Gender & Sexuality Issues

Susahnya Jadi Aseksual di Tengah Warga yang Mendamba Romansa

Sempat mengira ada sesuatu yang salah, kini di usia 27 aku dengan bangga menerima diri sebagai aromatis aseksual.

Avatar
  • September 8, 2023
  • 7 min read
  • 1914 Views
Susahnya Jadi Aseksual di Tengah Warga yang Mendamba Romansa

Saat itu umurku 24 tahun. Ketika orang-orang di sekitar sudah bolak balik ganti pasangan, bahkan menikah dan punya anak, aku justru tak pernah pacaran. Beberapa orang memang berusaha nembak jadi kekasih. Beragam cara mereka lakukan untuk PDKT termasuk membelikan album idol group Jepang seharga ratusan ribu zaman Sekolah Menengah Atas (SMA).

Namun, perhatian-perhatian itu tak lantas membuatku tertarik dalam hubungan romansa. Aneh saja rasanya membayangkan diri bisa bermesra-mesraan dengan orang lain. Apalagi punya komitmen jangka panjang untuk mencintai satu orang sampai berhubungan seksual dengan mereka.

 

 

Awalnya ketidaktertarikan pada hubungan romansa tidak aku ambil pusing. Ini lantaran dari Sekolah Dasar (SD) hingga SMA, aku belajar di sekolah Islam dan orang tuaku rajin mendatangkan guru mengaji. Guru di sekolah dan guru ngaji selalu memperingatkan aku kalau pacaran itu dosa karena bisa menjerumuskan kita pada zina.

Namun semua mulai berubah ketika aku masuk kuliah dan jadi pekerja kantoran. Aku baru menyadari bagaimana semua orang sibuk jatuh cinta. Begitu banyak cerita dari teman yang menggambarkan betapa mendebarkannya punya gebetan baru, saling mencintai, dan memerhatikan. Beberapa juga menceritakan betapa menggairahkannya hubungan seks dengan pasangan.

Baca Juga: Mengenal Gray Seksual: Spektrum Aseksual yang Beririsan dengan Alloseksual

Titik Balik Menyadari Diri Berbeda

Mendengar keindahan cinta dari orang-orang sekitar, membuatku seperti alien yang tersesat di planet lain. Aku jadi berpikir, jangan-jangan memang ada yang salah dengan diriku layaknya barang rusak yang butuh diperbaiki. 

Pemikiran ini semakin kuat ketika teman melontarkan pertanyaan terkait Kim Seokjin dari BTS. “Min, lo pernah enggak sih ngebayangin pacaran sama Jin? Punya hubungan romantis intimate sama dia?”

Pertanyaannya cukup sederhana dan mungkin buat orang lain akan ditanggapi dengan santai. Tapi saat itu responsku cukup keras. Dengan suara tinggi, aku jijik pada bayangan punya hubungan romantis dan intim dengan Jin. Jujur, bahkan serasa ingin muntah.

Buatku, Jin tak lebih dari idola. Namun, buat banyak orang, sosok idola kerap dikhayalkan sebagai pasangan yang ingin dipacari atau nikahi. Tak heran banyak fanfiction ditulis dengan pairing pembaca dan idola alias reader x idol. Frasa bias is mine, XX (nama idol) marry me jadi guyonan biasa yang dilontarkan di budaya penggemar.

Pertanyaan temanku ternyata jadi titik balik. Terlebih, belajar di Kajian Gender Universitas Indonesia, membuatku tak lagi menganggap tabu seksualitas. Aku mulai memetakan pengalaman dan perasaanku soal cinta dan ketertarikan seksual. Dari situ aku sadar, seumur hidup tak pernah satu kali pun jatuh cinta. Cinta monyet saja tidak pernah apalagi punya gebetan. Aku juga tidak pernah punya tipe ideal. Sekeras apapun berpikir, aku tidak bisa membayangkan seseorang yang ingin aku kencani.  

Ketika menyebut seseorang menarik, yang kumaksud bukan tertarik secara romantis atau seksual. Aku semata-mata cuma ingin bilang kalau mereka menarik secara estetika. Lebih dari itu, sebanyak dan sesuka apapun aku dengan genre romansa, tak pernah satu kalipun terbesit niat memiliki hubungan romansa seperti pasangan-pasangan dalam buku dan film. 

Tidak adanya ketertarikan romantis dan seksual inilah yang bikin sadar, dari remaja hingga dewasa aku selalu menjaga jarak dengan seseorang yang sudah mulai mendekat. Rasanya tak nyaman. Ada beberapa yang berasumsi respons ini muncul karena aku punya trauma. Namun, bagaimana bisa trauma kalau jatuh cinta saja tidak pernah. 

Berusaha untuk merasionalisasi pengalaman dan perasaan itu, aku mulai mengeksplorasi seksualitas sampai akhirnya menemukan istilah aseksual. Terima kasih kepada buku Ace: What Asexuality Reveals About Desire, Society, and the Meaning of Sex (2020), yang membuka mataku saat itu. Lewat buku ini, aku merasakan lega dan untuk pertama kalinya mengakui perasaanku valid. Tidak ada yang salah dan tidak ada yang perlu aku perbaiki. 

Baca Juga: Queer Love: Bagaimana Mengetahui Orientasi Seksual Kita?

Membebaskan tapi Tetap Merasa Terpinggirkan

Aku enggak menyangka, label bisa begitu berharga sampai merasakannya sendiri. Sejak mengenal aseksualitas dan menerima kalau aku adalah aromantis aseksual (tidak atau sedikit sekali memiliki ketertarikan romantis dan seksual), aku merasa terbebaskan.

Dengan memahami sisi yang lain, aku seperti diberikan kesempatan langka untuk bisa lebih mencintai diri. Aku tak perlu lagi berpura-pura atau pusing menuruti standar-standar masyarakat kalau di usia 27 tahun harus sudah punya pasangan. Yang terpenting, aku tak perlu merasa malu mengungkapkan ke dunia kalau aku bahagia menjomblo and I don’t need anybody else to feel whole.

Sayangnya rasa lega dan kebebasan yang aku terima tidak serta merta membuatku lepas dari prasangka. Salah satu hal yang sampai saat ini cukup membuatku sedih adalah masih ada saja yang berusaha menginvalidasi perasaan dan pengalamanku.

Sebelum dan setelah melela sebagai aromantis aseksual, aku masih mendengar orang-orang disekitarku bahkan ally dan teman-teman queer bilang, mungkin yang aku rasakan cuma bagian dari fase saja. 

“Itu lo belum ketemu orang yang tepat aja.”

Lo belum ngebuka diri kali.”

Nyatanya komentar-komentar seperti ini tidak hanya dialami olehku, tapi banyak aseksual lainnya. Orang-orang bahkan punya istilah acephobia–sikap, perilaku, dan perasaan negatif terhadap aseksualitas atau orang yang mengidentifikasi sebagai bagian dari spektrum aseksual.

Melalui fobia ini, perasaan dan pengalaman dianggap tidak valid. Tidak normal jika kamu adalah aseksual. Hal ini tercermin dalam penelitian terbaru dari Just Like Us, badan amal untuk kaum muda LGBTIQA. Dalam survei terhadap 3.695 anak muda berusia 18 hingga 25 tahun, lebih dari seperempat (27 persen) orang dewasa muda aseksual ‘jarang’ atau ‘tidak pernah’ merasa menjadi bagian dari komunitas LGBTQIA. Tak hanya dewasa muda, perasaan tereksklusi dari komunitas queer sendiri juga dialami beberapa individu aseksual dewasa yang pernah diwawancarai oleh The Guardian Maret lalu.

Baca juga: Queer Love: Bisakah Kita Membelokkan Orang Jadi LGBT?

Dalam artikel berjudul Asexuality finding a place in Pride: ‘It’s OK to not be attracted to other people, Sydneysider Elyse McKenzie, 36, menceritakan komunitas queer tidak mengerti dirinya yang mengidentifikasi diri sebagai aseksual. Dia pernah diteriaki karena identitasnya sebagai aseksual dan eksistensinya tidak dibutuhkan dalam perayaan pride.

Pengalamanku, hasil survei Just Like Us, dan pengalaman McKenzie memang tidak terhindarkan. Angela Chen bilang pengalaman tidak mengenakkan yang hampir selalu dialami individu aseksual terjadi tidak lain karena compulsory sexuality yang mengakar di masyarakat. 

Compulsory sexuality didefinisikan sebagai gagasan, setiap orang normal adalah seksual. Tidak menginginkan seks (yang disetujui secara sosial) adalah tidak wajar dan salah, dan orang yang tidak peduli dengan seksualitas kehilangan pengalaman yang sangat penting dalam hidup mereka.

Compulsory sexuality membuat masyarakat percaya, setiap orang pasti punya hasrat dan ketertarikan seksual. Karena itu, menikah, punya hubungan romantis, bahkan kasual dianggap alamiah dimiliki dan diinginkan oleh manusia. Gagasan ini berbahaya karena tak hanya menginvalidasi perasaan dan pengalaman aseksual, tetapi juga secara bersamaan memberikan penghakiman.

Chen mencontohkannya lewat ketakutan masyarakat terhadap sexless population. Hal ini digembar-gemborkan dan disensasionalisasi media sebagai resesi seks. Dalam beberapa tahun belakang, media gemar memakai istilah resesi seks untuk menggarisbawahi kecenderungan orang muda zaman sekarang yang memutuskan menunda atau bahkan tidak berhubungan seks.

Media menggambarkan kecenderungan ini sebagai sesuatu yang salah dan akan berakibat fatal pada berbagai aspek kehidupan masyarakat seperti perkembangan ekonomi. Memang orang-orang yang memutuskan tidak berhubungan seks banyak yang bukan aseksual, tetapi istilah ini juga secara implisit juga menggarisbawahi ketakutan dan penghakiman masyarakat terhadap individu aseksual. Individu yang sejak lahir memang tidak atau sedikit memiliki ketertarikan seksual.

Compulsory sexuality memang sudah mendarah daging. Mungkin akan susah untuk memberikan pemahaman pada orang lain, aseksual ada dan mereka valid. Namun, bukan berarti tidak ada harapan. Media salah satunya bisa jadi medium tepat untuk mendorong kesadaran tentang aseksualitas lewat artikel-artikel yang informatif dan mendidik.

Pelaku industri juga bisa ambil bagian. Caranya adalah memperbanyak representasi individu aseksual di film dan serial TV. Lihat saja Heartstopper, melalui karakter Isaac yang diberikan porsi sendiri dalam penayangan musim keduanya, percakapan soal aseksual mulai tumbuh di antara para penonton. Ini bisa jadi awal dari pemahaman dan penerimaan.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *