Perempuan yang Memanggul Bayangan
Apa boleh buat, seorang anak perempuan lahir dari dan dalam kedukaan yang teramat sangat. Begitulah riwayatnya mengapa ia bernama Lara.
Perempuan itu bernama Lara. Ia anak kedua dari tiga bersaudara yang sebenarnya tidak diharapkan kelahirannya. Orang tua Lara Tini dan Karto lebih berharap punya banyak anak laki-laki untuk membantu mereka bekerja memanggul padi dan berjualan di Pasar Kota Lama. Usaha Karto sudah lama bangkrut karena ditipu rekan kerjanya yang mengimi-imingi melipatgandakan uang. Belum lagi krisis moneter yang menggulung habis keuangannya.
Namun apa boleh buat, seorang anak perempuan lahir dari dan dalam kedukaan yang teramat sangat. Begitulah riwayatnya mengapa ia bernama Lara. Ini kontras dengan kakak laki-lakinya yang dinamai Juang dan adik laki-lakinya bernama Sinar.
Rumah Lara adalah kontrakan rumah petak kecil yang bayarannya sering menunggak. Keadaan ekonomi keluarga Lara tidak jauh beda dengan tetangganya, Riak dan Terang; sama melaratnya, dan sama-sama terjerat utang kontrakan. Pekikan pemilik kontrakan yang menyindir dari seberang rumah sudah menjadi sarapan saban pagi dan petang. Hanya saja, tidak satu pun di rumah itu, kecuali Lara, yang memiliki bayangan.
Ayahnya yang bekerja pagi dan petang tidak meninggalkan bayangan, hanya bayangan sepeda motor bebeknya yang mengikuti kedatangan dan kepulangannya. Ibunya yang setengah berlari kesana kemari juga tidak memiliki bayangan, apalagi kakak dan adik laki-lakinya. Hanya Lara kecil yang berteman bayangan kemanapun ia berjalan. Sebenarnya, dulu masing-masing di antara mereka punya bayangan, tapi lama-lama menghilang. Atau berpindah, lebih tepatnya.
Baca juga: Parasit di Inang Muda
Ketika Lara kecil berusia sepuluh tahun, ibunya misuh-misuh sendiri begitu pemilik kontrakan datang dan menggedor-gedor pintu kontrakan lantas berteriak-teriak.
“Saya enggak lagi bersedekah, kalau nggak sanggup bayar, pindah!” hardik pemilik kontrakan.
Beberapa hari setelahnya, ibu menggerutu dan meracau, “Banyak sekali tanggungan kita, apalagi Lara setiap hari kerjanya cuma sekolah dan baca buku”.
Keadaan memang pelik. Saat itu, kakaknya Juang baru masuk SMP kelas VII, dan adiknya Sinar baru saja menginjak SD kelas I. Sementara, Lara masih bersekolah di kelas III. Lara sendiri adalah anak yang rajin dan pintar di sekolah. Hanya saja rajin dan pintar di sekolah tidak diperlukan di keluarga yang melarat. Ayah Lara pun semakin lama semakin misuh-misuh dan meneriaki ibu yang katanya tidak pandai mengatur uang.
“Ini rokok pun aku minta, tidak usah kau lirik-lirik itu. Uangku kau hambur-hamburkan untuk apa ini cuma ada lauk tempe dan telur saja setiap hari.”
Suatu sore, ibu memanggil Lara ke dapur untuk membantunya mencacah bawang.
Ia berkata, “Lara, kamu pintar di sekolah, tapi kamu lebih baik membantu ibu memasak dan berjualan di pasar. Untuk apa sekolah tinggi-tinggi. Biaya sekolahmu makin bertambah. Ya uang buku lah, ya ini lah, itu lah! Kita ini tidak kaya raya, Lara! Tidak usahlah kamu lanjut bersekolah lagi, biar kakak dan adikmu saja. Sudah habis pula uang kita,” kata Ibu Lara sambil mengiris cabe.
Lara yang sedang mencacah bawang hanya bisa menunduk dalam-dalam, menelan derai-derai air matanya. Esok harinya, bayangan ibu pelan-pelan memudar, dan menghilang sebelum akhirnya bayang-bayang itu berpindah pada Lara. Maka dengan berat hati dan berat pula langkah kaki, Lara pun menelan semua buku-buku sekolahnya, rok sekolahnya, bahkan tas nya pun tadinya ingin dilumatnya serta. Hanya saja ibu sudah menyambar tas sekolah Lara dan memberikannya pada Sinar.
“Untuk adikmu saja, masih bagus,” lanjutnya.
Baca juga: Gea dan Ranting Pohon Kemenyan
Lara kini memiliki dua bayangan. Bayangan itu mengikutinya ketika ia beranjak ke dapur untuk mengupas kentang, atau ketika dia menjajakan barang dagangan ke Pasar Kota Lama. Kakinya yang kecil semakin berat, tidak seimbang sekali dengan tubuh mungilnya yang menghilang di riuhnya pasar. Selesai bekerja, diam-diam Lara menyisihkan sebagian kecil uangnya untuk ia simpan, yang kadang-kadang ia gunakan untuk menyewa majalah kanak-kanak bekas. Kadang ia juga berjalan sambil membaca kertas bungkusan dagangannya. Ia seringkali menemukan hal-hal lucu; iklan lowongan pekerjaan, surat lamaran kerja, bekas fotokopi tugas kuliah, kertas fotokopi KTP, atau kertas surat tagihan pembayaran kartu kredit.
Tahun berlalu, suatu ketika, kakaknya Juang menemukan uang yang selama ia simpan di balik sepatu Lara yang solnya sudah lepas. Juang melihat Lara yang baru saja menyimpan uangnya di dalam sepatu di bawah lemari baju.
Juang kemudian mengambil sepatu itu paksa, mengambil seluruh uang tersebut dan memasukkannya ke kantong celananya dan memelototi Lara, “Awas jangan bilang sama ibu!, lagipula kamu masih kecil, belum butuh uang!”
Lara yang malang hanya bisa menenggelamkan kepalanya, menunduk pasrah sambil menelan kembali camuk di hatinya. Esok harinya, bayangan kakaknya itu memudar, dan kembali berpindah ke Lara, menambah berat langkah kaki mungilnya. Lara kecil harus menanggung dua buah bayangan lain kemanapun dirinya melangkah.
Suatu ketika, hati ayah sedang riang-riangnya. Ia menang main gaple tadi malam di pos ronda. Ayahnya menjanjikan akan membelikan Lara dan Sinar mainan baru di toko Bahagia. Sinar berlari berjungkat-jungkit sambil memegang tangan ayah, sementara Lara mengikuti di belakang bayangan mereka berdua. Sesampainya di toko, Lara melihat boneka barbie kecil seperti yang dimiliki tetangganya Riak, dan menunjuk-nunjuk boneka itu. Tapi ayah tidak melihatnya, karena Sinar tengah menarik tangan ayah untuk meraih mainan mobil polisi yang bersinar-sinar dan bisa mengeluarkan bunyi sirine.
Ayah kemudian berbicara dengan Asep, si penjaga toko untuk mengambilkan mainan mobil itu. Mata Sinar terang-benderang, memegangi mainannya erat-erat.
Melihat Sinar, ayah tersenyum dan mengelus kepala Sinar dengan lembut, sambil berkata, “Biar besok-besok kamu bisa jadi polisi ya, Nar. Biar banyak uangmu.”
Ayah kemudian berbalik dan melihat ke arah Lara, dan berkata kepada Asep, “Sep, apa saja yang murah kembalian dari mobil-mobilan tadi.”
Asep mengambilkan ayah sebuah sisir berwarna pink dari plastik dan tanpa basa-basi memberikannya kepada Lara. “Itu saja, toh sama saja itu boneka nanti rusak juga kamu tarik rambutnya. Sisir itu lebih berguna,” katanya sambil menggandeng tangan Sinar.
Lara mengambil sisir berwarna pink itu dan mendekapnya. Lara menunduk lama sembari menahan gigi geliginya yang gemetar menahan sesak. Bayangan Sinar seketika berpindah cepat tanpa sempat memudar terlebih dahulu, tanpa menunggu esok hari. Dengan sangat berat Lara menyeret kakinya pulang, di balik bayangan ayahnya, dan Sinar yang tidak lagi mempunyai bayangan.
Waktu berganti, dan Lara remaja baru saja selesai membasuh dirinya di kamar mandi dan berganti baju. Di depan ada tamu rupanya. Lara lamat-lamat mendengar suara ayahnya tertawa menggelegar, sambil memanggil-manggil Lara, “Lara….buat kopi cepat! Ada tamu penting jauh-jauh datang!”
Lara bergegas ke dapur dan menuang air dari termos. Perlahan dia mengaduk kopi untuk ayah dan tamu ayahnya itu. Lara mencari-cari nampan sambil mendengar riang gelegak suara tawa ayahnya, diiringi suara Juang yang sedang tidur-tiduran saja dan Sinar yang tengah sibuk bermain.
Lara membawa nampan dan menyuguhkan kopi kepada ayah dan tamunya. Ayahnya mendorongnya maju sedikit, “Ini lho yang namanya Lara, cantik kan dia. Pastilah cocok dengan seleramu itu,” liriknya pada Lara mengisyaratkan kalau Lara harus tersenyum di hadapan tamu itu.
Tamu itu menyeringai sedikit, sambil menyelipkan amplop ke tangan ayah yang pura-pura merasa sungkan. “Inilah Lara, jodohmu. Beruntung sekali kamu bertemu laki-laki yang murah hati seperti Kusno,” katanya kepada Lara.
Ia kembali menunduk, memandangi kakinya yang bayangan ayahnya yang begitu dekat. Bayangan ayahnya menghampiri tubuh mungilnya. Ayahnya kini juga telah kehilangan bayangannya.
Malam itu keluarganya makan besar hasil belanja uang amplop tamunya tadi. Senyum sumringah menghiasi wajah ibunya, ayahnya, kakak dan adik laki-lakinya. Mereka sibuk menari tralala-trilili. Dengan langkah ringan seperti udara tanpa bayangan bias cahaya.
Tiga hari, lima hari, keluarganya masih sibuk berpesta ria. Lara yang nelangsa menyeret langkahnya pergi dengan terseok-seok. Tidak ada yang menyadari kepergian Lara.
Lara memanggul seluruh bayangan keluarganya.
Ia selamanya berduka sendiri saja.
Ilustrasi: Karina Tungari