Perempuan Pengusaha Aborigin Bantu Komunitasnya Lewat Teknologi VR
Prihatin dengan masalah kemiskinan dan buta huruf di komunitasnya, perempuan pengusaha keturunan Aborigin ini mencari solusi lewat teknologi.
Namanya Rachel, seorang perempuan muda keturunan suku asli Australia, Aborigin. Dia bekerja di pertambangan dan merupakan satu dari enam orang yang mampu mengoperasikan ekskavator terbesar di dunia. Lengkap dengan helm pelindung berwarna putih dan jaket kuning, Rachel bisa membawa kita ke dalam ekskavator lalu menjelaskan tentang pekerjaannya di pertambangan berikut kisah hidupnya. Kita bisa bertemu dan mengenal lebih jauh sosok Rachel ketika mengenakan kacamata Realitas Virtual (VR) milik enVizion.
EnVizion merupakan organisasi yang bergerak di bidang sosial untuk memberdayakan serta membantu penduduk asli Australia, terutama perempuan, di daerah-daerah terpencil.
Salah satu program sosial mereka ialah Virtual Reality Experience Program (VREP) yang dirakit dengan kacamata VR. Melalui program tersebut, pengguna diharapkan dapat terinspirasi untuk memilih profesi di antara lima industri yang disuguhkan dalam VR, yaitu pertambangan, pertanian, aquaponic (kombinasi dari budidaya ikan dan hidroponik), konstruksi, dan kesehatan.
EnVizion kemudian menggunakan bus untuk membawa kacamata-kacamata VR tersebut ke daerah terpencil di Australia.
“Kami menggunakan bus karena beberapa lokasi membutuhkan waktu berjam-jam untuk sampai ke sana. Dan jalannya bukan jalan biasa. Rusak dan penuh tanah. Jadi kami membuat bus yang bisa pergi ke lokasi-lokasi itu serta memastikan tidak ada orang yang tertinggal,” ujar CEO enVizion Julie-Ann Lambourne di Jakarta.
Lambourne mengatakan, penduduk asli Australia mengalami masalah kemiskinan, buta huruf, dan kesulitan berkomunikasi dengan bahasa Inggris karena bukan bahasa ibu mereka. Masalah-masalah tersebut sangat dirasakan oleh perempuan, khususnya dalam memperoleh pendidikan, tambahnya.
Lambourne sendiri merupakan keturunan penduduk asli Torres Straits Islands, wilayah kepulauan di Australia dekat Papua Nugini. Resah dengan permasalahan yang menimpa komunitasnya, ia kemudian memutuskan untuk mencari solusi dengan teknologi dengan mendirikan enVizion bersama rekan-rekannya.
“Kami menggunakan teknologi untuk menjembatani kesenjangan itu. Kami membantu orang untuk belajar membaca dan menulis menggunakan teknologi. Kami memiliki beragam program digital yang bisa membantu. Kami juga menggabungkan budaya dengan teknologi untuk belajar membaca dan menulis,” ujarnya, Selasa, 10 Juli lalu ketika menjadi salah satu pembicara Indonesia Development Forum (IDF) di Hotel Ritz Carlton, Jakarta.
Lambourne mengatakan program tersebut membantu dan menginspirasi penggunanya yang tengah berada di masa kelam dan ingin mengubah hidup mereka.
Ia kemudian bercerita tentang seorang perempuan peserta program VREP. Perempuan itu tengah mengikuti masa rehabilitasi untuk mengurangi kecanduannya pada alkohol. Saat mengikuti program VREP, dia merasa terinspirasi dan ingin bekerja di bidang kesehatan.
“Dia selalu melihat anggota keluarganya jatuh sakit. Ketika selesai (program), dia mengatakan ‘sekarang aku sadar kenapa aku harus menjadi perawat’. Kami kemudian membantunya mencari sekolah dan belajar bagaimana caranya bekerja di bidang kesehatan,” kata Lambourne.
“Semua cerita yang ada di dalam realitas virtual tersebut adalah tentang harapan, rasa percaya diri, serta kemampuan. ‘Jika aku bisa melakukannya, maka kau juga bisa’.”
Kisah hidup untuk menginspirasi
Meskipun telah menjadi CEO untuk organisasi yang dia bangun, Lambourne mengatakan masih ada saja yang memandangnya sebelah mata dan tidak percaya bahwa perempuan penduduk suku asli Australia bisa mencapai posisi setinggi itu. Hal itu akibat persepsi bahwa perempuan pribumi tidak berpendidikan, ujar perempuan berusia 40an tersebut.
“Sering kali saya hadir dalam sebuah rapat dan menjadi satu-satunya perempuan di ruangan itu. Mereka yang duduk di ruangan kemudian bertanya kepada saya, ‘Anda mewakili perusahaan apa?’ dan saya bilang saya dari enVizion. Mereka kemudian bertanya ‘Apa posisi Anda?’ dan saya bilang, CEO. Kemudian mereka berkata, ‘Oh ya?’. Mereka tidak percaya perempuan bisa menjadi CEO, terutama perempuan penduduk asli,” ujarnya dalam wawancara dengan Magdalene.
Perjalanan hidupnya sebagai warga Aborigin tidak mudah. Lambourne berasal dari Kepulauan Mabuiag dan Darnley, sebelum pindah ke Cairns di Queensland, bagian utara Australia. Ia tumbuh di lingkungan miskin yang penuh kekerasan, dengan ibu pecandu alkohol. Lambourne putus sekolah di jenjang SMP karena mengalami kesulitan belajar, namun kemudian mengikuti TAFE (Technical and Further Education), program pendidikan lanjutan kejuruan. Lambourne kemudian bekerja di kantor pemerintahan sejak usianya 18 tahun lewat program tenaga kerja untuk penduduk asli.
Sebagai dewasa muda, ia mengulangi kesalahan yang sama dengan sang ibu, memiliki ketergantungan terhadap alkohol dan narkoba. Namun, ketika menginjak usia 27 tahun dia berpikir untuk mengubah hidupnya.
“Meskipun saya memiliki karier, saya mulai berpikir, ‘Saya tidak bisa seperti ini lagi’. Jadi saya benar-benar melihat ke dalam diri saya, tentang apa yang saya lakukan,” ujarnya.
“Saya kemudian belajar cara untuk mengatasi (masalah hidup). Saya mengatasi isu kesehatan mental dan kecanduan. Saya mengatasi semua itu untuk menjadi diri saya sekarang.”
Sebelum membangun enVizion, Lambourne bekerja untuk pemerintah selama 23 tahun untuk program pengembangan masyarakat dalam bidang pendidikan dan ketenagakerjaan. Bersama empat rekan kerjanya yang lain, ia kemudian memutuskan berhenti bekerja dan membangun enVizion pada 2013 untuk menolong sesama.
Ia kerap menyampaikan kisah hidupnya itu kepada mereka yang mengalami masa-masa sulit untuk memberikan secercah harapan bahwa hidup bisa berubah.
“Cerita saya sebenarnya untuk orang lain dan karena saya memiliki kemampuan untuk membagikannya, cerita itu telah banyak membantu orang. Karenanya, saya selalu membagikannya. Ketika mereka mendengarkannya, terkadang cerita itu memberikan mereka harapan,” ujarnya.
Keinginannya untuk belajar tidak berhenti, dan ia menyadari bahwa pendidikan adalah hal yang sangat penting. Tiga pekan yang lalu dia baru saja mendapatkan gelar Master of Business Administration (MBA) di Australian Institute of Business.
“Jadi apa yang saya lakukan ialah menggunakan semua apa yang telah saya pelajari (dari pengalaman hidup) dan mengajarkannya terutama untuk perempuan untuk mengembangkan diri mereka,” ujarnya.
Perempuan Indonesia dan penduduk asli Australia
Lambourne mengatakan ia bersama enVizion berhasil membantu sekitar 9 ribu orang.
“Kami melihat ada orang yang datang ke kelas literasi digital kami dan tidak pernah menggunakan komputer sebelumnya. Kami juga punya program jangka panjang untuk membantu mendirikan bisnis. Orang-orang tanpa keterampilan digital datang ke kelas digital, sekarang mereka adalah pengusaha dan mulai membangun bisnis,” katanya.
Menurutnya teknologi canggih sangat membantu karena mampu melahirkan perspektif baru, terutama untuk mereka yang sedang mengalami masalah hidup. Dengan bantuan teknologi, seperti VR, enVizion dapat membantu mereka melewati semua permasalahan hidup dan membimbing mereka untuk membangun hidup yang baru.
“Mendorong perempuan untuk menyadari bahwa mereka sama pentingnya dengan laki-laki. Hal terbesar yang kita temukan ialah mereka tidak memiliki harapan di hidup karena kerugian dan kemiskinan itu. Mereka kehilangan harapan, rasa percaya diri, dan merasa tidak bisa melakukan apa pun. Jadi kami membantu mereka untuk mendapatkan pekerjaan,” kata Lambourne.
Dalam kunjungannya yang pertama ke Indonesia ini, ia mengungkapkan bahwa ia menemukan kesamaan antara perempuan Indonesia dan perempuan penduduk asli Australia, yaitu terbelenggu budaya patriarki. Penduduk asli, juga pada masyarakat Australia secara umum, masih menganggap laki-laki kepala keluarga meskipun perempuan yang melakukan semuanya, kata Lambourne. Meskipun begitu, dalam setahun terakhir semakin banyak perempuan asli Australia menjadi pengusaha. Perempuan mulai bangkit, tambahnya.
Ketika menginjakkan kaki di Jakarta, Lambourne berbagi cerita dengan beberapa orang yang bergabung dalam program MAMPU, yaitu kemitraan pemerintah Australia dan Indonesia untuk pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender.
“Mendengarkan cerita mereka seperti sangat mirip dengan mendengarkan cerita orang-orang dari komunitas saya. Isu yang dialami perempuan penduduk asli Australia sama dengan perempuan Indonesia. Satu isu terbesar yang kami (masyarakat Australia) hadapi di daerah terpencil adalah alkohol dan kekerasan dalam rumah tangga,” ujarnya.
Dia mengutarakan keinginan untuk menjalankan sebuah program bersama perempuan Indonesia dan masing-masing pihak bisa belajar dari satu sama lain.
“Kami ada percakapan tentang bagaimana mana kita bisa belajar dari satu sama lain dan apakah ada yang bisa saya lakukan untuk membantu. Terutama di era ekonomi digital dan literasi digital. Untuk menunjukkan bahwa kita tidak meninggalkan mereka,” ujarnya.
Baca bagaimana stigma dan fasilitas tak memadai hambat pekerja dengan disabilitas.