Gender & Sexuality Issues Opini

‘Kalau Gitu, Pakai Rok Aja!’ dan Suami yang Tak Lagi Diam-diam Bantu di Dapur

Dari dapur rumah petani sawit di Sumatra Utara, pelan-pelan kita belajar bahwa keadilan gender bisa dimulai dari wajan, bukan wacana.

  • April 16, 2025
  • 4 min read
  • 1295 Views
‘Kalau Gitu, Pakai Rok Aja!’ dan Suami yang Tak Lagi Diam-diam Bantu di Dapur

Seorang bapak warga Desa Ujung Negeri Kahan, Serdang Bedagai, Sumatra Utara, bercerita dalam sebuah pelatihan, bagaimana ia sering membantu di dapur secara diam-diam.

“Kalau ketahuan warga, saya pasti diejek, ‘Kalau gitu, kamu pakai rok aja!’” ujarnya sambil tertawa kecil, disambut gemuruh tawa peserta lain.

Di komunitas petani sawit, pembagian peran rumah tangga sangat kaku. Istri, atau biasa disebut bini, mengurus segalanya, mulai dari dapur, anak, kebun, hingga utang-piutang. Sementara suami, sebagai petani, dianggap satu-satunya pencari nafkah. Padahal realitasnya, semua dikerjakan bersama. Hanya saja, urusan dapur tetap jadi wilayah terlarang bagi lelaki. Maka muncullah lelucon yang sesungguhnya menyakitkan itu: “Pakai rok aja!”

Namun, ada sesuatu yang berubah. Diam-diam.

Baca juga: ‘OK Boomers’: Mengenalkan Kesetaraan Gender pada Ayah

Pelatihan tanpa proyektor tapi penuh perubahan

Sejak Januari 2025, kami di organisasi HAPSARI memfasilitasi pelatihan kesadaran gender bersama SNV, lembaga pembangunan dari Belanda, kepada 2.000 petani sawit di Sumatra Utara. Sasarannya adalah pasangan petani sawit. Caranya bukan lewat modul tebal atau presentasi formal, tapi dengan duduk melingkar di rumah-rumah warga. Kami menyebutnya Dialog Rumah Tangga.

Topik pembicaraan adalah seputar hal-hal yang jarang atau tak pernah dibicarakan. Siapa yang mengatur keuangan? Siapa yang bangun paling pagi? Kapan terakhir saling bertanya pendapat?

Sesi ini sering kali menjadi pertama kalinya pasangan saling mendengar secara utuh. Seorang istri berkata, “Saya sudah nikah lebih dari 20 tahun, tapi baru kali ini ikut belajar bareng suami. Biasanya, minta izin aja susah.” Beberapa peserta tertawa karena merasa senasib.

Namun dari situ, satu demi satu kesadaran tumbuh. Bukan dari teori, tapi dari mendengar pasangan sendiri bercerita.

Di Desa Simalas, seorang suami awalnya hanya diam. Tapi kemudian, ia angkat tangan dan berkata, “Kalau mau jujur, istri saya kerja terus dari pagi sampai malam. Saya santai aja.” Ia tersenyum kecut, dan ruang itu hening, karena semua orang tahu itu benar.

Di desa lain, Kuta Jurung, kami juga berhadapan dengan suara keras: “Adat kita udah begitu. Jangan dibahas-bahas lagi!” kata seorang tokoh adat. Tapi di balik tatapan diam para ibu, ada bisikan kecil, “Kita ubah pelan-pelan, ya.”

Baca juga: Resep Pernikahan Bahagia: Peran Gender yang Fleksibel

Bukan “cuma istri petani”, mereka petani juga

Satu kalimat yang sering kami dengar selama pelatihan adalah, “Saya bukan petani, cuma istri petani.” Padahal mereka ikut menyemprot rumput, mengangkut pelepah, menimbang hasil panen, hingga mengatur keuangan rumah tangga. Tapi gelar “petani” hanya untuk suami.

Kami tak datang untuk mengubah identitas, tapi sekadar bertanya: “Apa istri juga boleh ikut memutuskan hasil panen mau dijual sekarang atau nanti?”

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu mulai menggeser cara pandang. Diam-diam. Bukan hanya di kepala, tapi di dapur. Di meja makan.

Dalam laporan pendampingan bulan Februari dan Maret, kami mencatat peningkatan partisipasi laki-laki dalam tugas domestik. Suami-suami yang dulu membantu secara diam-diam, kini mulai melakukannya terang-terangan.

“Sekarang saya bantu menyapu, mencuci piring, masak nasi. Istri saya senang, saya juga jadi tahu rasanya,” kata seorang bapak.

Apakah ini berarti patriarki runtuh? Tentu tidak. Tapi kita tak butuh revolusi untuk tahu bahwa sesuatu telah berubah. Perubahan tak selalu bergemuruh. Terkadang, cukup berbentuk piring kotor yang dicuci bersama. Atau senyum istri yang merasa pekerjaannya akhirnya dianggap penting.

Dalam perspektif feminis, ini disebut invisible labor, atau kerja yang menopang hidup tapi tak pernah dihitung. Feminis Silvia Federici pernah bilang: rumah tangga bukan tempat netral, tapi lokasi kerja yang tak dibayar. Maka ketika suami mulai ikut kerja dan tidak malu lagi, itu bukan sekadar “membantu”. Itu soal berbagi nilai dan kuasa.

Baca juga: Buruh Perempuan Ceraikan Suami, Peran Gender Normatif Memang Sudah Basi

Perubahan diawali dari setrika pakaian

Tentu, tak semua keluarga berubah dengan tempo yang sama. Ada yang baru berani bicara. Ada yang baru tergerak mencuci piring saat mertua sedang pergi. Tapi ada satu hal yang kami lihat muncul di hampir semua rumah: benih keberanian untuk berkata, “Saya juga mau berbagi peran.”

Pelatihan GESI (Gender Equality and Social Inclusion), mengajarkan kami satu hal penting: bahwa keadilan gender tak harus dimulai dari undang-undang atau rapat DPR. Kadang cukup dimulai dari ruang tamu. Dari kesadaran suami untuk mengakui, “Selama ini aku terlalu dominan ya?”

Dan dari sana, perlahan, hal-hal kecil mulai bergeser. Seperti bini yang bisa ikut pelatihan tanpa harus menyiapkan makan siang sendirian. Atau bojo yang tak takut dicibir karena menyetrika baju.

Sebagai fasilitator, kami sering terharu bukan oleh pernyataan besar, tapi oleh hal-hal kecil. Seperti ketika seorang bapak bilang, “Saya ingin anak laki-laki saya tahu cara setrika baju. Biar nanti dia bisa bantu istrinya.”

Kedengarannya sepele, tapi dari situlah perubahan bermula. Karena membagi kerja domestik bukan cuma soal logistik, tapi juga soal membagi kuasa. Dan untuk banyak keluarga petani, itu adalah hal baru yang membebaskan.

Laili Zailani adalah ibu rumah tangga yang juga pendiri HAPSARI, organisasi perempuan akar rumput di Sumatera Utara. Terpilih sebagai fellow Ashoka Indonesia pada tahun 2000, dan masih aktif mendampingi komunitas hingga hari ini.

Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality
About Author

Laili Zailani

Leave a Reply