Issues

Viral Dijual Pembalut ‘Reject’, Bukti ‘Period Poverty’ Masih Menghantui

Pembalut curah ‘reject’ yang marak dijual di ‘e-commerce’, menjadi penanda para perempuan masih kesulitan mengakses sanitasi saat menstruasi (period poverty).

Avatar
  • October 19, 2023
  • 10 min read
  • 1385 Views
Viral Dijual Pembalut ‘Reject’, Bukti ‘Period Poverty’ Masih Menghantui

Belakangan media sosial X (Twitter) dihebohkan dengan unggahan warganet tentang pembalut reject yang dijual bebas di e-commerce Indonesia. Dengan tampilan yang sudah penuh bercak merah atau biru tua, pembalut reject ini dibanderol seharga Rp16.000 hingga Rp25.000 satu pak atau per 100 lembar.

Unggahan ini sontak jadi perbincangan panas. Tidak sedikit yang mempertanyakan, kenapa ada orang yang rela beli pembalut reject, padahal yang baru bisa dibeli dengan harga terjangkau. Ada juga yang mengatakan bahaya kesehatan yang mengintai kalau kita memakai pembalut reject.

 

 

Seperti yang dibilang Muhammad Fadli, dokter spesialis obstetri dan ginekologi di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta yang diwawancarai oleh CNN Indonesia. Menurutnya, pembalut reject bisa mengakibatkan iritasi, gatal-gatal, dan ruam di area vagina. Kalau dibiarkan, kondisi ini bisa mengakibatkan infeksi.

Alih-alih menggunakan pembalut reject, Fadli seperti warganet lainnya, menyarankan individu yang menstruasi untuk menggunakan produk menstruasi yang aman, seperti tampon atau pembalut yang bisa digunakan berulang.

“Lebih ekonomis dan rata-rata jarang menyebabkan iritasi,” kata Fadli pada CNN Indonesia.

Baca Juga: Pengalamanku Memakai Pembalut Kain dan Melepaskan Diri dari Tabu Menstruasi

Tidak Semua Bisa Mengakses Pembalut

Memberikan solusi untuk menggunakan pembalut yang aman memang mudah. Apalagi buat kita yang tinggal di kota di mana harga satuan pembalut aman dan murah minimal cuma Rp3000. Sayangnya kemudahan mendapatkan pembalut aman dan murah ini tidak bisa dicicipi semua individu yang menstruasi di seluruh Indonesia.

Mariana Yunita, biasa dipanggil Tata, pendiri Tenggara Youth Community, organisasi yang memberikan pendidikan tentang hak-hak kesehatan seksual dan reproduksi bagi anak-anak dan remaja berbasis di Kupang, Nusa Tenggara Timur angkat suara. Dihubungi oleh Magdalene, Tata mengatakan akses pembalut sampai saat ini masih belum merata terutama di wilayah Timur Indonesia.

Buat keluarga yang berpenghasilan kurang dari Rp50.000 sehari yang jumlahnya cukup banyak di wilayah Timur Indonesia, pembalut sering kali tidak masuk dalam kebutuhan pokok. Ada kebutuhan pokok sehari-hari yang lebih mendesak harus dipenuhi oleh keluarga berpenghasilan rendah, seperti nasi dan lauk pauk dibandingkan membeli pembalut yang misalnya hanya dipakai buat satu atau dua anggota keluarga saja.

Sekali pun berpenghasilan di atas Rp50.000, tidak semua individu yang menstruasi juga bisa dengan mudah membeli pembalut. Ini lantaran jarak kios dari rumah penduduk sangat jauh. Kondisi ini sangat berbanding terbalik di Pulau Jawa. Alhasil, banyak individu yang menstruasi yang Tata temui berakhir memakai alat tampung menstruasi seadanya. Ini mulai dari kain, kardus, hingga koran bekas.

“Kios itu jauh dari rumah ke rumah. Ada yang sampai berkilo-kilo jaraknya. Pas turun ke pasar baru bisa beli, tapi ya balik lagi kebutuhan untuk beli ikan, beras, gula lebih utama. Makanya pakai kain, kardus, atau koran itu bisa dibilang cara adaptasi mereka di tengah keterhimpitan ini,” kata Tata.

Tak jauh beda dengan pengalaman Tata di lapangan, Westiani Agustina, pendiri Biyung Indonesia, organisasi swadaya masyarakat yang berfokus pada isu perempuan dan lingkungan bercerita kesulitan individu yang menstruasi dalam mengakses pembalut. Ketika ia pergi ke Papua, harga pembalut bisa dua kali lipat dari harga yang dijual di Pulau Jawa.

Jika harganya sama dengan yang dijual di pulau Jawa, kebanyakan pembalut yang tersedia adalah pembalut “kadaluarsa” atau pembalut yang tanggal produksinya sudah terpaut lama. Pembalut kadaluarsa ini tentu menyimpan efek buruk pada kesehatan. Dalam pengalaman Ani turun ke lapangan, pemakaian pembalut kadaluarsa ini bisa menyebabkan iritasi dan ruam. Ironisnya, tak perlu jauh ke Timur, pembalut kadaluarsa ini bahkan ia temui di Jakarta.

“Kami pernah datang ke salah satu panti disabilitas di Jakarta Timur, di situ pengurus pantinya sampai nangis pas kami datang memberikan pembalut kain. Selama ini pembalut yang dikirimkan ke mereka adalah pembalut ‘expired’. Pembalut yang dalam pengamatan kami kualitasnya dipertanyakan, produksinya lama atau reject, dan sudah mengalami kebocoran pengepakan sehingga terkontaminasi,” kata Ani.

Indonesia Darurat Period Poverty

Sulitnya akses pembalut yang masih dialami individu menstruasi, juga diperparah dengan akses sanitasi buruk dan stigma serta tabu menstruasi yang masih mengakar kuat. Tata mengatakan, di wilayah Timur akses sanitasi layak jumlahnya masih minim dan air bersih masih terbatas. Pernyataan Tata diperkuat oleh data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2020 dan temuan riset yang diterbitkan Australasian Journal of Regional Studies (2020).

Berdasarkan data BPS, akses publik terhadap fasilitas sanitasi yang layak dan aman berjumlah 79,53 persen. Sayangnya, persentase sanitasi aman berjumlah kurang dari 10 persen.

Sementara, berdasarkan temuan riset Australasian Journal of Regional Studies, masih banyak penduduk Kabupaten Timor Tengah Selatan di Nusa Tenggara Timur harus menempuh jarak sepanjang enam sampai 10 kilometer untuk membeli air bersih seharga Rp2000 per jerigen berisi 20 liter. Pada 2021, harganya mencapai Rp2500 per 20 liter.

Keterbatasan akses sanitasi juga air bersih ini, berpengaruh pada skala prioritas pemakaian air bersih di level keluarga. Kebutuhan menstruasi mau tak mau harus dikesampingkan. Akibatnya, banyak anak perempuan yang bolos sekolah saat menstruasi. Beberapa dari mereka menyiasati darah menstruasi dengan memakai pembalut dari koran atau kardus bekas.

“(Anak perempuan yang) bolos banyak, di pedesaan mereka bawa jerigen air karena sanitasi di sekolah tidak baik. Mereka tidak mengganti pembalut di sekolah karena toilet bau, tidak ada air. Kalau bawa air pun ujungnya tidak penuh karena perjalanannya jauh, jadi ya banyak yang memilih absen sekolah kalau menstruasi. Selain itu, karena minim akses air bersih koran atau kardus bekas jadi pilihan yang praktis. Tanpa air mereka bisa langsung diangkat dan dibuang,” kata Tata.

Keterbatasan akses pembalut yang disusul oleh akses sanitasi dan air bersih layak ini adalah bagian dari potret period poverty atau kemiskinan menstruasi. Kemiskinan menstruasi dikutip dari Medical News Today adalah situasi kurangnya akses terhadap produk menstruasi, pendidikan, fasilitas kebersihan, pengelolaan limbah, atau kombinasi dari semua hal tersebut.

Kemiskinan menstruasi adalah masalah global karena menurut penelitian BMC Women’s Health (2021) memengaruhi sekitar 500 juta orang di seluruh dunia. Kemiskinan menstruasi menyebabkan tantangan fisik, mental, dan emosional. Sementara, akarnya stigma atau tabu terkait menstruasi.

Stigma atau tabu menstruasi ini bisa dilihat dari iklan-iklan pembalut. Dalam penelitian Konstruksi Wacana dan Komodifikasi Menstruasi dalam Iklan Pembalut di Indonesia (2018), dijelaskan warna biru dipilih untuk menggambarkan darah menstruasi karena dianggap menimbulkan kesan steril dan mengeliminasi kesan kotor dan rasa jijik yang timbul akibat darah menstruasi.

Metafora ini kemudian diperkuat dengan kecenderungan iklan-iklan pembalut yang menggambarkan perempuan yang sedang menstruasi, merasakan takut dan khawatir berlebihan. Penulis Baidhowi menerangkan, cara ini sengaja dilakukan perusahaan-perusahaan pembalut untuk membidik ketakutan dan rasa malu.

Jadi walaupun secara kasat mata iklan pembalut seolah memberikan penyadaran publik soal menstruasi, nyatanya representasi yang muncul cenderung negatif. Baidhowi bahkan bilang, iklan-iklan ini bahkan malah semakin memperkuat perspektif “menstruasi dapat mengancam kesempurnaan perempuan dan tatanan sosial yang bebas dari hal-hal bersifat kotor dan tak terkendali”. Kesempurnaan inilah yang dapat diselamatkan melalui pembelian dan penggunaan produk pembalut tertentu, yang mampu menyembunyikan menstruasi.

Ani yang mengampanyekan hak menstruasi sehat menambahkan, penggambaran bahwa darah menstruasi kotor juga diperparah dengan monopoli industri pembalut, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat. Mereka menempatkan menstruasi bukan sebagai bagian dari pemenuhan hak kesehatan. Sebaliknya menstruasi dikategorikan sebagai kebersihan atau personal hygiene.

“Lihat saja kita punya peringatan Menstrual Hygiene Day. Pendekatan pemerintah dan NGO terkait isu menstruasi juga selalu pada penekanan MKM atau Manajemen Kebersihan Menstruasi. Kebersihan ini selalu ditekankan. Menstruasi kotor maka pembalut adalah pembersih, bukan produk kesehatan yang jadi bagian proses alamiah individu menstruasi,” kata Ani.

Tak kalah penting, praktik-praktik sosial juga berperan besar dalam membingkai dan melanggengkan tabu menstruasi. Dijelaskan dalam penelitian Mitos Menstruasi: Konstruksi Budaya Atas Realitas Gender (2012) di banyak masyarakat ada larangan bagi perempuan untuk melakukan pekerjaan atau masuk ke area publik tertentu ketika menstruasi.

Di Bali misalnya, perempuan tidak boleh memasuki hutan karena hutan dianggap suci. Hubungan menstruasi dengan polusi, kotor pun dibangun. Perempuan pun dibingkai sebagai seseorang yang dapat merusak kesuburan dan mengganggu kesucian. Klaim yang sama juga didapat dari Tata yang sering mengunjungi daerah pedalaman dan pedesaan Timur Indonesia.

“Di desa pedalaman, perempuan yang haid tidak boleh keluar. Disuruh di rumah aja karena dianggap beresiko. Jadinya perempuan diputus aksesnya dalam melakukan kegiatan di ruang publik,” kata Tata.

Baca Juga: Hari-hari Menyakitkan Sebelum Menstruasi itu Ternyata Bernama ‘Premenstrual Dysphoric Disorder’

Pelibatan Laki-laki jadi Hal Penting

Pada suatu hari, guru laki-laki didatangi oleh siswa SMP. Siswa itu menangis panik karena darah haid pertamanya mengucur deras. Melihat siswanya menangis, guru laki-laki kebingungan. Ia tidak tahu harus mengatakan apa pada anak didiknya itu.

Buatnya, laki-laki tidak seharusnya membincangkan menstruasi lantaran itu persoalan perempuan. Ia lalu menyuruh anak didiknya yang masih dalam keadaan menangis pergi ke guru Bimbingan Kesiswaan atau BK. Pikirnya guru BK yang kebetulan perempuan bisa melakukan pendekatan yang lebih baik kepada siswa itu terkait menstruasi.

Di atas adalah sepenggal cerita yang diungkapkan Tata pasca-survei terkait pengetahuan reproduksi di sekolah-sekolah pada 2017. Melihat bagaimana laki-laki masih enggan terlibat dalam perbincangan soal menstruasi membuatnya cukup sedih. Stigma dan tabu menstruasi begitu mengakar sampai laki-laki menganggap menstruasi adalah permasalahan eksklusif yang boleh dibicarakan dan ditangani oleh perempuan.

Para ayah atau orang dewasa laki-laki jadi tidak menyadari kebutuhan istri atau anak-anak perempuan mereka terhadap pembalut. Di Uganda permasalahan ini berujung pada kekerasan berbasis gender yang serius. Dikutip dari organisasi Ending Poverty Together, pengabaian keikutsertaan laki-laki dalam isu menstruasi membuat remaja perempuan rentan mengalami kehamilan tidak direncanakan.

“Tiga anak perempuan saya hamil,” kata Aida, ibu yang diwawancarai organisasi ini. Aida menemukan anak-anak perempuannya menukar seks dengan pembalut. Praktik ini bukan hal yang aneh bagi anak-anak perempuan di komunitasnya karena para ayah dan laki-laki yang dalam komunitas ini dianggap sebagai kepala keluarga tidak menyediakan kebutuhan dasar berupa pembalut anak-anak perempuan dan istri mereka.

Dengan permasalahan inilah, imbuh Tata, penglibatan laki-laki dalam isu menstruasi menjadi penting. Laki-laki harus paham, menstruasi adalah proses alamiah individu yang memiliki rahim, sehingga pengadaan kebutuhan dasar seperti pembalut, akses air bersih, dan sanitasi menjadi tanggung jawab bersama.

“Laki-laki yang masih punya peran dominan di masyarakat bisa memastikan apakah di rumah, kantor-kantor pemerintah, puskesmas, air bersih dan pembalut itu sudah cukup atau belum,” kata Tata.

Selain itu, menurut Ani penglibatan laki-laki dalam isu menstruasi juga dapat mengurangi beban berlapis perempuan. Kata Ani, perempuan di Indonesia masih terjebak dalam tuntuan penghidupan dan peran sosial mereka. Perempuan harus bekerja di ruang publik tapi di saat bersamaan juga harus mengerjakan pekerjaan domestik tanpa dibantu pihak laki-laki. Beban ini membuat hak menstruasi sehat perempuan tidak bisa terpenuhi dengan baik. Karena itu dengan pelibatan laki-laki dalam isu menstruasi, beban ini menurut Ani setidaknya bisa dibagi.

“Kalau laki-laki sudah paham bahwa ini masalah bersama. Perempuan enggak harus lagi mengerjakan semuanya sendiri karena ada pembagian kerja. Pengalaman menstruasi perempuan divalidasi jadi keluarga juga akan mendukung perempuan beristirahat, menyediakan pembalut, ngasih ruang perempuan untuk edukasi,” kata Ani.

Baca Juga: Menstruasi Bukan Aib, Kenapa Laki-laki Malu Beli Pembalut?

Ani menambahkan, dukungan ini juga bisa terjadi dalam skala nasional. Hal ini lantaran kebijakan publik yang dimiliki Indonesia masih sangat maskulin dengan mementingkan kebutuhan laki-laki. Karena itu, jika laki-laki mulai sadar kalau menstruasi adalah isu bersama, kebijakan publik terkait akses pembalut, sanitasi, dan air bersih bisa lebih responsif gender.

Tapi sebelum semua ini terjadi, Ani menekankan edukasi dalam menghapus stigma dan tabu menstruasi harus jadi langkah awalnya. Edukasi bisa berupa pendidikan seksualitas yang komprehensif. Ini pertama dilakukan dalam level terkecil, yaitu keluarga lalu bertahap ke level komunitas hingga nasional.

“Dengan membongkar tabu dan stigma menstruasi maka kebutuhan-kebutuhan lainnya akan datang. Tak hanya kebutuhan soal informasi, tetapi juga literasi, akses, hingga penciptaan ruang aman dan nyaman bagi individu yang menstruasi untuk membincangkan proses alami dalam tubuhnya,” tutup Ani.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.