December 5, 2025
Issues Politics & Society

Bekal dari Rumah: Perlawanan Perempuan atas MBG yang Gagal Lindungi Anak 

Keracunan massal di Cipongkor adalah pengalaman traumatis yang membuat Syifa, seorang ibu di Bandung Barat memilih untuk menyiapkan bekal sendiri.

  • October 10, 2025
  • 5 min read
  • 525 Views
Bekal dari Rumah: Perlawanan Perempuan atas MBG yang Gagal Lindungi Anak 

Ketika ribuan anak di Cipongkor, Bandung Barat dilarikan ke puskesmas karena keracunan makanan, Syifa, 34, ikut cemas. Kasus keracunan makanan massal tersebut meninggalkan bekas traumatis untuk sebagian orang tua, tak terkecuali Syifa.  

Ia bercerita, anaknya yang kini duduk di kelas 1 Madrasah Ibtidaiyah (setara Sekolah Dasar) swasta sempat mengikuti program itu selama satu minggu, sebelum akhirnya ia memutuskan untuk berhenti.

“Selama dua minggu alhamdulillah enggak ada yang aneh-aneh. Menu juga bervariasi, meskipun memang bukan real food, kadang roti, atau mie ayam gitu,” ujar Syifa kepada Magdalene (8/10).

“Justru karena anak saya makannya banyak, saya khawatir kalau ada bahan yang enggak bersih atau basi, dia tetap makan habis,” tambahnya.

Namun setelah kasus Cipongkor mencuat, Syifa enggan ambil risiko. Ia segera menghubungi wali kelas dan menyatakan anaknya tak lagi ikut MBG. Kini Syifa lebih tenang menyiapkan bekal sendiri dari rumah. Kepada anaknya, ia juga menjelaskan berita keracunan massal yang meluas di beberapa daerah.  

Penolakan terhadap MBG tak berhenti di Bandung Barat. Di Solo, sejumlah wali murid SD Muhammadiyah 1 Ketelan juga memilih tak menyertakan anaknya untuk konsumsi MBG. Mereka menilai, sistem dapur sehat yang sudah berjalan bertahun-tahun jauh lebih aman.  

“Iya menolak karena sudah ada kantin sehat, sudah teruji. Alhamdulillah enggak ada kendala apa-apa, makanan juga higienis dan sehat,” ujar Devi Ari Ningsih, 40, salah satu wali murid kepada Detik.  

Bagi Devi, membayar Rp10 ribu per porsi untuk program dapur sehat sekolah bukanlah beban. Apalagi, sistem itu sudah terbukti menjaga kualitas gizi anak-anak di sekolah.  

Baca Juga: MBG di Mata Ibu: Anak Dipaksa Menelan Tanpa Rasa Aman 

Program Pemerintah yang Menambah Kerentanan  

Bagi Syifa, masalah terbesar dari MBG bukan hanya soal menu yang tak memenuhi gizi seimbang, tapi minimnya transparansi dan pelibatan orang tua. Sejak awal ia tak pernah mendapat penjelasan resmi dari pihak sekolah mengenai mekanisme penyediaan bahan pangan maupun pengawasan keamanan makanan.  

“Kalau vaksin, kami dikasih surat dulu untuk setuju atau tidak. Namun kalau MBG, cuma ditanya anaknya punya alergi apa enggak,” ujarnya.

Syifa sadar keputusannya menolak program MBG tidak lepas dari posisinya yang relatif lebih beruntung. Ia masih bisa menyiapkan bekal setiap hari—sesuatu yang belum tentu bisa dilakukan semua orang tua.

“Karena ada beberapa kasus orang tua bekerja sehingga MBG dijadikan menu makan siang untuk anak. Dan buat mereka itu membantu,” katanya.

Namun justru karena itu, ia khawatir. Jika kualitas makanan tidak terjamin, anak-anak dari keluarga yang lebih rentan akan menjadi pihak paling terdampak.

Kekhawatirannya bukan tanpa dasar. Menurut data yang dikumpulkan Center of Economic and Law Studies (CELIOS), hingga (6/10) tercatat 9.413 anak sekolah menjadi korban keracunan yang diduga terkait program MBG.  

Apalagi, mengutip Tempo, data dari Kementerian Kesehatan menunjukkan, dari total 10.643 dapur penyedia MBG di seluruh Indonesia, hanya 193 unit (1,5 persen) yang memiliki sertifikat laik higiene sanitasi (SLHS). Dengan kata lain, lebih dari 98 persen dapur belum diverifikasi kebersihannya. 

Dengan kondisi seperti itu, munculnya kasus keracunan di berbagai daerah bukan hal mengejutkan. Minimnya dapur yang tersertifikasi menunjukkan lemahnya sistem pengawasan di lapangan. Program sebesar MBG, bila dijalankan tanpa kesiapan memadai, justru menambah kerentanan bagi anak-anak yang menjadi penerima utamanya setiap hari.

Baca Juga: Strategi Orang Tua Lindungi Anak dari Risiko Keracunan MBG 

Skema yang Lebih Baik Selain MBG 

Sejumlah analis menilai masalah utama MBG bukan pada tujuannya, melainkan pada desain kebijakan yang terlalu sentralistik. CELIOS, dalam laporannya yang dikutip Tempo, menilai program ini akan jauh lebih efisien jika dana disalurkan langsung secara tunai kepada penerima manfaat. 

Berdasarkan simulasi perhitungan mereka, jatah MBG per anak bisa mencapai Rp50 ribu per porsi apabila disalurkan langsung ke penerima. Dengan skema ini, keluarga dapat mengatur sendiri kebutuhan pangan anak sesuai selera dan kebutuhan.  

Temuan CELIOS pun sejalan dengan harapan Syifa. Ia menilai, bantuan pangan seharusnya tak berhenti di ruang makan sekolah, tapi menjangkau dapur keluarga. 

“Aku malah berharap dananya dialihkan untuk subsidi bahan pokok saja. Kayak minyak, beras, telur, itu kan kebutuhan semua keluarga. Kalau bahan pokoknya murah, semua orang bisa makan bergizi.” 

Ia juga berharap orang tua bisa dilibatkan langsung dalam pengawasan MBG, agar alur distribusi makanan lebih transparan. Menurutnya, hal itu mungkin dilakukan jika MBG diselenggarakan dalam skala lebih kecil. Dapur umum yang dibuat di tiap-tiap sekolah, sebagai contoh. Dengan begitu, perwakilan orang tua bisa bergiliran ikut membantu atau mengawasi prosesnya. 

Baginya, pelibatan warga akan mengubah wajah MBG dari proyek pemerintah menjadi gerakan gotong royong menjaga gizi dan keselamatan anak-anak. 

Baca Juga: Kalau Perempuan Turun ke Jalan, Artinya MBG Memang Sudah Gawat 

MBG Watch: Inisiatif Koalisi Sipil Pantau MBG 

Di tengah derasnya kritik, hadir sebuah inisiatif yang memberi arah baru: MBG Watch (mbgwatch.org). Platform ini mencoba menyalurkan keresahan publik menjadi langkah konkret.  

Dibentuk oleh jaringan lembaga seperti CELIOS, Unitrend, Transparency International Indonesia, Lapor Sehat, LBH Jakarta, dan Bareng Warga, MBG Watch menjadi kanal partisipatif bagi masyarakat untuk melapor, memantau, dan memastikan program MBG berjalan aman serta transparan.

Melalui situs web, formulir daring, dan kanal WhatsApp resmi, warga dapat melaporkan dugaan pelanggaran, makanan yang mencurigakan, hingga distribusi bermasalah.

Dengan cara ini, MBG Watch tak sekadar menjadi wadah pengaduan, tetapi juga instrumen pengawasan sosial yang memperkuat hak anak atas makanan sehat dan aman. Ia juga menegaskan bahwa partisipasi publik adalah elemen penting dalam mengawasi kebijakan negara.

About Author

Safika Rahmawati

Safika adalah sosok yang suka melamun dan punya cita-cita hidup tenang di desa di kaki gunung. Tapi kalau harus tinggal di kota dulu, enggak masalah—asalkan bisa rebahan tanpa rasa bersalah sambil menikmati suara burung gereja di dalam kamar.