Perempuan Pemilik Usaha Kecil di Bojonegoro Kembangkan Kemampuan Manajerial
Perempuan pemilik usaha kecil memerlukan pelatihan manajerial dan pemasaran.
Bojonegoro, Jawa Timur – “Sebagai tamatan SMP, saya tidak memiliki keterampilan apa-apa. Setelah menikah, saya hanya diam di rumah dan ternyata saya tidak betah. Akhirnya, saya inisiatif untuk belajar menjahit,” ujar Sulastri, penjahit berusia 43 tahun, dalam perbincangan bersama Magdalene dan media lainnya di Festival Inspirasi Perempuan di Bojonegoro, Jawa Timur (15/11).
Sulastri mulai belajar menjahit 13 tahun yang lalu selama tiga tahun dari tetangga dekat dan bapak mertua, sebelum mulai menerima pesanan. Pesanan mulai datang, namun ia kesulitan mengorganisir pekerjaannya.
“Pesanan cukup banyak, tapi saya suka kewalahan. Sering kali saya kebanjiran pesanan tapi saya tidak mampu menyelesaikannya tepat waktu,” kata Sulastri. Lambat laun, kinerjanya menurun dan reputasinya memburuk karena ketidakmampuannya menangani pesanan yang menumpuk.
Ia kemudian mendapat kesempatan mengikuti pelatihan dari sebuah program pemberdayaan perempuan pemilik usaha kecil di kota itu.
“Saya diajari tentang manajemen waktu, yang selama ini adalah tantangan terbesar saya. Saya diberi pemahaman bahwa menolak pesanan adalah hal yang maklum dilakukan kalau memang dirasa tidak mampu. Selama ini, saya tidak pernah menolak pesanan. Pertama karena saya merasa sungkan, kedua karena tak ingin menolak rejeki. Tapi kini saya sadar bahwa agar usaha saya berjalan lancar, saya perlu memahami batas kemampuan saya,” ujar Sulastri.
Kemampuan manajerial dan pemasaran merupakan isu dari para peserta Festival Inspirasi Perempuan, yang merupakan acara penutup dari rangkaian program Pemberdayaan Ekonomi Perempuan Unggulan (PEREMPUAN). Program PEREMPUAN adalah program pelatihan kepemimpinan dan manajerial untuk perempuan yang prosesnya diselenggarakan oleh Global Women in Management (GWIM) Indonesia.
Ngaisah, 45, yang merupakan ibu empat anak, mengatakan ia mendapat pemahaman mengenai cara-cara menjaga kualitas produk dan meningkatkan daya jual produk dari pelatihan tersebut.
“Saya memproduksi keripik yang terbuat dari pelepah pisang, atau biasa kami sebut ‘ares’. Saya berpikir, kira-kira bagaimana mengolah pelepah pisang agar menjadi jajanan yang unik—karena kalau buah pisang sendiri, sudah sangat banyak olahannya. Saya kemudian dianjurkan untuk meningkatkan kualitas pengemasan produk,” jelas Ngaisah.
“Saya menyadari pentingnya memastikan bahwa produk saya tidak remuk selama proses distribusi. Selain itu, saya juga belajar bahwa kemasan yang bagus berdampak langsung pada penjualan,” tambahnya.
Thilma Komaling, Ketua Panitia Pelaksana program pelatihan PEREMPUAN, mengatakan lembaganya memberi materi kepemimpinan, pemasaran, jejaring, dan manajemen keuangan.
“Tahun ini, kami melibatkan 21 peserta pelatihan. Harapan kami adalah para ibu-ibu wirausaha dapat lebih mengembangkan usaha mereka, serta bisa membagi wawasan dan pengetahuan mereka pada ibu-ibu yang lain,” jelasnya.
Beberapa dari hasil produksi pengusaha juga dijual dalam festival tersebut, termasuk kain batik, perhiasan, tas, pizza, mainan anak dari kain flanel, serta berbagai macam produk makanan, termasuk keripik ares yang diproduksi Ngaisah.
Selain memberikan kesempatan bagi para pengusaha untuk memperkenalkan usahanya, Festival Inspirasi perempuan juga memberi kesempatan berkonsultasi dengan pakar bisnis dari berbagai bidang, termasuk pakar di bidang pengurusan dokumen legal, manajemen keuangan, serta promosi media sosial.
Beberapa pengusaha telah memasarkan produknya melalui media sosial, salah satunya, Iswatun pemilik usaha produksi kain batik Bojonegoro.
“Agar tampilan produk di media sosial lebih menarik, diperlukan latar berwarna putih, sehingga foto lebih mudah diatur dalam proses editing. Saat ini, saya menjual kain batik saya melalui Instagram,” jelas Iswatun.
Thilma menambahkan bahwa tidak semua peserta memiliki kemauan and keterbukaan yang sama dengan Iswatun perihal pemasaran produk melalui media sosial.
“Memang mekanisme penjualan daring cukup berbeda dengan transaksi tradisional, tapi apabila mereka ingin bertahan di persaingan pasar, maka penting untuk mulai belajar tentang pemasaran di ranah daring,” jelas Thilma.
Baca artikel Ayunda mengenai diskriminasi struktural dan akses mobilitas terbatas bagi penyandang disabilitas.