December 5, 2025
Environment Issues

Perempuan Suku Anak Dalam dalam Kepungan Sawit: Tanggung Beban Ganda sampai Pelecehan 

Hilangnya hutan buntut ekspansi sawit berdampak besar pada kehidupan perempuan Suku Anak Dalam.

  • August 8, 2025
  • 5 min read
  • 3536 Views
Perempuan Suku Anak Dalam dalam Kepungan Sawit: Tanggung Beban Ganda sampai Pelecehan 

Sajang saji masuk mata, tikar bentol gawe betino, lauk krayat belanjo ya gawe penjenton.” 

Ungkapan tersebut adalah salah satu prinsip hidup Suku Anak Dalam atau Orang Rimbo tentang pembagian peran dalam rumah tangga. Dalam tradisi mereka, laki-laki—disebut penjenton—bertugas mencari sumber protein untuk lauk, sedangkan perempuan—betino—berkewajiban mencari sumber karbohidrat. 

Prinsip ini dulu berjalan harmonis. Hidup di hutan membuat pembagian kerja tersebut efisien dan relevan. Para lelaki berburu hewan liar, sementara perempuan mengumpulkan umbi, buah, dan bahan pangan lain di sekitar sudung—tenda-tenda sederhana dari terpal yang menjadi tempat tinggal mereka. 

Kedekatan perempuan Suku Anak Dalam dengan hutan bukan hanya soal urusan dapur. Menurut Anggun, fasilitator dari Warung Informasi Konservasi (WARSI) yang mendampingi komunitas ini, perempuan Orang Rimba punya relasi spiritual, pengetahuan medis tradisional, hingga keterampilan kerajinan yang seluruhnya bersumber dari alam. 

“Perempuan Orang Rimba punya kedekatan dengan hutan. Bisa dilihat dari peran-peran domestiknya dan dari kepercayaannya. Misalnya penyediaan tempat khusus untuk melahirkan, tempat mengambil rumbai untuk membuat tikar, sampai obat-obatan,” ujar Anggun. 

Namun semua itu berubah seiring habisnya hutan akibat ekspansi perkebunan sawit. Tanah adat yang dulu menjadi tempat tinggal dan sumber hidup mereka kini berubah menjadi hamparan kelapa sawit. Bukan hanya menghilangkan ruang hidup, kondisi ini juga mengacaukan tatanan sosial dan ekonomi yang selama ini menopang kehidupan perempuan Suku Anak Dalam. 

Foto: Syifa Maulida/Magdalene

Baca juga: Di Mana Ada Tambang Nikel, Di Situ Perempuan Jadi Korban 

Beban Ganda yang Kian Berat dan Ancaman Kekerasan Seksual 

Jambi, provinsi tempat tinggal Suku Anak Dalam, menjadi salah satu wilayah dengan alih fungsi hutan yang masif. Menurut data Dinas Perkebunan Jambi (2018), dari total 5 juta hektare luas wilayah provinsi ini, 1,1 juta hektare telah berubah menjadi perkebunan sawit. Sensus Pertanian 2023 dari Badan Pusat Statistik juga mencatat Kabupaten Merangin dan Muaro Jambi memiliki 12–15 juta pohon sawit—jumlah terbesar di Jambi. 

Di tengah angka tersebut, komunitas Suku Anak Dalam di Desa Pelakar Jaya, Kabupaten Merangin, adalah salah satu yang paling terdampak. Dulu mereka tinggal di sepanjang sungai Pelakar, Limbur Tembesi, dan Kenalip. Namun sejak pembalakan hutan pada 1980-an dan program transmigrasi serta pembukaan lahan sawit, perlahan mereka tergusur. 

Perubahan ini membawa beban berlapis bagi perempuan. Peran domestik yang dulu hanya terfokus pada dapur kini meluas ke ranah produksi. Mereka terpaksa ikut mencari penghasilan demi bertahan hidup, tanpa pernah bisa meninggalkan tanggung jawab rumah tangga. 

Penyarak, 60 tahun, adalah salah satu perempuan Suku Anak Dalam yang merasakan perubahan itu. Setiap hari, ia menyusuri kebun sawit untuk mencari brondolan—buah sawit yang lepas dari tandan—yang kemudian dijual ke tengkulak. Hasilnya digunakan untuk membeli beras, satu-satunya sumber karbohidrat yang kini bisa ia andalkan. 

Namun pekerjaan di luar rumah tak lantas membuat Penyarak terbebas dari tugas domestik. Mengurus anak dan cucu, menjaga kebersihan rumah, hingga memastikan pendidikan tetap menjadi tanggung jawabnya. Situasi ini memperberat beban ganda yang harus ia pikul sehari-hari. 

Kondisi semakin pelik karena mobilitas perempuan di sekitar kebun sawit kerap dilakukan sendirian dan dalam jarak jauh. Hal ini membuat mereka semakin rentan mengalami pelecehan seksual

“Mereka cari brondolan sawit bukan hanya di sekitar sini aja. Kadang jalan kaki jauh. Dan itu enggak bisa dipungkiri juga bisa bikin mereka rentan terhadap pelecehan seksual,” jelas Anggun. 

Kerentanan ini bukan isapan jempol. Investigasi mendalam Associated Press di Indonesia dan Malaysia mengungkap bahwa perempuan yang menggantungkan hidup dari perkebunan sawit sering mengalami pelecehan—dari kekerasan verbal hingga pemerkosaan. Ironisnya, banyak kasus diselesaikan secara damai tanpa jalur hukum. Pelaku sering kali tidak mendapat hukuman yang setimpal. 

Foto: Syifa Maulida/Magdalene

Baca juga: Luka Tak Terlihat Para Perempuan Adat 

Afirmasi Minim, Informasi Sekadarnya 

Kepungan sawit juga berimbas pada terbatasnya akses perempuan Suku Anak Dalam terhadap informasi dan hak-hak dasar. Pola pikir patriarkal di komunitas ini membuat laki-laki lebih mudah terserap dalam kesempatan kerja yang muncul dari ekspansi sawit, seperti menjadi penjaga kebun. Sementara perempuan kembali tersisih, kali ini bukan karena tradisi, melainkan karena sistem yang tak ramah terhadap kesetaraan. 

“Laki-laki bisa mengakses kemana-mana. Mereka bersosialisasi, bahkan ikut organisasi. Yang perempuan tidak dilibatkan. Jadi ada gap informasi yang jauh antara laki-laki dan perempuan,” ungkap Anggun. 

Perempuan yang tidak dilibatkan dalam diskusi komunitas maupun pengambilan keputusan menjadi kelompok yang paling terdampak tapi paling tidak terdengar. Padahal, banyak di antara mereka yang memikul tanggung jawab paling berat dalam menjaga ketahanan hidup keluarga. 

Melihat realitas ini, Anggun menegaskan pentingnya afirmasi khusus bagi perempuan Suku Anak Dalam. Bukan hanya bantuan ekonomi, tapi upaya sistemik yang berangkat dari pengakuan terhadap hak-hak dasar mereka. 

“Sebenarnya fokus utamanya perlu ada pemenuhan hak dasar dulu seperti pendataan warga negara dan kesehatan. Baru setelah itu diselesaikan lapis demi lapis masalah lanjutannya,” ujarnya. 

Baca juga: Di Balik ‘Omon-Omon’ IKN, Ada Ruang Hidup Rakyat Sepaku yang Direbut Paksa 

Upaya intervensi juga bisa dikembangkan melalui program-program ekonomi kreatif berbasis komunitas, pelibatan perempuan dalam forum musyawarah, serta akses pendidikan dan pelatihan yang inklusif. 

“Bisa dimulai supaya mereka juga punya informasi yang sama. Jadi, mereka paham dan bisa mulai terlibat dalam musyawarah-musyawarah pengambilan keputusan itu,” pungkas Anggun. 

Perjuangan perempuan Suku Anak Dalam adalah refleksi nyata bagaimana krisis ekologis dan eksploitasi ekonomi berkelindan dengan ketimpangan gender. Ketika hutan lenyap, perempuanlah yang harus bertahan di tengah reruntuhannya—berjuang sendirian menjaga dapur, anak-anak, dan harga diri yang terus dipinggirkan. 

About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah lulusan Psikologi dan Kajian Gender UI yang punya ketertarikan pada isu gender dan kesehatan mental. Suka ngopi terutama iced coffee latte (tanpa gula).