Pernyataan Komisioner KPAI Soal Kehamilan Upaya Segregasi Ruang Publik
Pernyataan bahwa perempuan bisa hamil akibat berenang di kolam adalah upaya tersamar untuk membatasi akses perempuan di ruang publik.
Seperti dilansir sejumlah media, Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sitti Hikmawatty minggu lalu mengemukakan teorinya bahwa perempuan bisa hamil gara-gara berenang di kolam yang sama dengan laki-laki. Teorinya, melalui media air, sperma yang lepas atau bocor di kolam renang bisa tembus ke vagina tanpa penetrasi.
Sitti kemudian meminta maaf karena “memberikan statement yang tidak tepat. Statement tersebut adalah statement pribadi saya dan bukan dari KPAI.”
Teori Sitti tersebut tentu saja teori super dungu yang tidak harus dianggap serius. Kalau pun mau ditanggapi, lebih kepada perlunya peningkatan kapasitas anggota komisioner KPAI agar memiliki akal sehat sehingga tidak memberikan komentar yang membuat malu seperti itu.
Namun dilihat dari sisi pandang ideologis tentang ruang kuasa perempuan, pandangan ini patut dipersoalkan sungguh-sungguh. Sebab jika gagasan itu berangkat dari keyakinan tentang perlunya segregasi ruang bagi lelaki dan perempuan atas nama kehendak untuk melindungi perempuan, itu benar-benar celaka.
Baca juga: Perempuan Paling Rentan Bencana, Tapi Luput dari Kebijakan
Dalam sejarah, basis gagasan serupa itu datang dari prasangka kelas, gender, keyakinan, agama, dan warna kulit. Di Amerika Serikat sampai akhir tahun 1960-an, warga Afrika Amerika tidak diperbolehkan menggunakan kolam renang dan WC yang sama dengan orang kulit putih akibat prasangka ras.
Segregasi itu berangkat dari anggapan bahwa ruang publik, termasuk kolam renang (yang umumnya merupakan tempat umum) didefinisikan sebagai ruang yang diperuntukkan secara eksklusif berdasarkan prasangka gender warna kulit agama dan kelas. Itu bukan ruang yang dapat diakses secara setara meskipun dianggap sebagai ruang publik.
Saat ini segregasi dengan basis prasangka serupa itu lambat laun telah hilang berkat meningkatnya pengetahuan, dan pengalaman untuk mengakhiri diskriminasi. Bahkan pelakunya akan dianggap rasialis. Namun dalam kasus “peringatan” dari anggota KPAI yang menyatakan kolam renang campuran berbahaya bagi perempuan karena sperma kuat bisa nyelonong ke vagina, pandangan dasarnya tidak berubah dari prasangka kelas, gender, dan ras.
Kolam renang merupakan ruang publik namun eksklusif (milik kulit putih, atau dalam kasus ini adalah milik lelaki). Dengan alasan khawatir perempuan hamil gara-gara sperma nyasar, maka perempuan harus dicegah masuk kolam. Dengan kata lain, kolam renang sebagai ruang publik dianggap sepantasnya merupakan milik laki-laki dan perempuan hanyalah penumpang gelap ruang publik.
Baca juga: Ganti Nama Pendidikan Seks Jadi Pendidikan Kesehatan Remaja
Lebih dari itu, alasannya bukan sekedar norma kepantasan atau menjaga “keselamatan” melainkan menyangkut hal yang esensial, yakni warna kulit yang tak bisa diubah atau rahim yang secara permanen ada pada tubuh perempuan yang sudah menjadi kodratnya.
Jadi pikiran yang mengingatkan bahwa perempuan bisa hamil gara-gara berenang sesungguhnya bisa berangkat dari pandangan yang meyakini perlunya segregasi di ruang publik seperti kolam renang. Masalahnya, dalam struktur masyarakat yang timpang yang menganggap ruang publik merupakan hak dan prerogatif laki-laki, maka peringatan itu bisa dibaca sebagai upaya halus untuk membatasi ruang kuasa perempuan atas ruang publik.
Karenanya, meskipun teorinya sangat tak masuk akal, namun ideologi di belakang teori itu tetap masuk akal yaitu upaya tersamar untuk membatasi perempuan dalam mengakses ruang publik. Bukankah itu sebuah pendekatan moral yang mengkhawatirkan, untuk tidak dikatakan mengerikan?
Ilustrasi oleh Karina Tungari.