Perjuangan #MenolakLupa: Kemana Memori Kolektif tentang Pelanggaran HAM Masa Lalu?
Prabowo mengeluhkan citranya yang dicap dalang penculikan aktivis 1998. Kubu pendukungnya meminta para korban untuk melupakan. Sebenarnya kita harus bagaimana?
Belum lama ini, calon presiden Prabowo Subianto, yang masih menjabat sebagai Menteri Pertahanan, mengeluh bahwa isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang dikaitkan dengan dirinya selalu muncul setiap tahun politik. Ia mengklaim isu tersebut hanya dimainkan untuk melemahkan elektabilitasnya.
Sosok Prabowo memang lekat dengan citra dosa HAM masa lalu. Ia diduga bertanggung jawab atas penculikan dan penghilangan paksa 13 aktivis prodemokrasi tahun 1998.
Tragedi tersebut terjadi menjelang berakhirnya rezim otoriter Suharto. Saat itu, Prabowo adalah Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus), pasukan yang diduga diperintah olehnya untuk melakukan penculikan tersebut.
Hingga saat ini, para keluarga korban pelanggaran HAM rutin menggelar aksi di depan Istana Negara setiap hari Kamis. Aksi yang dikenal dengan Kamisan tersebut menuntut pemerintah menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM dan mengadili para pelakunya.
Nmaun, wacana tentang pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia saat ini menunjukkan adanya dua kubu yang bergerak saling berlawanan.
Satu kubu mencoba meyakinkan bahwa pelanggaran itu nyata adanya dan belum terselesaikan. Seperti yang dilakukan Koalisi Masyarakat Melawan Lupa yang terus mendesak Komnas HAM agar menuntaskan kasusnya.
Sedangkan kubu lainnya justru berusaha memberikan wacana baru dengan memanfaatkan ingatan publik yang pendek-dan bahkan kosong-bahwa isu pelanggaran HAM tersebut hanyalah cerita karangan pihak yang ingin menjatuhkan Prabowo. Hal ini misalnya terlihat pada pernyataan Wakil ketua Umum Partai Gerindra Habiburokhman yang mengklaim tidak adanya fakta hukum bahwa Prabowo pernah melanggar HAM.
Beberapa di antara kubu pendukung Prabowo bahkan menyarankan agar para aktivis HAM dan keluarga korban melupakan dan memaafkan peristiwa yang telah terjadi. Baru-baru ini, misalnya, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menganugerahi Prabowo jenderal kehormatan. Publik dan media cenderung minim reaksi terhadap hal ini.
Situasi sekarang ini mencerminkan betapa isu HAM masa lalu terasa begitu asing, berjarak, bahkan dipertanyakan kebenarannya. Kondisi tersebut dapat membuka peluang bagi sebagian pihak untuk menggiring narasi baru, yakni melupakannya dan menggantinya dengan realitas lain.
Yang perlu dikhawatirkan adalah jika narasi baru yang menenggelamkan fakta pelanggaran HAM masa lalu itu menjadi lebih mudah diterima dan nyaman bagi masyarakat.
Terkait hal ini, media memegang peranan paling penting dalam mengarahkan narasi.
Baca juga: ‘Hotline 1998’: Dokumenter yang Rekam Rahasia Kelam Tragedi 1998
Media Ciptakan Realitas
Salah satu rumah bagi wacana HAM adalah media massa. Keberadaan media menjadi krusial karena menentukan apakah isu ini akan lestari dan diingat publik dari masa ke masa atau sebaliknya.
Sayangnya, semakin sedikit media yang membahas isu pelanggaran HAM secara kontinu dan mendalam. Ini membuat masyarakat, khususnya generasi muda yang lahir pascareformasi, seakan-akan melihatnya sebuah karangan fiktif belaka. Padahal masalah HAM ini nyata dan meninggalkan banyak luka, terutama bagi keluarga korban.
Sosiolog Jerman, Niklas Luhmann, dalam bukunya yang berjudul The Reality of Mass Media (1996) mengemukakan pemikirannya terkait bagaimana media seharusnya mampu menjalankan fungsinya dan mengajak kita mengenali esensi media di tengah masyarakat.
Menurutnya, media adalah sistem observasi yang mengonstruksikan realitas-realitas yang ada. Pada titik ini masyarakat juga melakukan observasi melalui sistem media massa.
Masyarakat bagi media massa adalah struktur ganda reproduksi dan informasi yang selalu beradaptasi dan mengalami gangguan (irritated). Maka, fungsi media massa yang sesungguhnya adalah menciptakan gangguan yang konstan pada masyarakat.
Gangguan ini tidak hanya mampu melahirkan kompleksitas makna namun juga resonansi. Resonansi yang semakin besar akan turut menggetarkan sistem lainnya seperti sistem politik maupun hukum.
Tidak hanya itu, saat melakukan konstruksi atas realitas, media sebenarnya sedang menyuntikkan dorongan pada masyarakat. Demikian juga resonansi yang dihasilkan turut memberikan dorongan berupa urgensi pada sistem lain. Misalnya berupa respons terkait hal tertentu dengan membentuk mekanisme serta kebijakan baru ataupun penyampaian tanggapan.
Baca juga: Pemilu 2024: Semua Capres ‘Berlumur Darah’
Lantas bagaimana media dapat turut memelihara wacana tertentu?
Luhmann menunjukkan bagaimana media sebagai sistem bekerja menggunakan kode (code). Ini adalah elemen sistem yang membuat media dapat membedakan dirinya dengan lingkungan. Melalui kode inilah media massa mengamati lingkungan serta mengonstruksi realitas.
Kode media adalah informasi (information) dan noninformasi (non-information). Saat media memberitakan hal tertentu sesaat itu pula informasi berubah menjadi noninformasi karena telah disebarluaskan kepada masyarakat. Selanjutnya, publik membutuhkan adanya informasi baru karena informasi yang lama (noninformasi) sudah usang.
Oleh karenanya, informasi yang menghasilkan gangguan pada masyarakat secara tidak langsung akan menciptakan kebutuhan akan informasi yang lebih baru. Demikian seterusnya sehingga media secara tidak langsung menciptakan gangguan yang konstan.
Maka “gangguan” yang bisa berupa kegelisahan atau pertanyaan-pertanyaan masyarakat inilah yang juga menjadi karakteristik utama dari bekerjanya sistem media.
Baca juga: Agar Permintaan Maaf atas Pelanggaran HAM Berat Tak Jadi Gula-gula Politik
Media dan Isu HAM
Absennya isu HAM yang diproduksi oleh media ternyata membawa konsekuensi yang serius. Saat media tidak mampu mengonstruksikan isu ini dengan mendalam dan memberikan makna, maka masyarakat kehilangan saluran dalam melakukan observasi yang memadai. Padahal, ruang observasi yang berkualitas dibutuhkan agar publik dapat menghadapi perubahan atas ekskalasi isu HAM tersebut.
Misalnya, saat rangkaian kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 bergulir, media dapat berperan terhadap sejauh mana publik mampu menimbang pasangan calon dari kacamata HAM, atau sebaliknya, membuat isu HAM tidak menjadi dasar bagi publik dalam mempertimbangkan kriteria kepemimpinan.
Minimnya konstruksi media pada isu HAM masa lalu juga menghambat media itu sendiri karena media seolah-olah tidak memiliki kebutuhan untuk menghadirkan informasi kembali. Akibatnya, tidak terjadi gangguan terhadap logika masyarakat yang mendorong kebutuhan akan informasi baru tentang HAM secara terus menerus. Alhasil, wacana tersebut hilang pada ruang-ruang yang seharusnya mampu melahirkan diskusi kritis.
Inilah mengapa kita perlu khawatir bahwa isu HAM tidak akan pernah hadir lagi dalam memori kolektif masyarakat. Memori publik terputus dan tidak sanggup mengaitkan aksi ini dengan situasi terdahulu seperti peristiwa reformasi tahun 1998 yang diliputi pelanggaran HAM. Konsekuensinya, gerakan menagih janji pemenuhan HAM seperti pada Aksi Kamisan menjadi sangat rentan dinilai sebagai agenda temporer lima tahunan saja.
Sekarang saja, isu HAM masa lalu banyak dianggap sebagai upaya menghambat pencalonan salah satu capres dan terlihat seperti urusan personal ketimbang masalah berbangsa dan bernegara.
Media telah kekurangan amunisi untuk melakukan konstruksi yang kompleks. Padahal seharusnya media dapat membangunkan kesadaran tentang HAM, termasuk adanya keengganan menyibak kebenaran dan pemberian kepastian hukum.
Pendeknya memori kolektif kita tentang HAM membuat perjuangan ingatan menolak lupa menjadi semakin terjal sekaligus curam.
Senja Yustitia, Dosen, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.