Lifestyle

Ada ‘Generasi Gula’ di Balik Menjamurnya Gerai Mixue

Gerai Mixue yang menjamur di mana-mana mengingatkan kita akan tingginya minat masyarakat terhadap minuman berpemanis.

Avatar
  • January 4, 2023
  • 6 min read
  • 6075 Views
Ada ‘Generasi Gula’ di Balik Menjamurnya Gerai Mixue

Belakangan ini, meme tentang banyaknya gerai Mixue di Indonesia menjadi topik yang dibicarakan di media sosial. Kebanyakan membahas Mixue–sebagai minuman kekinian–siap menginvasi ruko-ruko kosong lantaran gerainya mudah ditemukan di mana pun.

Di area tempat tinggal saya, misalnya, ada tiga gerai Mixue masing-masing berjarak kurang lebih dua kilometer. Ada yang di ruko maupun mal. Ternyata, sampai saat ini, tercatat perusahaan asal Cina itu telah membuka lebih dari 300 cabang di Indonesia. Padahal, Mixue baru membuka cabang pertamanya di Bandung pada 2020.

 

 

Masifnya pembukaan gerai Mixue menandakan tingginya keinginan dan tingkat konsumsi masyarakat, terhadap produk tersebut. Lagi pula, bagaimana brand ini enggak jadi favorit, kalau konsumen bisa mendapatkan es krim dan teh seharga delapan hingga Rp25 ribu?

Fenomena ini mengingatkan kita dengan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) kekinian lainnya yang tak kalah laris, seperti boba. Sebenarnya jenis minuman itu sudah ada di Indonesia sejak 2000-an, dipopulerkan oleh Hop Hop Bubble Drink dan Quickly. Kemudian, semakin diminati pada 2019 ketika sejumlah brand–seperti Tiger Sugar dan Xing Fu Tang, membuka cabang di pusat perbelanjaan.

Sebagai salah satu konsumen MBDK, “Asti”–bukan nama sebenarnya, menyatakan alasannya membeli minuman tersebut.

“Kepo aja sama rasanya. Kebetulan memang suka nyobain sesuatu yang baru,” kata Asti. “Tapi memang sejak sekolah dasar (SD) suka beli Pop Ice di kantin (sekolah). Pas kuliah jajannya es teh susu. Kalau ke mal beli Chatime, karena suka aja sama rasanya.”

Setidaknya seminggu sekali, Asti membeli MBDK. Pada bulan lalu, ia mengeluarkan Rp150 ribu untuk membeli minuman, yang dibanderol harga di atas Rp35 ribu. Namun, belakangan seleranya bergeser pada minuman yang lebih segar, seperti lemonade, teh hibiscus, markisa, dan stroberi.

Asti merupakan satu dari banyaknya generasi muda yang mengonsumsi MBDK kekinian. Riset Dinamika Aspek Kesehatan dan Ekonomi dalam Kebijakan Pengendalian Minuman Berkarbonasi di Indonesia (2018) menunjukkan, usia 13-18 tahun merupakan kelompok yang paling tinggi mengonsumsi minuman berkarbonasi. Peneliti Zeni Mutaqin menjelaskan, MBDK itu terbagi ke dalam beberapa jenis; minuman ringan, jus, kopi dan teh, serta minuman berenergi.

Hal itu sekaligus menunjukkan meningkatnya konsumsi gula. Data dari Czapp–situs web dan aplikasi penyedia intelijen pasar global, menunjukkan konsumsi gula di Indonesia meningkat 40 persen. Peningkatan itu terjadi selama satu dekade, terhitung sejak 2010.

Secara demografi, area urban mendominasi konsumsi gula. Sebab, warga di perkotaan memiliki akses lebih besar ke kafe, bar, restoran, bioskop, dan gerai-gerai MBDK kekinian.

Namun, mengapa masyarakat Indonesia senang mengonsumsi MBDK?

Baca Juga: Detoks Gula dan Diet Karbo Enggak Perlu Asal…

Orang Indonesia dan Relasinya dengan Gula

Selain dalam MBDK, makanan hingga saus botolan juga mengandung gula. Ini menunjukkan, gula memiliki peran penting di kalangan masyarakat Indonesia.

Realitas tersebut tentunya tidak terjadi tanpa sebab. Masyarakat Jawa dikenal cenderung menyukai makanan manis. Terlihat dari makanan tradisionalnya yang mengandung gula aren. Sebut saja gudeg, klepon, dodol, cendol, dan dawet.

Sementara secara historis, peneliti G. Roger Knight dalam The sugar industry of colonial Java and its global trajectory (2000) menyebutkan, Jawa merupakan produsen dan pengekspor gula tebu terbesar kedua di dunia setelah Kuba. Ini terjadi sekitar 1870-an sampai periode interwar depression. Kemudian, pada abad ke-19, Jawa memimpin industrialisasi manufaktur gula di Asia.

Tak lupa adanya sistem tanam paksa oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC)–Perusahaan Hindia Timur Belanda. Sistem itu membuat penduduk desa bekerja di perkebunan milik pemerintah selama 60 hari dalam setahun. Atau mereka harus membagi 20 persen tanahnya untuk penanaman ekspor.

Kemudian, pada 2020 Indonesia menduduki peringkat ke-27 dalam daftar pengekspor gula terbesar di dunia, dengan nilai 315 juta dolar Amerika Serikat (AS)–setara empat miliar rupiah. Namun, di saat bersamaan, Indonesia juga menjadi pengimpor gula terbesar ketiga di dunia. Yakni senilai 1,9 miliar dolar AS, atau 27 miliar rupiah.

Besarnya nilai impor didukung oleh besarnya kebutuhan gula konsumsi secara nasional. Badan Pangan Nasional mencatat, kebutuhan itu mencapai 3,2 juta ton setiap tahun, yang 2,2 juta tonnya terpenuhi oleh produksi dalam negeri.

Baca Juga: Benarkah Orang Kurus Pasti Selalu Lebih Sehat?

Hal itu menjelaskan mengapa gula menjadi bagian besar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Salah satunya dalam MBDK, yang menjadi pilihan untuk dikonsumsi. Pada 2018, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) mencatat, 30,2 persen responden mengonsumsi minuman manis sebanyak satu sampai enam kali seminggu. Bahkan, 61,3 persen responden dapat mengonsumsinya lebih dari satu kali setiap harinya.

Kondisi ini sebenarnya perlu dikhawatirkan, sebagaimana diketahui dampak negatif dari mengonsumsi gula secara berlebihan terhadap kesehatan. Di antaranya kenaikan berat badan, diabetes, inflamasi, perlemakan hati, penyakit Alzheimer, dan tekanan darah tinggi.

Jumlah penderita diabetes sendiri meningkat pesat pada 2021, seperti dilaporkan International Diabetes Federation (IDF). Menurut IDF, peningkatannya selama 10 tahun sebesar 167 persen, yakni sejumlah 19,5 juta kasus diabetes. Sementara pada 2045, IDF memprediksi kasus diabetes di Indonesia mencapai 28,57 juta kasus.

Data itu sesungguhnya dapat menjadi refleksi, sekaligus pencegahan untuk menekan kasus diabetes.  Pasalnya, segelas brown sugar milk tea saja mengandung kurang lebih 18 sendok teh gula. Sementara Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Indonesia No. 30 Tahun 2013 menganjurkan, setiap orang sebaiknya mengonsumsi gula sebanyak 50 gram–setara empat sendok makan, per hari.

Permenkes tersebut sekaligus mengatur pencantuman informasi kandungan gula, garam, dan lemak untuk pangan olahan dan siap saji. Namun, bagaimana dengan pengaturan batas konsumsi MBDK?

Pentingnya Keterlibatan Pemerintah

Tak dimungkiri, pemerintah memiliki peran untuk mengontrol konsumsi MBDK. Pasalnya, berdasarkan laporan Center for Health Policy and Management (CHPM), Tackling High Consumption of Sugar Sweetened Beverages (SSB) in Indonesia (2020), Indonesia menduduki peringkat ketiga negara di Asia Tenggara, yang mengonsumsi MBDK.

Situasi ini didukung oleh kurangnya regulasi pemerintah, dalam mengontrol ketersediaan, keterjangkauan, aksesibilitas, serta campur tangan industri dan pemasaran MBDK.

Selaku konsumen MBDK yang memperhatikan kesehatan, Asti menyiasati konsumsi gulanya dengan memesan half atau less sugar. Hal serupa juga dilakukan Gilang setiap membeli es kopi susu. “Kalau beli (es kopi susu) gue minta less sugar. Atau biasanya gue ngebatasin diri dengan bikin es kopi susu sendiri,” ujar Gilang.

Baca Juga: Apa itu ‘Mindful Consumption’: Agar Tentram Lahir Batin Saat Belanja

“Seminggu bisa bikin empat sampai lima kali, takaran gulanya cukup dua sendok teh brown sugar,” imbuh pekerja di rumah produksi itu. Sementara untuk minuman kemasan, Gilang beralih ke less atau zero sugar.

Sayangnya, opsi half, less, atau zero sugar belum cukup mencegah dampak negatif dari konsumsi gula. Sebab, tidak semua brand MBDK menawarkannya. Karena itu, untuk mengurangi risiko penyakit disebabkan oleh konsumsi gula dalam MBDK, diperlukan langkah konkret pemerintah dalam mengatur batas konsumsinya.

Desember lalu, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 130/2022 tentang Rincian Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2023–yang ditandatangani November 2022–menetapkan penarikan cukai dan perpajakan. Salah satunya pada MBDK. Melansir Detik, pendapatan MBDK ditargetkan mencapai Rp3,8 triliun.

Dengan pemberlakuan cukai, harapannya konsumsi MBDK menurun sehingga risiko penyakit yang disebabkan konsumsi gula berlebihan juga berkurang. Seperti diterapkan di berbagai negara–salah satunya Meksiko pada 2014. Terbukti, pembelian MBDK menurun sebesar 6 persen di tahun pertama, dan 7,6 persen di tahun kedua kebijakan ditetapkan.

Meskipun penarikan cukai MBDK telah ditetapkan dalam Perpres, masyarakat tetap perlu mengawasi implementasinya yang direncanakan berjalan tahun ini. Kemungkinannya, produsen MBDK akan mengatur kembali resep minuman mereka dengan kandungan gula lebih rendah.

Pertanyaannya, bagaimana cukai itu dapat berjalan tanpa mengurangi pertumbuhan kinerja industri MBDK?



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *