Studi Terbaru: Perempuan Maluku Tak Dilibatkan dalam Isu Energi Terbarukan
Perempuan Maluku cuma dilihat sebagai konsumen, alih-alih subjek atau pengambil keputusan dalam isu energi terbarukan.
Kamu mungkin mengenal Maluku sebagai surga duniawi karena bentangan alamnya yang indah. Namun, tak banyak yang tahu jika rumah bagi 1,7 juta orang ini menyimpan problem kesenjangan gender yang relatif mengkhawatirkan.
Temuan baru studi New Zealand-Maluku Access To Renewable Energy Support (NZMates), organisasi besutan Selandia Baru yang fokus pada energi terbarukan, membuktikannya. Dalam studi yang diseminasikan pada (11/7) bertajuk Peran dan Partisipasi Perempuan pada Sektor Energi Terbarukan di Provinsi Maluku dijelaskan, perempuan Maluku kerap kali dipinggirkan dalam isu energi terbarukan.
Padahal energi terbarukan ini penting, mengingat Maluku punya keterbatasan akses listrik. Melansir laman NZMates, Maluku menduduki tingkat elektrifikasi terendah di Indonesia dengan 12,9 persen rumah tangga tidak memiliki akses listrik. Kurangnya akses listrik jadi salah satu hambatan utama untuk meningkatkan kesejahteraan rumah tangga, layanan sosial dan masyarakat, serta kegiatan ekonomi lainnya.
Energi terbarukan (ET) dalam hal sebenarnya bisa jadi salah satu solusi. Namun, abainya pemerintah dalam mengenjot partisipasi perempuan dalam isu ini, membuat kondisi makin sulit dibenahi.
Baca Juga: SamaBhav Travelling Film Festival, Bersama Dorong Kesetaraan Gender
Hasil Studi
Studi NZMates menemukan, kendati perempuan adalah penopang energi pada skala rumah tangga, posisi mereka di sektor energi masih dilihat sebagai konsumen. Mereka belum terlibat secara optimal dalam proses sebagai subjek pembangunan energi (perencanaan/inisiasi. pelaksanaan, dan monitoring serta evaluasi)
Indana Laazulva, peneliti gender, disabilitas dan inklusi sosial (GEDSI) yang terlibat dalam studi tersebut mengatakan, dikecualikannya perempuan dalam isu energi disebabkan oleh sistem kekerabatan (kinship system) yang umumnya masih patrilineal. Sistem ini memang masih mengedepankan dan lebih mengistimewakan peran laki-laki.
“Perempuan cenderung hanya memiliki peran di ranah reproduktif (pemenuhan kebutuhan makanan bagi keluarga, pengasuhan anak dan pengelolaan keuangan rumah tangga). Peran ini secara langsung mengakibatkan perempuan mengalami beban berlapis dan mengeksklusi mereka dalam proses pengambilan keputusan untuk peran sosial kemasyarakatan (keputusan adat),” jelasnya lagi.
Baca Juga: Pesta Perempuan: Mari Jaga Semangat Kita #MendobrakBias
Dengan sistem itu, keterlibatan perempuan pun akhirnya tidak dianggap penting. Sebanyak 85,5 persen dari total 550 responden di 10 kabupaten/kota di Maluku bilang, mereka tidak pernah dilibatkan dalam pembangunan listrik di desa. Sementara, 53 persen menyatakan tidak diundang pada kegiatan diskusi penggunaan listrik di ruang publik.
Temuan ini tidak mengherankan lantaran perempuan jarang dilibatkan di Soa (persekutuan teritorial genealogis) dan Saniri (lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan untuk mengayomi adat istiadat). Mereka juga tidak dilibatkan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) Desa.
“Bahkan jika ada perempuan yang duduk dalam posisi strategis seperti kepala desa, mereka hanya dilihat sebagai pemimpin alternatif. Bukan pemimpin mutlak yang memang dipercayakan masyarakat,” sambung Sari Oktafiana, peneliti GEDSI lain yang terlibat dalam studi ini.
Eksklusi perempuan dalam isu energi, lanjut Sari, diperparah dengan ketidakberpihakan pemerintah provinsi maupun desa pada perempuan. Ini terlihat dari belum optimalnya regulasi Pengarusutamaan Gender (PUG) di kabupaten/kota di Maluku dengan tujuh pilar PUG–komitmen, kebijakan, kelembagaan, sumber daya, data terpilah, alat analisis, partisipasi publik–yang belum terlaksana dengan baik.
Akibatnya jelas. Perempuan semakin dijauhkan dari akses energi. Ini lantas berpengaruh pada pembatasan peran produktif (penggunaan energi untuk bisnis, mengelola olahan lokal, dan sosial kemasyarakatan) perempuan. Peran yang relatif penting bagi pemberdayaan perempuan itu sendiri.
Baca juga: #KerenTanpaNyampah, The Body Shop® Komitmen Selamatkan Jutaan Botol Bekas
Dengan tantangan-tantangan inilah, NZMates memetakan beberapa rekomendasi.
Pertama, pemerintah daerah perlu mendorong PUG dalam regulasi sektor energi, kolaborasi lintas dan multi sektor, penguatan kapasitas birokrasi, serta kelembagaan manajemen energi.
Kedua, untuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) juga harus mendorong advokasi untuk kesetaraan dan keadilan gender di bidang energi dan terbarukan. Ketiga, kepada tokoh masyarakat untuk bisa melakukan pendampingan masyarakat desa dalam meningkatkan kapasitas pengetahuan dan praktik kesetaraan penguatan dan keadilan gender, membangun jejaring kerja sama dengan perusahaan sektor energi, memberikan edukasi atau pelatihan pada perempuan dan kelompok rentan lainnya seperti kelompok disabilitas.
Ilustrasi oleh Karina Tungari