Perjuangan Belum Selesai, Kita Masih Butuh Ratifikasi ILO 190
Ada PR besar untuk mendorong ratifikasi ILO 190 demi menciptakan dunia kerja yang lebih inklusif dan jauh dari pelecehan dan kekerasan seksual.
Tepat pada tanggal 12 April sekitar pukul 10.30 pagi, setelah melalui perjuangan selama kurang lebih 10 tahun Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi akhirnya disetujui disahkan sebagai Undang-Undang dalam sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Momen disahkannya UU TPKS ini disambut riuh sorak sorai dan tangisan dari banyak pihak utamanya bagi perempuan Indonesia. Mereka yang selama bertahun-tahun lamanya masih harus hidup dibayang-bayangi pelecehan dan kekerasan seksual setiap harinya baik di ruang privat maupun publik.
Dengan terdapatnya 19 jenis kekerasan seksual yang diatur dalam Pasal 4, dan dibagi ke dua kelompok, bagi banyak perempuan ini adalah sebuah hadiah pemenuhan hak asasi manusia dasar yang telah diberikan oleh negara pada mereka.
Namun pada kenyataannya disahkannya UU TPKS tidak serta merta membuat perjuangan perempuan dalam menghapuskan pelecehan dan kekerasan seksual berhenti begitu saja. Cinta Laura melalui pernyataannya dalam Instagram Live Magdalene “Bekerja Tanpa Dilecehkan, Bisakah?” (20/04) misalnya mengatakan kita semua masih punya PR besar dalam mengimplementasikan UU TPKS ini.
“Dengan disahkannya UU TPKS bukan berarti semuanya menjadi baik-baik saja. Kita masih harus mendorong institusi pemerintah atau swasta untuk membuat agreement atau dokumen untuk melindungi secara utuh individu dari pelecehan dan kekerasan seksual.
Kita juga harus terus menyebarkan awareness dan memberikan edukasi, karena trust me walau UU-nya sudah disahkan, pasti akan tetap butuh waktu bagi orang orang adjust peraturan baru,” jelasnya.
PR besar inilah yang harus terus diperjuangkan, salah satu caranya adalah dengan mendorong ratifikasi konvensi International Labour Organization (ILO) 190. Sebuah ratifikasi yang digagas untuk menciptakan dunia kerja yang lebih inklusif dan jauh dari pelecehan dan kekerasan seksual. Dan jika memang Indonesia serius mengentaskan kekerasan seksual terutama di tempat kerja, ratifikasi ILO 190 harus didukung.
Untuk mengetahui lebih lanjut tentang pentingnya ILO 190, berikut kami merangkum tiga hal terkait ILO 190 yang perlu kamu ketahui berdasarkan wawancara kami dalam Instagram Live Magdalene bersama Citra Hamidah, Senior Project Officer dari Better Work Indonesia:
Baca Juga: Pelecehan Seksual di Tempat Kerja: Dinormalisasi dan Alat Jatuhkan Perempuan
1. Cakupan Definisi Kekerasan dan Pelecehan Berbasis Gender yang Lebih Luas
Konvensi ILO 190 menggunakan definisi “Kekerasan dan Pelecehan Berbasis Gender”. Dengan penggunaan definisi ini maka cakupan kekerasan dan pelecehan berbasis gender menjadi lebih luas.
Artinya, segala kekerasan dan pelecehan yang terjadi sekali maupun berulang, bertujuan, menghasilkan maupun cenderung membahayakan secara fisik, psikologis, seksual atau ekonomi, dan termasuk kekerasan dan pelecehan berbasis gender tercakup di dalamnya.
Pelecehan sendiri di sini tidak hanya mencakup pelecehan fisik saja. Tetapi juga mencakup pelecehan seksual, pelecehan verbal dan emosional, intimidasi, perundungan, ancaman dan penguntitan (stalking). Selain itu, ditolak atau tidak diberikannya akses sumber daya atau layanan serta perampasan kebebasan lainnya juga merupakan bentuk dari kekerasan. Hal ini misalnya disampaikan oleh Citra.
“Dalam hal definisi, kekerasan dan pelecehan seksual contohnya dapat berupa pekerja yang mengalami intimidasi atau perundungan dari atasan atau sesama kolega. Ada pula contoh lain juga seperti pekerja perempuan yang tidak diperpanjang kontraknya karena hamil karena dianggap tidak produktif,” tutur Citra.
Hal yang tidak kalah penting adalan dengan pemakaian definisi ini, ILO 190 juga mencakup tindakan yang diinisiasi oleh teknologi informasi dan komunikasi dengan kelompok gender tertentu seperti kelompok perempuan, kelompok laki-laki, kelompok minoritas gender dan orientasi seksual yang merasa dirugikan, diintimidasi, atau didiskriminasi bisa mendapatkan perlindungannya.
Baca Juga: Berkaca dari Australia: Cara Menangani Pelecehan Seksual di Tempat Kerja
2. Cakupannya Tidak Hanya Tempat Kerja
Dalam laporan “PSBB (Pelecehan Seksual Bukan Bercanda)” dari Never Okay Project, ditemukan, sepanjang 2018 hingga 2020 terbukti ada sebesar 5,98 persen pelecehan seksual terjadi sejak awal hubungan kerja terjalin atau saat proses rekrutmen kerja.
Berdasarkan data yang terkumpul, kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja kerap terjadi secara berulang, sehingga satu kasus bisa mencakup beberapa jenis bentuk kekerasan dan pelecehan seksual.
Selain itu, pada beberapa kasus ditemukan, kekerasan dan pelecehan seksual dilakukan bertahap di mana pelaku memulai dengan tindakan pelecehan yang biasanya sudah dinormalisasi, termasuk pelecehan seksual verbal, pelecehan seksual isyarat, dan lain-lain. Tindakan pelecehan yang dinormalisasi ini lalu meningkat ke tindakan dengan spektrum yang lebih berbahaya, seperti pelecehan seksual fisik dan pemerkosaan.
Dengan demikian, ratifikasi ILO 190 menjadi penting. Hal ini karena kerangka Konvensi ILO 190 mendefinisikan pekerja dan tempat kerja secara luas, yaitu dunia kerja. Pada Pasal 3 ditegaskan, konvensi berlaku untuk pelecehan dan kekerasan di dunia kerja yang terjadi dalam perjalanan, terkait dengan atau timbul dari pekerjaan.
“Yang dimaksud “dunia kerja” di sini adalah tempat kerja, ruang publik di mana mereka bekerja, bepergian menuju dan dari tempat kerja di mana banyak teman-teman pekerja yang mengalami pelecehan seksual secara verbal, non verbal dan fisik ketika naik transportasi publik, saat business trip, saat mengikuti pelatihan sebagai tugas dari perusahaan. Jadi terlihat sekali ada perlindungan menyeluruh di sini,” jelas Citra.
Baca Juga: Awas, Kekerasan Seksual Hantui Perempuan Pelamar Kerja
3. Berlaku pada Semua Sektor
Selama ini perempuan pekerja dan kelompok disabilitas menjadi kelompok paling rentan dalam dunia kerja. Hal ini tidak lain karena masih banyak perempuan dan kelompok disabilitas yang bekerja di bidang informal, bidang yang sayangnya tidak mendapatkan perhatian khusus dalam kacamata perlindungan hukum.
Hal ini bisa dilihat dari pengakuan Agust Pitoyo, seorang pekerja dengan disabilitas dalam webinar “Stop Violence in the World of Work” yang diselenggarakan Agustus 2021 lalu oleh PBB Indonesia dan ILO bekerja sama dengan Aliansi Stop Pelecehan dan Kekerasan di Tempat Kerja di Indonesia.
Dalam diskusi tersebut, Agust menyatakan bagaimana pekerja informal seperti dirinya sangat rentan mengalami kekerasan dan pelecehan. Mereka dikecualikan dari regulasi ketenagakerjaan nasional dan nasib mereka sangat tergantung pada kebaikan pemberi kerja.
Rentannya para pekerja informal inilah mengapa ratifikasi Konvensi ILO 190 sangat dibutuhkan. Hal ini tidak lain karena fokus konvensi ILO 190 terletak pada inklusivitas. Artinya, siapapun yang bekerja akan terlindungi tanpa memandang status kontrak kerja, termasuk pemagang, sukarelawan, pencari kerja dan orang-orang yang menjalankan wewenangnya sebagai pemberi kerja.
“Dalam hal ini secara spesifik pada ayat 2, konvensi ini berlaku untuk semua sektor, baik swasta maupun publik, baik di perekonomian formal maupun informal, di daerah perkotaan perdesaan. Berlaku juga untuk sektor publik dan swasta, ekonomi formal dan informal serta wilayah perkotaan dan pedesaan,” terang Citra.
Dengan demikian, Konvensi ILO 190 mampu mengakomodir perlindungan beberapa kelompok, dan pekerja di beberapa sektor, jabatan dan pengaturan kerja yang mengalami kerentanan khusus terhadap kekerasan dan pelecehan. Misalnya mereka yang bekerja di sektor kesehatan, transportasi, pendidikan dan rumah tangga, atau mereka yang bekerja di malam hari atau di wilayah terpencil.
Merujuk dari tiga poin penting dari Konvensi ILO 190 maka ratifikasi Konvensi ILO 190 memang seharusnya terus didorong. Ratifikasi ILO 190 tidak hanya dapat menunjukkan komitmen negara untuk menyelesaikan permasalahan kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja, namun juga dapat mendorong perubahan peraturan-peraturan ketenagakerjaan agar lebih jelas mengenai larangan dan pencegahan kekerasan dan/atau pelecehan seksual di dunia kerja.
Hal ini tentunya akan membantu kita semua dalam menciptakan lingkungan kerja yang aman dan nyaman tentunya bebas dari segala kekerasan dan pelecehan di dunia kerja yang telah teramat lama dibiarkan, dinormalisasi, dan menjadi budaya.
“Oleh sebab itu, kita harus mendobrak dengan menciptakan budaya baru yang lebih aman dan nyaman tentunya akan bisa dilakukan dan diperkuat jika Indonesia sudah meratifikasi ILO 190. Ini tidak hanya bermanfaat untuk pekerja, pemberi kerja dan perusahaan namun juga untuk meningkatkan produktivitas dan ritme perkembangan ekonomi di Indonesia maupun ekonomi global,” tutup Citra.
Ilustrasi oleh Karina Tungari