Lifestyle Madge PCR

Senang ‘Stalking’ Gebetan, Romantis atau Obsesif?

Sebagian orang menganggap ‘stalking’ sebagai perilaku romantis. Apalagi hal itu diromantisasi di film-film Hollywood. Faktanya enggak begitu.

Avatar
  • January 20, 2023
  • 7 min read
  • 1438 Views
Senang ‘Stalking’ Gebetan, Romantis atau Obsesif?

Sebagian masa remaja saya habiskan untuk fangirling Robert Pattinson. Dulu, saya menganggap karakter Edward Cullen dalam Twilight (2008) begitu menarik. Sikapnya yang dingin, misterius, tapi protektif terhadap Bella Swan (Kristen Stewart) bikin jatuh hati. Apalagi, Cullen “senang” mengikuti Swan ke mana pun perempuan itu pergi.

Ia selalu memastikan Swan baik-baik saja, termasuk menyaksikan perempuan itu tertidur pulas. Cullen mengaku datang ke kamar Swan dan melakukan itu selama beberapa bulan terakhir. Katanya, ia senang melihat Swan tertidur.

 

 

Dulu, saya dan beberapa teman di sekolah menganggap perbuatan Cullen romantis. Pasalnya, dengan gamblang Cullen menunjukkan ketertarikannya terhadap Swan. Bahkan, berusaha ada di dekat pujaannya, kalau sewaktu-waktu Swan membutuhkan Cullen.

“Aku enggak bisa menjauh darimu lagi,” aku Cullen di sebuah adegan.

Namun, kalau dilihat lagi, hobi Cullen menguntit Swan adalah contoh nyata dari red flag berjalan, alias sosok berbahaya yang seharusnya dijauhkan, bukan romantis. Tingkah laku Cullen menunjukkan obsesi dan kontrolnya terhadap Swan. Ia egois, berusaha menyingkirkan segala ancaman yang dianggap membahayakan Swan. Ancaman yang dimaksud, termasuk laki-laki lain, seperti Jacob Black (Taylor Lautner).

Perilaku stalking seperti yang dilakukan Cullen-lah yang sebenarnya berbahaya. Selain mengganggu, aktivitas tersebut juga berkaitan dengan mengintimidasi, melecehkan, serta mengancam keselamatan dan keamanan korban. Bahkan, termasuk bagian dari hubungan abusif.

Baca Juga: Kekerasan dalam Relasi Romantis, Di Mana Jalan Keluar?

Kalau kamu belum familier, ada beberapa contoh tindakan yang termasuk stalking. Seperti mengikuti dan mengawasi korban, memonitor keberadaan korban, serta menghampiri korban di berbagai tempat. Kemudian terus-menerus menghubungi korban–lewat telepon, teks, dan media sosial, mengirimkan hadiah, dan meninggalkan barang-barang tertentu agar korban mengetahui keberadaannya.

Aksinya bisa berawal dari sesederhana mengetik nama korban ke mesin pencarian, untuk menemukan jejak digital. Lalu menghubungi korban via aplikasi pesan, atau mengikuti media sosial yang dengan mudah ditemukan. Tak dimungkiri, kehadiran media sosial semakin mempermudah stalking. Selain menemukan identitas korban, pelaku juga dapat mengetahui lokasi mereka lewat fitur geotags.

Ternyata, stalking berawal dari berbagai keyakinan yang dimiliki si penguntit. Dalam tulisannya di Psychology Today, psikolog klinis dan forensik Ahona Guha menyebutkan beberapa di antaranya. Misalnya stalker merasa berhak menjalin hubungan dengan orang yang dikejar, ketergantungan dengan suatu hubungan, dan memiliki attachment issues. Ada juga yang kesulitan mengelola emosi, meyakini seseorang begitu mencintainya–disebut erotomania, hingga menganggap stalking adalah sebagai perilaku romantis.

Lantas kalau berbahaya, mengapa stalking kerap dipandang romantis?

Stalking yang Diromantisasi dalam Film

Ketika sedang beraksi, stalker menganggap tindakannya perlu dilakukan. Tujuannya demi memenuhi obsesi memiliki dan mengendalikan korban, berdalih perbuatan romantis.  

Dalam film bergenre romantis, stalking sering ditampilkan sebagai perilaku tidak berbahaya. Bahkan, termasuk bentuk ekspresi kasih sayang, untuk merebut perhatian agar perasaannya diterima.

Film-film yang memiliki karakter demikian, umumnya memiliki formula. Menceritakan pria baik-baik yang maskulinitasnya tidak sesuai standar Hollywood, belum menemukan sosok cinta sejati. Kemudian, ia bertemu perempuan yang membuatnya tergila-gila. Dari situ, karakter pria mengerahkan segala cara untuk mendapatkan perempuan idamannya.

Salah satunya dalam The Notebook (2004). Pertemuan Noah Calhoun (Ryan Gosling) dan Allie Hamilton (Rachel McAdams) terjadi di karnival di Seabrook. Hamilton sedang menghabiskan musim panasnya di kota tersebut, sedangkan Calhoun adalah pekerja pabrik di Seabrook.

Karakter pria seperti Calhoun meyakini, perempuan yang baru ditemuinya adalah sosok “soulmate” atau “the one” dalam hidupnya. Karena itu, mereka tidak menerima penolakan sebagai jawaban–baik ajakan untuk berkencan, menyatakan perasaan, atau sesederhana meminta nomor ponsel. Dengan tekadnya, karakter pria dalam film romantis dipotret, sebagai sosok yang tidak mudah putus asa ketika mengejar “the one”.

Contohnya Calhoun. Di pertemuan pertamanya, ia rela naik ke atas bianglala, menghampiri Hamilton yang sedang menghabiskan waktu dengan temannya, hanya untuk mengutarakan sebuah kalimat. “Kamu mau nggak kencan denganku?,” kata Calhoun. Pertanyaan itu merupakan ajakan Calhoun yang kedua, setelah Hamilton menolaknya pada malam itu juga.

Agar ajakannya diterima, stalker melakukan berbagai cara. Mulai memata-matai mengganggu, hingga memanipulasi korban–sampai korban mau diajak berkencan. Sebenarnya, korban pun menyetujui ajakan pelaku, supaya mereka tidak mengganggu atau melakukan hal yang membahayakan. Lama-lama, diceritakan korban pun luluh dan membalas perasaan pelaku.

Hamilton menerima permintaan Calhoun supaya laki-laki itu tidak menjatuhkan diri dari bianglala. Sementara Lauren Scott (Reese Witherspoon)–dalam This Means War (2012)–mau berkencan dengan FDR Foster (Chris Pine), agar Foster tidak mengganggu pekerjaan Scott.

Kenyataannya, perlakuan Foster maupun Calhoun mencerminkan orang yang tidak memahami batasan dan privasi. Mereka menganggap korbannya hanya playing hard to get. Penguntit seperti Foster dan Calhoun gagal memahami, ketertarikan tidak memiliki makna yang sama dengan mencintai. Begitu pula dengan obsesi dan jatuh cinta.

Potret stalker yang demikian sebenarnya telah muncul dalam film Top Hat (1935). Pun tidak hanya berlaku di Hollywood, tetapi di film-film Eropa dan Bollywood.  Representasi dalam film tersebut yang kemudian memengaruhi persepsi sebagian orang terkait stalking. Apabila film menampilkan stalking sebagai perbuatan romantis, anggapannya enggak masalah jika hal yang sama dilakukan di realitas.

Baca Juga: Setop Percaya ‘Soulmate’ Ada dalam Hubungan Romantis

Namun, hal sebaliknya terjadi apabila stalker-nya perempuan. Dalam esai video Stalking for Love, penulis dan kritikus Jonathan McIntosh menyebutkan, karakter perempuan justru dipotret sebagai sosok yang kondisi mentalnya tidak stabil.

Contohnya serial Crazy Ex-Girlfriend (2015-2019). Menceritakan Rebecca Bunch (Rachel Bloom), yang pindah ke California, Amerika Serikat, demi balikan dengan mantan pacarnya. Salah satu teman Bunch pun menunjukkan raut wajah heran, ketika mendengar alasan kepindahan Bunch dari New York. Bahkan, judul serialnya seolah menampilkan perempuan yang memiliki masalah kesehatan mental.

Ketika film menggambarkan perempuan jatuh cinta dengan stalker-nya, laki-laki heteroseksual justru tidak tertarik. Ini menunjukkan adanya standar ganda. Bukan hanya di Hollywood, melainkan representasi di masyarakat.

Sebab, realitasnya lebih banyak perempuan yang menjadi korban stalking. Berkaca pada data dari National Intimate Partner and Sexual Violence Survey (NISVS) di Amerika Serikat, 58 persen perempuan merupakan korban stalking ketika mereka berusia di bawah 25 tahun. Sementara laki-laki sejumlah 49 persen.

Sayangnya, sampai artikel ini ditulis, belum ada data stalking di Indonesia yang dikategorikan berdasarkan gendernya. Namun, pada 2018 Komnas Perempuan melaporkan, tujuh persen cyberstalking terjadi pada perempuan. Lalu, bagaimana dampaknya bagi korban?

Dampak Stalking bagi Korban

Melacak dan mengikuti keberadaan korban, melayangkan ancaman, dan terus-menerus menghubungi, akan membuat korban merasa rentan dan tidak aman. Tentunya, perilaku tersebut memiliki dampak pada kondisi kesehatan mental korban.

Misalnya depresi dan post-traumatic stress disorder (PTSD), dengan gejala seperti sulit tidur dan menghindari lokasi tertentu. Kondisi itu dipicu ketika stalker muncul secara tiba-tiba, mengancam, atau berupaya melakukan kekerasan terhadap korban, keluarganya, dan hartanya.

Selain itu, korban stalking juga bisa mengalami stres, merasa cemas, dan gugup. Mereka dapat meyakini, pelaku tidak akan berhenti menguntit. Akibanya, korban merasa frustrasi, terisolasi, dan putus asa.

Namun, kalau kamu adalah korban stalking, bukan berarti tidak ada tindakan yang bisa dilakukan. Guha menyarankan beberapa di antaranya. Pertama, menyebutkan perbuatan itu untuk diri sendiri. Ini menjadi langkah awal sampai kamu menyadari, ada orang lain yang mengganggu secar terus-menerus, dan mengenalinya sebagai stalking.

Baca Juga: Jaga Hubungan Baik sama Mantan Pacar, Perlu Enggak Ya?

“Orang sering mengabaikan tindakan ini karena dianggap rasional,” tulis Guha. Padahal, mengabaikan justru tidak mengurangi terjadinya stalking.

Kedua, meminta pelaku menghentikan perbuatannya. Upaya ini merupakan kunci, lantaran pelaku harus mengerti perilakunya tidak diinginkan. Contohnya dengan mengatakan, kamu merasa perbuatannya mengganggu dan membahayakan, dan tidak ingin dihubungi maupun diikuti lagi.

Ketiga, hentikan berhubungan dengan pelaku dan catat tindakannya. Umumnya, penguntit menganggap bentuk komunikasi apa pun adalah suatu perhatian–sekalipun maksudnya negatif. Karena itu, sebaiknya kamu memutus komunikasi dalam bentuk apa pun, dan kumpulkan barang bukti–misalnya screenshot, teks, dan telepon–apabila diperlukan.

Keempat, mencari bantuan dan mempersiapkan diri untuk menindaklanjuti perbuatan pelaku. Kamu perlu melakukan ini, ketika pelaku masih menguntit. Ceritakan permasalahanmu ke orang-orang terdekat, psikolog, atau layanan bantuan kekerasan untuk mendapat perlindungan dan pendampingan.



#waveforequality


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *