Safe Space

Perlindungan Saksi dan Korban KDRT Terhambat Aturan PSBB dan WFH

Kasus-kasus KDRT yang ditangani Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) terhambat aturan PSBB dan WFH.

Avatar
  • June 23, 2020
  • 6 min read
  • 655 Views
Perlindungan Saksi dan Korban KDRT Terhambat Aturan PSBB dan WFH

Di tengah pandemi virus COVID-19, banyak kantor yang menerapkan kebijakan bekerja dari rumah atau work from home (WFH), namun, hal ini tidak dapat dilakukan sepenuhnya oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Apalagi permohonan perlindungan yang diterima lembaga layanan ini terus mengalir.

Sejak Januari hingga Mei 2020, LPSK telah menerima 589 permohonan perlindungan. Dari jumlah tersebut, 18 kasus diajukan oleh korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan lima di antaranya diajukan pada masa pandemi (Maret-Mei).

 

 

“Untuk kasus KDRT, dari lima permohonan yang masuk, kami memutuskan untuk melindungi tiga korban. Kasus-kasus tersebut tidak hanya muncul ketika pandemi. Ini semua adalah kasus yang pernah terjadi berulang kali,” ujar Wakil Ketua LPSK Susilaningtias kepada Magdalene melalui telepon awal Juni lalu.

LPSK pun kemudian menerapkan WFH secara bergantian. Kendati demikian, skema ini tidak dapat dilakukan para petugas lapangan.

“Pada prinsipnya, perlindungan tidak dapat dilakukan dengan WFH. Misalnya, ketika LPSK memberikan perlindungan fisik di rumah aman, harus ada petugas yang membantu memfasilitasi mereka, misalnya office boy dan driver,” kata Susilaningtias.

Salah satu contoh kasus KDRT yang diterima lembaga itu baru-baru ini adalah dari “Ani”, seorang perempuan yang berdomisili di Jakarta, yang menjadi korban pembacokan oleh suaminya. Setelah melaporkan kasusnya ke polisi, dia meminta perlindungan kepada LPSK.

Berdasarkan keputusan paripurna pimpinan LPSK, korban harus dilindungi di rumah aman. Namun, karena pelaku telah tertangkap, Ani tidak merasa perlu mendapatkan perlindungan tersebut.

“Kami berikan bantuan psikologis dan medis. Dia tidak bersedia diberikan perlindungan secara fisik karena tidak merasa ketakutan dan suaminya sudah ditangkap,” kata Susilaningtias.

“Anaknya (yang melihat peristiwa pembacokan ini) kami berikan bantuan psikologis dan pendampingan ketika pemeriksaan di kepolisian dan sidang pengadilan,” tambahnya. 

Baca juga: Mimpi Buruk Baru: Mengurus Perceraian di Tengah Pandemi

Kerja sama dengan instansi lain

Pasal 12 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyatakan, LPSK bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban.

Dalam pasal 2 UU ini disebutkan, perlindungan diberikan dalam semua tahap proses peradilan pidana dalam lingkungan peradilan. Sebagai konsekuensinya, orang-orang yang mendapatkan perlindungan adalah mereka yang kasusnya sudah diproses secara hukum.

Ada dua opsi yang dapat dipilih agar korban mendapatkan perlindungan. Pertama, melaporkan kasusnya ke polisi dan kemudian mengajukan permohonan perlindungan. Kedua, meminta LPSK mendampingi mereka untuk melaporkan kasusnya, lalu mengajukan permohonan. Selain proses hukum, kriteria pemberian perlindungan adalah adanya ancaman yang membahayakan dan pentingnya keterangan mereka untuk mengungkap kejahatan.

Dalam memberikan perlindungan, LPSK tidak bekerja sendiri, melainkan berkolaborasi dengan instansi lainnya.

“Kami bekerja sama dengan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) dan Kementerian Sosial. Misalnya, kami menempatkan korban atau saksi di shelter milik mereka. Orangnya kami titipkan di situ, tetapi kami juga  menempatkan tenaga keamanan,” ujar Susilaningtias.

Pada sejumlah kasus, korban sering kali takut untuk melapor ke pihak kepolisian sehingga LPSK turun tangan membantu membuat laporan ke polisi. Meski demikian, Susilaningtias menyarankan agar korban melaporkan kasusnya terlebih dahulu ke polisi.

“Kami ingin mendorong supaya korban memiliki kemandirian. Kalau mereka memiliki lawyer, lebih baik lapor ke polisi dulu. Masalahnya, untuk kasus-kasus KDRT, sering kali mereka enggak lapor ke polisi,” ujarnya.

Korban KDRT enggan melapor ke polisi karena pelakunya anggota keluarga. Selain itu, proses hukum membuat mereka stres dan menambah trauma mereka.

“Biasanya, korban enggan melapor karena pelakunya anggota keluarga. Di sisi lain, mereka merasa ribet apabila harus menjalani pemeriksaan. Kadang kala, seseorang menjadi stres karena proses hukum yang menambah trauma mereka,” ia menambahkan.

Tuani Sondang Marpaung, pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) mengonfirmasi bahwa selama pandemi, banyak klien lembaganya yang tidak melaporkan kasusnya ke polisi.

“Selama pandemi COVID-19, beberapa mitra kami tidak berani keluar rumah untuk membuat laporan. Kami belum merujuk mereka ke LPSK karena persyaratannya adalah melampirkan laporan polisi,” katanya.

Tuani menambahkan, kasus-kasus yang terjadi sebelum pandemi masih ditangani LPSK. Pendampingan di sidang pengadilan dan pemeriksaan di kepolisian juga masih berjalan.

“Kami berkoordinasi dengan LPSK karena mereka memiliki fasilitas, misalnya mobil. Jadi, mereka-lah yang akan menjemput (korban) dan mendampingi di persidangan,” ujarnya.  

PSBB dan Larangan Perjalanan Dinas

Kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) juga sangat mempengaruhi kerja-kerja LPSK, salah satunya ketika mendampingi korban di pengadilan.

“Saat ini sidang diadakan melalui video conference, tetapi hal ini hanya berlaku untuk terdakwa. Saksi korban tetap harus hadir di pengadilan. Ini akan menjadi masalah ketika kami harus mendampingi mereka yang berada di luar Jakarta,” kata Susilaningtias.

Kekhawatiran akan sulitnya mobilisasi akibat PSBB menyebabkan LPSK mengambil keputusan untuk membawa seorang korban KDRT dari luar kota ke Jakarta dan menempatkannya di rumah aman.

“Kami menggunakan surat tugas (untuk membawanya), tetapi problemnya adalah proses pemeriksaannya juga tetap di daerah tersebut. Jadi kami masih menunda proses pemeriksaannya,” ujar Susilaningtias.

Baca juga: Berbekal Jas Hujan dan ‘Face Shields’, Layanan Kasus KDRT Terus Berjalan

Pada 15 Mei lalu, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengumumkan bahwa warga yang keluar masuk Jakarta harus memiliki Surat Izin Keluar Masuk (SIKM). Susi merasa bahwa membawa korban ke Jakarta adalah sebuah keputusan yang tepat. 

“Kami bertugas di bidang perlindungan dan banyak hal yang harus dirahasiakan. Bagaimana misalnya kalau kami diperiksa di tengah jalan, lalu ditanya mengenai SIKM?” katanya.  

“Selain itu korban merasa lebih nyaman bersama kami karena tidak berada di kota yang sama dengan pelaku. Kebetulan pelaku dapat mengerahkan massa,” tambahnya. 

Larangan melakukan perjalanan dinas juga berpengaruh terhadap kegiatan LPSK. Saat membawa korban KDRT tadi ke Jakarta, ada masalah biaya yang menghambat.

“Kami mengajukan biaya perjalanan dinas ke Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN). Itu ditolak dan kemudian kami menggunakan uang persediaan yang ada,” tutur Susilaningtias. .

Masalahnya, uang persediaan yang dimiliki LPSK sangat terbatas dan seharusnya hanya digunakan untuk operasional kantor, bukan untuk operasional perlindungan, ujarnya.

“Bayangkan kalau ada banyak perlindungan yang diberikan dan uangnya terbatas. Uang persediaan yang telah kami pakai (untuk kepentingan perlindungan) juga belum diganti oleh KPPN,” tambahnya. 

Artikel ini didukung oleh hibah Splice Lights On Fund dari Splice Media.

Jika memerlukan bantuan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, silakan hubungi Komnas Perempuan (021-3903963, [email protected]); Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan/LBH APIK (021-87797289, WA: 0813-8882-2669, [email protected]). Klik daftar lengkap lembaga penyedia layanan di sini.

Ilustrasi oleh Karina Tungari.



#waveforequality


Avatar
About Author

Wulan Kusuma Wardhani