Lifestyle Travel & Leisure

Menelusuri Sejarah Kedai Kopi: Kenapa Dulu Perempuan Tidak Nongkrong di Kedai Kopi?

Kebiasaan nongkrong di kedai kopi ternyata sudah ada sejak ratusan tahun. Akrab dengan lelaki, tapi tidak buat perempuan.

Avatar
  • February 13, 2023
  • 9 min read
  • 1193 Views
Menelusuri Sejarah Kedai Kopi: Kenapa Dulu Perempuan Tidak Nongkrong di Kedai Kopi?

Tak ada yang lebih nikmat dibandingkan menyeruput secangkir kopi langsung di kedai kopi. Apalagi semenjak mulai menjamurnya kedai kopi, ritual menyeruput kopi rasanya jadi jauh lebih nikmat. Dengan ruang terpisah, non-smoking dan smoking area pengunjung bebas mencari tempat ternyamannya menikmati kopi.

Baca Juga:Petani Perempuan di Garda Depan Industri Kopi

 

 

Di dalam ruangan, orang-orang seperti aku yang punya asma mendapatkan surga barunya. Sebagai pecinta kopi, eksistensi kedai kopi memang semacam berkah tiada tara. Ketika sedang ingin Me Time, bekerja di lingkungan baru, atau nongkrong bersama teman, kedai kopi selalu jadi opsi pertama.

Tanpa harus pusing pindah tempat karena asap rokok, aku bisa berjam-jam duduk di ruangan tertutup full AC dan jauh dari kebisingan dunia luar. Yang ada hanya bau kopi yang menyeruak di seluruh penjuru kedai, alunan musik yang terdengar sayup-sayup, serta hiruk pikuk suara manusia yang tengah asyik berbincang.

Percaya atau tidak, hiruk-pikuk suara manusia di kedai kopi modern menjadi daya tarik tersendiri buatku, mungkin juga sebagian besar orang untuk terus mampir. Menyenangkan rasanya melihat bagaimana nafas hidup manusia sangat bergantung pada interaksi sosial antar sesama. Dalam kedai kopi semua manusia menyatu. Tanpa pandang bulu, identitas dan latar belakang individu, semua menyambung nafas lewat nongkrong asyik membahas banyak hal.

Kedai Kopi dan Budaya Nongkrong yang Sudah ada Ratusan Tahun Lalu

Kedai kopi boleh jadi memang baru booming beberapa tahun belakangan ini di Indonesia. Jumlahnya pada 2019 bahkan mencapai 2.937 gerai, naik tiga kali lipat dari 2016 menurut Toffin, platform bisnis kopi Indonesia. Tetapi nongkrong berjam-jam seraya menyeruput kopi dan berbincang banyak hal dari hal yang paling sepele hingga hal penting seperti politik, sudah jadi budaya yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu.

Dalam tulisan Cengiz Kırlı, profesor sejarah modern Turki yang diterbitkan Universitas Manchester, budaya nongkrong di kedai kopi bermula sejak masa kesultanan Ottoman. Pada tahun 1543, kopi untuk pertama kalinya mendarat di pelabuhan Istanbul, Turki. Berbagai sumber memberikan informasi mengenai pedagang dari Aleppo (Halep) dan Damaskus (Sam), yang mendirikan kedai kopi pertama, pada tahun 1555 di masa pemerintahan Sulaiman yang Agung.

Sejak saat itu, kopi dan kedai kopi mulai terkenal dan jadi bagian dari masyarakat kesultanan Ottoman. Catatan sejarah kontemporer menunjukkan bahwa hingga akhir abad keenam belas, sekitar 50 kedai kopi dibuka di Istanbul, dan jumlahnya meningkat secara dratis pada tahun-tahun berikutnya.

Pada paruh pertama abad ketujuh belas, terdapat sekitar 600 kedai kopi di Istanbul dan pada tahun 1790-an berdasarkan survei resmi tentang toko-toko dan tenaga kerja sebanyak 1.654 kedai kopi telah dibangun. Memenuhi jalan-jalan sempit di Istanbul, kira-kira satu dari setiap delapan toko, dan tiga kali lebih banyak dari toko kelontong di kota. Hal yang membuat Istanbul mendapatkan julukan “kedai kopi besar” oleh para pelancong Eropa.

Dalam membangun kedai kopi, kesultanan Ottoman tak hanya mempopulerkan biji kopi di lidah masyarakatnya tetapi juga mempopulerkan budaya nonkrong. Kedai kopi menjadi tempat masyarakat berkumpul. Menyediakan tempat baru untuk bersosialisasi yang sebelumnya dilakukan di tempat kerja, masjid, atau rumah.

Hal yang membuat budaya nongkrong menjadi revolusioner adalah di dalam kedai kopi, semua orang dipandang setara. Semua lapiran masyarakat tanpa peduli status sosialnya disambut hangat. Karenanya, kedai kopi pun jadi tempat pertukaran informasi penting dalam masyarakat kesultanan Ottoman kala itu. Memperluas ruang privat untuk memungkinkan banyak percakapan dan pengalaman sosial di lingkungan publik.

Di kedai kopi, masyarakat kelas bawah bisa mendapatkan pendidikan informal secara gratis. Mereka yang buta huruf atau memiliki kemampuan baca-tulis yang rendah dapat duduk bersama dengan orang-orang berpendidikan yang akan mengoceh panjang lebar tentang banyak hal. Hal yang hanya bisa didapat lewat buku atau pendidikan sekolah tradisional Islam seperti mektep (sekolah dasar) dan medres (sekolah menengah).

Selain jadi tempat edukasi, kedai kopi juga jadi tempat berita-berita terbaru serta desas-desus politik disebarkan. Dana Sajdi dalam penelitiannya Ottoman Tulips, Ottoman Coffee (2014), tanpa bentuk komunikasi modern dan terbatasnya akses berita cetak, kedai kopi memungkinkan warga untuk saling memberi kabar terbaru secara lisan tentang informasi-informasi penting ini. Tak heran menurut Sajdi, pembicaraan penting soal pergantian kabinet, skandal korupsi, dan kemungkinan dimulainya perang, hingga kudeta, dan aksi perlawanan politik lainnya juga direncanakan di kedai-kedai kopi ini.

(Sumber: Daily Sabah)

Budaya nonkrong di kedai kopi inilah yang akhirnya dibawa oleh para bangsa Eropa ke negara mereka masing-masing. Dalam tulisan Kırlı yang sama, penyebaran kopi dan kedai kopi ke Eropa adalah orang-orang Yunani dan Armenia merupakan mantan warga kesultanan Ottoman. Dari sinilah kedai kopi pertama dibuka di Oxford pada 1650 dan dua tahun kemudian di London oleh seorang pelayan Yunani.

Pada tahun 1660-an, kedai kopi pertama muncul di Amsterdam, dan orang-orang Armenia menerima lisensi untuk membuka kedai kopi di Paris pada tahun 1670-an. Menyusul di Wina pada tahun 1680-an. Dari pembangunan bertahap kedai kopi di Eropa akhirnya pada awal abad ke-18, kopi dikenal di mana-mana dan hampir tidak ada kota besar di seluruh Eropa yang tidak memiliki setidaknya satu kedai kopi dengan budaya nongkrong yang sama seperti kedai kopi Ottoman.

Sedangkan di Indonesia sendiri kedai kopi sudah ada sejak tahun 1878. Tepatnya pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Dalam tesis Melati Sosrowidjodjo yang dikutip oleh Kompas, kedai kopi ini didirikan oleh laki-laki etnis Cina bernama Liauw Tek Soen. Berlokasi di Molenvliet Oost Batavia yang sekarang menjadi Jl. Hayam Wuruk, Jakarta. Banyaknya orang Belanda yang tinggal di Batavia menjadi salah satu kemungkinan faktor didirikannya kedai kopi tersebut lengkap dengan budaya nongkrongnya.

Baca Juga: Dengan Kuas dan Kopi, Aji Yahuti Gambarkan Perjuangan Perempuan

Perempuan yang Dijauhkan

Jürgen Habermas, filsuf kenamaan Jerman dalam teori ruang publiknya menamakan kedai kedai kopi sebagai tempat sebagai tempat berkumpulnya para ‘ahli’ yang berhubungan langsung dengan kemunculan bentuk-bentuk sastra populer. Dalam kedai kopi, semua dipandang setara. Identitas dan latar belakang tak jadi masalah. Semua bebas masuk dan nongkrong sepuasnya.

Tetapi ternyata, kata “semua” di sini tidak bisa dimaknai secara harfiah. Sejalan dengan perkembangan dan popularitasnya, kedai kopi ternyata mengeksklusi perempuan. Bahkan sejak awal budaya nongkrong di kedai kopi diciptakan, hanya laki-lakilah yang dianggap pantas untuk bisa terlibat di dalamnya.

Dalam penelitian Dana yang sama dengan ruang resepsionis di kedai-kedai kopi mirip dengan ruang tamu di rumah dan buka hingga larut malam, kedai kopi sengaja dirancang untuk kenyamanan pengunjung laki-laki saja. Hal ini juga ditambah dengan jendela kedai kopi yang biasanya dibiarkan terbuka. Kesengajaan yang dilakukan berdasarkan referensi ajaran agama Islam tentang cara “bertatap” (menjaga pandangan) dan mengedepankan kesopanan atau modesty.

Dalam ajaran Islam ini, perempuan diposisikan sebagai sumber fitnah. Mereka tidak seharusnya berada dalam ruang publik dengan orang-orang terutama laki-laki dapat memandang mereka sepuasnya. Kehadiran mereka secara visual dianggap salah secara moral. Sehingga, eksklusi perempuan di kedai kopi pun tak bisa terhindarkan.

Hal yang kurang lebih sama juga terjadi di kedai-kedai kopi di Eropa terutama Inggris dan Perancis. Aylin Akyar, akademisi dari Universitas Central European dalam penelitiannya menuliskan kedai kopi sebenarnya mempromosikan sebuah demokrasi semu. Meskipun para pengunjung laki-laki sering mengomentari keterbukaan sosial dalam budaya nongkrong di kedai kopi, perempuan tetap tidak bisa masuk ke kedai-kedai kopi.  

Mereka secara tidak tertulis dilarang masuk karena masih melekatnya identitas perempuan dengan ruang domestik. Mereka diharapkan menjadi perempuan sejati. Perempuan sejati adalah perempuan yang betah di rumah. Sibuk melakukan pekerjaan domestik dan memerankan perannya sebagai ibu, istri, atau anak perempuan yang baik. Maka dari itu, perempuan terutama kelas menengah sebisa mungkin menghindari kedai kopi. Hal ini mereka lakukan agar mereka dianggap sebagai perempuan yang “tidak baik-baik” secara norma sosial.

Tak hanya itu, mengutip buku Ellis Markman tentang budaya kedai kopi, Akyar menambahkan perempuan yang terus menerus digambarkan terlibat dalam gosip membangun keyakinan kuat di masyarakat bahwa perempuan tidak sepintar laki-laki. Mereka tidak memiliki “akal sehat” untuk mempercayai informasi secara faktual.

Dengan keyakinan ini, perempuan secara halus diasingkan demi menjaga kedai kopi tetap murni sebagai ruang para intelektual (baca: laki-laki). Sehingga jika pun ada perempuan masuk ke kedai kopi, mereka tidak mungkin diundang untuk berpartisipasi dalam percakapan para pelanggan lain.

Untuk semakin mengeksklusi perempuan, interior kedai kopi pun kemudian dirancang sedemikian rupa sehingga para pelayan laki-laki akan berinteraksi dengan pelanggan lewat tatanan meja dan kursi yang dijajar berdempetan. Sementara, perempuan yang datang di kedai kopi harus duduk menyiapkan kopinya sendiri di tempat khusus yang berbentuk kios kecil. Terisolasi dan terabaikan dari segala percakapan dan interaksi yang ada.

(The Coffee-House Ideal, 1668. Sumber: Women, publicity and the coffee house myth oleh E. J. Clery dari Universitas Sussex)

Eksklusi perempuan di kedai kopi pun diperparah dengan budaya nongkrong yang sangat maskulin. Maskulinitas dalam budaya nongkrong di kedai kopi membuat perempuan lebih rentan mengalami pelecehan seksual. Dalam penelitian Women, publicity and the coffeehouse myth (2008) dituliskan ada seorang perempuan penjaga kedai kopi yang mengeluhkan perilaku dan ungkapan tidak pantas dan menghina dari para pengunjung laki-laki yang ia terima selama bekerja.

Keluhannya ia tulis dalam esai yang diterbitkan majalah mingguan Inggris The Spectator dan mendapatkan respons. Dalam hal ini The Spectator membujuk para pelanggan laki-laki dengan beberapa himbauan untuk memperbaiki sikap mereka terhadap perempuan di kedai kopi. The Spectator membuat standar baru dalam hal sikap dan hubungan seksual di depan umum, yang secara implisit membedakan laki-laki yang memiliki kehormatan dan akal sehat dengan seorang bangsawan kampungan yang tidak beradab.

Baca juga: Ada ‘Generasi Gula’ di Balik Menjamurnya Gerai Mixue

Namun sayangnya, standar baru ini tetap tidak membuahkan hasil apa-apa karena kedai kopi untuk waktu yang cukup lama tetap jadi ruang eksklusif laki-laki dengan perempuan sengaja diasingkan di dalamnya. Bahkan Émilie du Châtelet, filsuf perempuan Perancis konon dikabarkan menyamar sebagai laki-laki hanya untuk bisa masuk ke sebuah kedai kopi di Paris.

Beruntungnya, budaya yang mengeksklusi perempuan di kedai kopi mulai terkikis. Dikutip dari tulisan Kırlı dan Akyar, modernitas berjasa dalam meleburkan batasan ruang publik dan ruang privat di dalam masyarakat. Hal ini mendorong perempuan menjadi lebih leluasa terlibat dalam ruang publik dibandingkan ratusan tahun sebelumnya. Pada abad ke-19 partisipasi perempuan dalam kehidupan kedai kopi meningkat secara drastis.

Semakin banyak perempuan yang menjadi pemilik kedai kopi dan menjadi pelanggan. Hal yang kemudian disusul pada tahun 1980-an hingga 2000 kedai kopi modern mulai berkembang. Starbucks misalnya membuka toko pertama mereka pada tahun 1971 di Seattle, Amerika Serikat.

Berbeda dengan kedai kopi tradisional, kedai kopi modern menawarkan ruang inklusif yang tidak semu dan rentan pelecehan seksual. Dengan demikian, lewat kedai kopi modern perempuan pun akhirnya mulai menggunakan kedai-kedai kopi sebagai tempat bersosialisasi senyaman laki-laki sejak ratusan tahun yang lalu. 



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *