Kenapa Banyak Cewek Korsel Ogah Pacaran, Nikah, dan Punya Anak
Mereka disebut generasi yang menyerah, karena merasa tak mampu mencapai tolok ukur generasi sebelumnya: Menikah, punya anak, mencari pekerjaan, memiliki rumah, dan menjalin persahabatan.
Ada perang gender besar-besaran yang kini tengah terjadi di Korea Selatan. “Permusuhan” antara laki-laki dan perempuan di Negeri Ginseng itu memuncak hingga sejumlah perempuan memilih menolak untuk pacaran, menikah, dan memiliki anak dengan laki-laki – sebuah fenomena yang dikenal sebagai gerakan 4B.
Sebagai pakar feminisme Korea yang tinggal di Amerika Serikat (AS), saya mengamati perang gender ini dari jauh karena saya pun melakukan penelitian tentang politik gender Korea kontemporer. Saya sendiri juga ikut terlibat di dalamnya setelah penelitian saya tentang maskulinitas di Korea diterbitkan oleh CNN.
Artikel tersebut menceritakan perempuan warga negara asing yang pergi ke Korea karena ingin berkencan dengan laki-laki Korea setelah terpikat dengan popularitas drama televisi Korea. Yang ingin saya tekankan adalah, karena fantasi para turis perempuan itu didasarkan pada karakter fiksi, beberapa dari mereka akhirnya kecewa dengan laki-laki Korea yang mereka kencani di kehidupan nyata.
Konteks utama artikel itu sebenarnya adalah tentang politik rasial dan ekspektasi maskulin. Namun, beberapa pembaca Korea mengira saya hanya mengritik laki-laki Korea karena tidak cukup romantis dan tampan. Salah satu dari mereka, laki-laki, marah dan berkomentar dengan menyebut saya sebagai “feminis jelek”.
Meski demikian, hal yang saya alami tersebut tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan apa yang telah lama dialami perempuan yang tinggal di Korea dalam beberapa tahun terakhir.
Baca juga: Bias Tak Terlihat dalam Istilah “Resesi Seks”
Misogini Ekstrem dan Serangan Balik Feminis
Titik nyala dalam perang gender ini sudah terlihat selama beberapa dekade terakhir.
Pada 2010, Ilbe, sebuah situs sayap kanan yang “menjual” misogini (kebencian terhadap perempuan), mulai menarik perhatian pengguna internet yang membumbui forum dengan postingan vulgar tentang perempuan.
Kemudian pada 2015, sebuah kelompok feminis ekstrem online bernama Megalia muncul, membawa misi untuk melawan balik misogini dengan cara merendahkan laki-laki Korea melalui retorika di situs seperti Ilbe.
Setahun kemudian, seorang laki-laki yang menyatakan kebenciannya terhadap perempuan membunuh perempuan secara acak di sebuah toilet umum di dekat stasiun kereta bawah tanah Seoul. Dia akhirnya dijatuhi hukuman penjara puluhan tahun, tetapi kasus itu menciptakan perdebatan sengit di Korea.
Di satu sisi adalah kelompok feminis, yang melihat misogini sebagai motif dasar si pelaku. Di sisi lain adalah laki-laki yang mengklaim bahwa itu hanyalah tindakan terisolasi dari seorang pria sakit jiwa. Kedua kubu saling bentrok dengan kekerasan selama melakukan protes di lokasi pembunuhan.
Baca juga: Sastrawan Perempuan Korea Beri Suara untuk Mereka yang Dibungkam
Latar Belakang Kejahatan Seks Digital
Namun, tidak satu hal pun dari peristiwa ini yang menimbulkan kontroversi publik sebesar kejahatan-kejahatan seks digital. Ini menjadi bentuk baru kekerasan seksual yang difasilitasi oleh teknologi: kekerasan seksual berbasis gambar; (upskirting), atau tindakan pengambilan foto dari bagian bawah rok perempuan secara diam-diam di tempat umum; dan penggunaan kamera tersembunyi untuk memfilmkan perempuan yang sedang berhubungan seks atau berganti baju.
Pada 2018, ada 2.289 laporan kasus kejahatan seks digital; tahun 2021, jumlahnya bertambah menjadi 10.353 kasus.
Sepanjang 2019, ada dua insiden besar kejahatan seks digital. Salah satunya melibatkan sejumlah bintang K-pop laki-laki. Mereka didakwa karena merekam dan mengedarkan video sejumlah perempuan di grup chat tanpa persetujuan yang bersangkutan.
Beberapa bulan kemudian, warga Korea dihebohkan dengan “Insiden Kamar Nth (Nth Room Incident),” yaitu adanya ratusan pelaku – kebanyakan laki-laki – yang melakukan kejahatan seks digital terhadap puluhan perempuan dan anak di bawah umur.
Tindak kriminal tersebut cenderung menargetkan perempuan miskin – pekerja seks, atau perempuan yang ingin menghasilkan sedikit uang dari berbagi foto telanjang dengan identitas yang disembunyikan.
Para pelaku meretas akun media sosial atau mendekati para korban dan menawarkan uang kepada mereka, tetapi meminta informasi pribadi korban dengan alasan untuk mengirimkan uangnya. Begitu mereka memperoleh informasinya, mereka memeras korban dengan mengancam akan mengungkapkan pekerjaan seks dan menyebarkan gambar telanjang mereka kepada teman dan keluarganya.
Karena menjadi pekerja seks dan memposting gambar telanjang diri secara online adalah hal ilegal di Korea, para perempuan ini takut ditangkap atau dikucilkan oleh teman dan keluarga, sehingga pada akhirnya mereka memenuhi tuntutan pelaku untuk terus mengirimkan gambar diri mereka. Para pelaku kemudian akan saling bertukar gambar-gambar ini di ruang chat.
Namun, survei yang dilakukan oleh pemerintah Korea pada 2019 menemukan bahwa sebagian besar masyarakat menyalahkan perempuan atas terjadinya kejahatan seks ini: 52 persen mengatakan percaya kekerasan seksual terjadi karena perempuan mengenakan pakaian terbuka, sementara 37 persen menganggap perempuan cenderung mengalami kekerasan seksual saat mabuk. Mereka disalahkan karena menjadi korban.
Dengan kata lain, mayoritas penduduk Korea percaya bahwa masalahnya adalah seksualitas perempuannya, bukan kekerasan seksualnya.
Baca juga: Mengantre Viral: Perjuangan Korban Kekerasan Seksual di Indonesia
Berawal dari Kebijakan Pemerintah
Kejahatan seks digital terlalu luas untuk hanya menyalahkan segelintir aktor jahat. Menurut saya, sebagian masalahnya berasal dari sejarah panjang “kewarganegaraan gender”.
Ilmuwan feminis Korea Seungsook Moon menulis tentang bagaimana pemerintah menciptakan perbedaan “jalur” bagi laki-laki dan perempuan saat negara tersebut berusaha melakukan modernisasi pada paruh kedua abad ke-20:
“Laki-laki dimobilisasi untuk ikut dinas wajib militer dan kemudian digunakan sebagai pekerja dan peneliti dalam industrialisasi ekonomi. Sementara itu, perempuan diasingkan ke pekerjaan pabrik yang lebih rendah, dan peran mereka sebagai anggota negara modern sebagian besar ditentukan berdasarkan kemampuan reproduksi biologis dan manajemen rumah tangga.”
Meskipun kebijakan tersebut tidak lagi diberlakukan secara resmi, sikap mendasar tentang peran gender tetap tertanam dalam kehidupan dan budaya Korea. Perempuan yang menyimpang dari menjadi ibu dan ibu rumah tangga seakan seperti menjatuhkan diri mereka ke jurang serangan publik.
Pemerintah telah membuat kuota gender di beberapa industri tertentu sebagai upaya untuk mengurai sistem kewarganegaraan gender ini.
Misalnya, beberapa posisi di pemerintahan memiliki kuota gender minimum untuk karyawan baru, dan pemerintah mendorong sektor swasta untuk menerapkan hal serupa dalam kebijakan perusahaannya. Untuk industri yang secara historis didominasi oleh laki-laki, seperti konstruksi, ada kuota untuk mempekerjakan perempuan. Sementara, di industri yang secara historis didominasi oleh perempuan, seperti pendidikan, ada kuota untuk laki-laki.
Dalam beberapa hal, upaya ini dapat memperburuk keadaan. Setiap gender jadi merasa seolah-olah mendapat perlakuan khusus karena kebijakan afirmatif ini. Ini membuat “permusuhan” makin membara.
Baca juga: Memaknai Kembali “Berbenah” dari Marie Kondo yang Menyerah Rapikan Rumah
‘Generasi yang Menyerah’
Saat ini, persaingan antara laki-laki dan perempuan muda diperburuk oleh melonjaknya biaya hidup dan pengangguran yang merajalela.
Disebut sebagai “Generasi N-Po,” yang secara kasar diterjemahkan sebagai “generasi yang menyerah”, banyak anak muda Korea tidak berpikir mereka dapat mencapai tolak ukur tertentu yang dianggap biasa oleh generasi sebelumnya: Menikah, memiliki anak, mencari pekerjaan, memiliki rumah, dan bahkan menjalin persahabatan.
Meskipun semua gender ikut merasa putus asa, tindakan “menyerah” ini telah menyebabkan lebih banyak masalah bagi perempuan. Laki-laki melihat perempuan yang tidak mau menikah dan memiliki anak sebagai orang yang egois. Dan ketika mereka mencoba bersaing dengan laki-laki untuk mendapatkan pekerjaan, beberapa laki-laki menjadi marah.
Banyak laki-laki yang menjadi radikal melakukan kejahatan seks digital untuk membalas dendam pada perempuan yang, menurut pandangan mereka, telah meninggalkan kodratnya.
Pada akhirnya, dinamika persaingan yang diciptakan oleh pemerintah Korea yang menganut kewarganegaraan gender telah memicu perang gender yang ganas antara laki-laki dan perempuan di Korea, dengan kejahatan seks digital digunakan sebagai amunisi.
Gerakan 4B, yakni ketika perempuan Korea menolak berkencan, menikah, dan memiliki anak dengan pasangan heteroseksual, mewakili eskalasi radikal perang gender dengan berusaha menciptakan dunia online dan offline tanpa laki-laki. Alih-alih terlibat pertengkaran, para perempuan ini menolak untuk berinteraksi dengan laki-laki, titik.
Baca Juga: Kapan Waktu yang Tepat untuk Mulai Pacaran?
Kejahatan seks digital adalah masalah global
Yang pasti, kejahatan seks digital tidak hanya terjadi di Korea.
Ketika saya mengajar tentang kejahatan seks digital di AS di kelas kuliah saya, saya terkejut dengan banyaknya mahasiswa yang mengakui bahwa mereka telah menjadi korban kejahatan seks digital, atau mengetahui hal itu terjadi di sekolah menengah mereka. Pada konferensi tahunan National Women’s Studies Association tahun 2022, saya menyaksikan kembali para aktivis feminis dan ilmuwan dari seluruh dunia mempresentasikan temuan mereka tentang kejahatan seks digital.
Karena setiap negara memiliki konteks budayanya sendiri dalam menghadapi peningkatan kejahatan seks digital, tidak ada solusi tunggal untuk menyelesaikan masalah tersebut. Namun, di Korea Selatan, terus mengurai sistem kewarganegaraan berdasarkan gender bisa menjadi bagian dari solusi.
Min Joo Lee, Postdoctoral Fellow, Indiana University.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.