perempuan di Kabinet Merah Putih Prabowo menandakan kemunduran capaian pergerakan perempuan dalam politik.
Presiden Prabowo Subianto secara resmi mengumumkan 48 nama menteri, 56 wakil menteri, dan 5 kepala badan setingkat pada (20/10) kemarin. Latar belakang mereka beragam, dari politisi, pengusaha, profesional, hingga tokoh agama. Namun, dari ratusan nama tersebut, salah satu fakta menyedihkan adalah minimnya keterlibatan perempuan di Kabinet Merah Putih Prabowo.
Analisis Center of Economic and Law Studies (Celios) menunjukkan, perempuan dalam Kabinet Merah Putih cuma 13 dari 109 orang atau 12 persen saja.
Dalam lingkup kementerian, hanya ada lima menteri perempuan, yaitu Widianti Putri Wardhana sebagai Menteri Pariwisata, Arifatul Choiri Fauzi sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan, Meutya Hafid sebagai Menteri Komunikasi dan Digital, dan Rini Widyantini sebagai menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi birokrasi.
Baca juga: 6 Catatan Pelantikan Prabowo: Janji Manis, Kementerian HAM, hingga Bobby Kucing
Kontradiksi Keterwakilan Perempuan di Kementerian dan DPR
Jumlah menteri perempuan di Indonesia terus mengalami penurunan sejak 2014. Saat pelantikan Kabinet Kerja pada 27 Oktober 2014, Jokowi melantik sedikitnya delapan menteri perempuan, seperti Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri Kesehatan Nila Moeloek, dan Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno.
Kemudian pada periode kedua kepemimpinannya, Jokowi hanya melantik lima menteri perempuan dalam Kabinet Indonesia Maju pada 23 Oktober 2019. Tiga posisi menteri yang disebutkan sebelumnya, pada periode ini diisi oleh menteri laki-laki. Sementara, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar masih memegang jabatan yang sama.
Dua menteri perempuan baru dalam Kabinet 2019 adalah Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Gusti Ayu Bintang Darmavati.
Dengan demikian, jumlah menteri perempuan di Indonesia berkurang 37,5 persen dari 8 orang saat pelantikan pada 2014 menjadi 5 orang pada 2024.
Penurunan jumlah menteri perempuan di kabinet Prabowo berbanding terbalik dengan tren peningkatan keterwakilan perempuan di kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Terdapat 97 perempuan, setara dengan 17,3 persen dari 560 anggota DPR, yang dilantik pada 1 Oktober 2014. Proporsi ini meningkat signifikan pada 1 Oktober 2019 saat pelantikan periode berikutnya. Keterwakilan perempuan mencapai 20,9 persen atau 120 dari 575 total anggota.
Yang terbaru, keterwakilan perempuan meningkat perlahan menjadi 21,9 persen dari 580 anggota DPR terlantik pada 1 Oktober 2024 atau setara dengan 127 orang. Artinya, dalam sepuluh tahun terakhir, terdapat peningkatan 4,6 persen keterwakilan perempuan di DPR. Pencapaian ini tidak hanya menunjukkan adanya peningkatan, tetapi turut menggarisbawahi tantangan besar yang masih dihadapi perempuan dalam perpolitikan.
Timpangnya proporsi perempuan di kementerian dan parlemen ini membawa kita pada dua catatan penting. Pertama, negara masih jauh dari kesetaraan gender secara politis. Kedua, adanya ancaman keterbatasan pelibatan perempuan dalam pembuatan kebijakan pada pemerintahan mendatang.
Baca juga: Partisipasi Politik Perempuan Tak Boleh Hanya Angka
Mengapa Perempuan Harus Semakin Terlibat dalam Pemerintahan?
Jika keterlibatan perempuan dalam pemerintahan menurun, ini dapat mengurangi keragaman perspektif dalam perumusan kebijakan. Perempuan sering kali membawa pandangan kritis terkait isu-isu krusial, seperti kesejahteraan sosial, kesehatan ibu dan anak, hak dan kesehatan reproduksi, hingga kesetaraan akses pendidikan.
Studi terhadap 149 negara selama 2000 hingga 2016 yang memanfaatkan machine learning menunjukkan, pemerintah membutuhkan ‘massa kritis’ atau jumlah minimum perempuan dalam parlemen untuk mengoptimalkan kebijakan di bidang kesehatan dan pendidikan.
Riset ini juga mencatat, belanja pendidikan dan kesehatan akan meningkat tajam setelah representasi perempuan di legislatif melampaui 20 dan 15 persen, dan akan mendatar setelah representasi perempuan mencapai sekitar 41 persen untuk belanja pendidikan dan 35 persen untuk belanja perawatan kesehatan. Ini mempertegas kebutuhan pemerintah sebagai institusi untuk memenuhi ‘massa kritis’, sekitar 30 persen jika ingin mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik dan berkeadilan.
Tinjauan lain terhadap lebih dari 130 negara turut mendukung pelibatan perempuan di pemerintah, khususnya pada bidang kesehatan dan pengentasan kemiskinan. Ini terjadi karena dua alasan. Pertama, semakin banyak perempuan di parlemen memungkinkan mereka untuk bersama-sama memengaruhi kebijakan. Kedua, sistem kuota gender mengingatkan parlemen terhadap signifikansi mempertimbangkan kepentingan perempuan dalam pembuatan kebijakan.
Urgensi lain yang harus dipertimbangkan oleh pemerintahan Prabowo adalah pandangan global. Dengan keterbatasan dan penurunan jumlah perempuan di perpolitikan Indonesia, reputasi internasional negara dapat terpengaruh negatif, mengingat banyaknya kerangka global, seperti Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yang menekankan pentingnya keterlibatan gender yang setara dalam pemerintahan. Dari kacamata global, Indonesia dapat dianggap mundur dalam hal kesetaraan gender yang berpotensi mengurangi dukungan internasional.
Baca juga: Perempuan sebagai ‘Vote-Getters’: Kompetensi, Popularitas, atau Politik Dinasti?
Lebih dari Angka dan Persentase
Dua penelitian mutakhir di atas lebih dari cukup untuk membuktikan dan mendorong pemerintah agar lebih memprioritaskan keterwakilan dan keterlibatan perempuan, baik di kementerian maupun parlemen.
Terlebih, dalam sistem pemerintahan dan perpolitikan yang lebih matang dan ideal, representasi perempuan tidak hanya menyoal keterwakilan dalam bentuk angka dan persentase. Namun juga bagaimana keterwakilan ini dapat benar-benar bertindak demi kepentingan pihak yang diwakilinya dengan cara-cara yang berintegritas dan bermoral. Inilah yang disebut oleh para akademisi sebagai representasi substantif perempuan dalam pemerintahan.
Akan tetapi, mengingat penurunan jumlah menteri perempuan pada Kabinet Merah Putih dan stagnasi keterwakilan perempuan di parlemen, upaya mencapai representasi perempuan sebanyak 30 persen di pemerintah merupakan langkah paling awal dan minimum yang dapat dilakukan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran.
Ini semua dimaksudkan tidak lebih dari menjamin keterlibatan perempuan dalam pembuatan kebijakan dan menghasilkan kebijakan yang berpihak pada seluruh perempuan Indonesia dari berbagai kelas sosial dan kemampuan ekonomi.
Achmad Hanif Imaduddin adalah peneliti kebijakan publik dan ekonomi-politik di Center of Economic and Law Studies (Celios).