Perjalanan ke Iran dan Perlawanan Perempuan Soal Hijab
Meningkatnya konservatisme agama di Indonesia membuat penulis khawatir perempuan akan kehilangan kebebasannya seperti yang terjadi di Iran.
Sebuah artikel baru-baru ini tentang seorang aktivis yang memperjuangkan gerakan lepas hijab di Iran mengingatkan saya akan perjalanan solo saya ke negara Persia tersebut beberapa waktu lalu.
Saat itu, setelah menghabiskan satu hari di Teheran, saya berpindah kota ke Shiraz untuk mengunjungi Persepolis dan Masjid Naser al-Mulk menggunakan kereta Polour Sabz. Saat saya memasuki kompartemen, sudah ada perempuan dan laki-laki duduk berdampingan yang tampak seperti pasangan suami istri. Saya duduk di seberang mereka dan mengucapkan salam dalam bahasa Inggris. Namun mereka merespon dengan senyum kebingungan dan kepala menggeleng.
Seperti banyak warga Iran, pasangan tersebut tidak bisa berbicara bahasa Inggris, tapi bukan berarti mereka tidak kehilangan akal untuk berkomunikasi dengan saya. Sang perempuan mengetikkan sesuatu di ponselnya dan menyodorkannya ke saya. Layar ponsel memperlihatkan laman Google Translate. “Aku Mina, dia Syiar. Kami sudah menikah”. Saya tertawa, dan memberikan tanda “OK”. Saya pun memberitahukan nama dan asal saya kepada mereka dengan cara yang sama.
Percakapan menggunakan Google Translate mengalir lancar sampai suatu waktu Mina menunjukkan kalimat, “Kamu bisa lepas hijabmu sekarang”. Saya kebingungan. Apakah saya menunjukkan gerak gerik tidak nyaman dengan hijab saya? Saat melihat Mina, saya menyadari bahwa rambutnya sudah tidak tertutup hijab lagi. Rambutnya yang dicat coklat terang bebas tergerai, membuat saya terperangah.
“Apakah kamu tidak ingin memakai hijab?” ketik saya.
“Tidak. Aku tidak mau. Rata-rata teman dan keluargaku juga tidak mau.”
“Kenapa? Kamu benci memakai hijab?” ketik saya lagi.
Mina membalas, “Aku tidak membenci hijab, aku hanya membenci pemaksaan untuk memakai hijab. Sebelum revolusi, perempuan dibebaskan dalam berpakaian. Kami diperbolehkan bersepeda. Kami dibebaskan untuk memilih karier. Perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki, dulu. Ibuku masih mencicipi kebebasan tersebut.”
Mina melanjutkan ketikannya.
“Dan sekarang, Pemerintah bahkan mengatur cara kami berpakaian. Kami diwajibkan memakai hijab, termasuk non-Muslim. Polisi moral mondar-mandir mengawasi cara kami berpakaian. Banyak perempuan yang ditangkap karena pakaian mereka tidak dianggap syar’i.”
Saya hanya mengangguk karena tidak berani berkomentar apa-apa. Melihat saya terdiam, Mina melanjutkan ketikannya. Ia memperlihatkan layar ponsel ke suaminya seakan-akan meminta persetujuan. Setelah suaminya mengangguk, ia menyerahkan ponselnya kembali.
“Saya melepaskan hijab ini di tempat umum sebagai bentuk perlawanan. Walaupun kecil-kecilan.” Saya menatap Mina sambil tersenyum dan ia membalas senyum saya. Suaminya juga tersenyum mengangguk, seakan-akan mengamini perjuangan istrinya tersebut. Saya pun memutuskan melepaskan hijab saya sebagai bentuk dukungan saya terhadap Mina.
“Good luck, Mina,” bisik saya.
Seperti Mina, banyak perempuan di Teheran yang hanya menutupi sebagian kecil rambutnya dengan hijab, bahkan terkadang seperti disampirkan asal-asalan. Hal yang serupa juga saya temui di kota Shiraz.
Saat itu saya sedang piknik bersama Farnaz, supir selama di Shiraz, di sekitar area parkir Persepolis yang rindang. Dari kejauhan saya melihat sebuah mobil yang dikendarai perempuan, yang membiarkan hijabnya terlepas dari rambutnya.
“Sekarang hal itu menjadi tren,” ucap Farnaz, yang melihat saya mengamati perempuan di balik kemudi tersebut. “Belasan tahun lalu para perempuan di Iran masih memakai hijab yang menutup rambut seluruhnya, bahkan banyak yang memakai chador. Sekarang kamu bisa melihat banyak perempuan di Iran hanya menutupi sebagian rambutnya dan memakai baju yang lebih modis. Mungkin beberapa tahun ke depan perempuan di Iran sama sekali tidak menggunakan hijab.”
“Apakah hal itu baik? Apakah kamu setuju dengan tren tersebut?” tanya saya.
“Aku tidak tahu,” Farnaz mengangkat bahunya. “Aku hanya berharap yang terbaik untuk kedua anak perempuanku. Jika memang perubahan ini mengarah ke hidup yang lebih baik untuk mereka, aku akan mendukungnya.”
Berbagai peristiwa di atas membuat saya sadar bahwa semangat akan gerakan perempuan melawan kebijakan yang diskriminatif sedang bergetar di Iran. Walaupun 53 persen perempuan Iran mendukung mandat pemakaian hijab, banyak perempuan dan juga laki-laki mulai berani dalam menunjukkan sikap dan suara akan paksaan berhijab. Tren menutupi sebagian rambut dengan hijab dan melepas hijab di tempat umum adalah contohnya. Akan tetapi, perjuangan ini bukan tanpa halangan dan batas. Saat petugas kereta datang memeriksa tiket, Mina langsung cepat-cepat memakai kembali hijabnya. Saat saya menulis artikel ini, perempuan di Iran masih ditangkap karena pakaiannya.
Terbatasnya gerak perempuan di Iran membuat banyak warganya mencuri kebebasan, baik saat berada di luar dan dalam negeri. Pemberontakan kecil seperti yang dilakukan Mina banyak dilakukan perempuan Iran di penjuru negeri seperti yang ditampilkan situs My Stealthy Freedom. Saat saya menaiki pesawat yang bertolak dari Teheran ke Kuala Lumpur, banyak perempuan langsung melepas kerudung dan memesan minuman beralkohol, barang yang masih bebas didapat di Iran sebelum revolusi 1979.
Tidak ada yang menyangka akan terjadi revolusi di Iran yang mengalihkan kekuasaan dari Dinasti Pahlavi ke tangan para Mullah. Peraturan yang semula sekuler berubah mengikuti pedoman Islam atau bedasarkan velayat e-faqih, dan banyak perombakan kebijakan yang memberikan efek pada perempuan. Pemaksaan hijab, penurunan batas usia pernikahan dari 18 tahun menjadi 9 tahun (selanjutnya direvisi menjadi 13 tahun), pembatasan karier, dan lain-lain. Setelaha revolusi ini, pendidikan perempuan di Iran maju pesat walau mereka tidak bisa memilih karier secara bebas, dan lebih banyak perempuan duduk di parlemen walau mereka tidak bisa menjadi presiden.
Saya pun mengaitkan keadaan di Iran dengan di Indonesia. Apakah berbagai masalah sosial yang terjadi di Indonesia bisa mengarahkan Indonesia ke jalan yang sama seperti Iran? Apakah Indonesia akan lebih makmur jika terjadi revolusi seperti di Iran?
Saya tidak tahu apa yang terbaik bagi Indonesia, tapi sebagai feminis, jelas saya berharap perempuan di Indonesia tidak mengalami hal yang dialami perempuan di Iran saat ini. Saya masih ingin merasakan kebebasan sekecil apa pun di Indonesia, yang terkadang tidak saya hargai sampai saya berkunjung ke negara lain.
Matilda J adalah queer-traveler yang sedang menghadapi depresi dan sedang (mencoba) menikmati hidup.