4 Alasan yang Bikin Pidato Resmi Prabowo Sekadar ‘Omon-omon’
Merespons aksi demonstrasi yang terus bergulir, Prabowo Subianto, Presiden Republik Indonesia (RI), memberikan siaran resmi, (31/8). Lewat kanal YouTube resmi Sekretariat Presiden, Prabowo ditemani sejumlah ketua partai politik, dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri hingga Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh. Namun, isi pidato ini justru menuai sorotan dari para pengamat dan aktivis.
Burhanudin Muhtadi, pakar politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, menilai pidato itu memang berhasil menunjukkan simbol persatuan elite politik, tetapi gagal menjawab tuntutan rakyat secara substansial. Dalam wawancara dengan Metro TV (31/8), ia menilai Presiden terlalu menekankan aspek hukum dan penindakan, tanpa menyentuh akar masalah yang memicu demonstrasi.
Ia mencontohkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang sejak awal dipersoalkan karena penyerapan anggarannya masih rendah. Bagi publik, yang dibutuhkan bukan sekadar instruksi hukum, melainkan kejelasan arah kebijakan yang dikritik.
Di momen terpisah, Riska Karolina dari Women’s March Jakarta mengkritisi pelabelan “makar” terhadap massa aksi bermasalah. Dalam konferensi pers Seruan Perempuan Jaga Indonesia, (31/8), ia menilai tuduhan ini tak hanya memperlebar jarak antara negara dan rakyat, tetapi juga berisiko memperkuat stigma terhadap kelompok rentan.
“Narasi makar dan terorisme mengaburkan aspirasi murni rakyat sekaligus memperkuat stereotip negatif yang selama ini dilekatkan pada komunitas kami. Lebih jauh, narasi ini bisa menjadikan kelompok ragam seksualitas dan minoritas gender sebagai kambing hitam,” ujarnya.
Berikut rangkuman isi pidato Prabowo yang telah dirangkum redaksi Magdalene:
Baca juga: Presiden Prabowo Minta TNI-Polri Ambil “Langkah Tegas Tindakan Anarkis”
1. Kebebasan Berpendapat dan Arahan Penindakan Tegas bagi TNI dan Polri
Perihal demonstrasi, Prabowo menyebut, sebagai pemimpin negara ia menghormati dan terbuka semua penyampaian pendapat dan aspirasi masyarakat. Mengutip aturan United Nations International Covenant on Civil and Political Rights Pasal 19, dan UU Nomor 9 Rahun 1998, Prabowo bilang penyampaian aspirasi adalah hak masyarakat yang perlu dihargai dan dilindungi oleh negara.
Meskipun begitu, di saat bersamaan, Prabowo juga mengimbau TNI dan Polri agar menindak tegas semua tindakan anarkis saat aksi demonstrasi.
“Kepada pihak Kepolisian dan TNI, saya perintahkan untuk ambil tindakan yang setegas-tegasnya, terhadap pengrusakan fasilitas umum, penjarahan rumah individu, dan sentra-sentra ekonomi, sesuai hukum yang berlaku.”
Menurut Yanuar Nugroho, Dosen STF Driyarkara sekaligus pendiri NALAR Institute, pernyataan Prabowo adalah sinyal bahaya. Dalam postingan Instagram pribadinya @yanuarnugroho, (31/8), instruksi terang-terangan kepada TNI untuk ikut menindak kerusuhan melegitimasi kehadiran mereka di ranah sipil.
“Jika pola ini berlanjut, kita akan melihat normalisasi operasi gabungan TNI-Polri di ruang publik, yang secara de facto melemahkan prinsip civilian supremacy atau supremasi sipil,” katanya.
Baca juga: Minta Maaf Saja Tak Cukup, Kapolri Harus Mundur
2. Penyebutan Makar sampai Terorisme
Penindakan tegas yang diarahkan Prabowo kepada TNI dan Kepolisian dilakukan lantaran ada indikasi perilaku melawan hukum. Prabowo bilang apa yang terjadi saat ini, yakni pengrusakan fasilitas umum, jatuhnya korban jiwa, sampai penjarahan rumah beberapa DPR, adalah pelanggaran hukum dan negara wajib hadir untuk melindungi rakyatnya.
Ia menambahkan, apa yang terjadi saat ini mengarah pada potensi makar sampai tindakan terorisme. Untuk itu, diperlukan tindakan tegas dari aparat penegak hukum, kata Presiden.
“Namun kita tidak dapat memungkiri bahwa ada gejala tindakan-tindakan melawan hukum, bahkan ada yang mengarah pada makar dan terorisme.”
Menurut jurnalis Watchdog Dandhy Dwi Laksono dalam postingannya di Instagram @dandhy_laksono, (31/8). “Menurut saya ini pernyataan politik yang berbahaya dan mengeskalasi masalah jadi lebih serius,” ucapnya.
Ini dilakukan di Aceh dan Papua, tapi ini tidak membuat mereka (para aktivis demokrasi) gentar. Ini juga jadi mantra sejak zaman Soeharto untuk menyebut siapa saja yang dianggap mengkritik pemerintah.
“Ketika mahasiswa atau masyarakat menurunkan Soeharto itu bisa disebut makar, tapi makar dari apa. Makar dari Pemilu yang direkayasa. Makar dari otoritarianisme, dan makarnya kemudian direstui DPR. Makar bisa diuji bukan apakah dia melawan pemerintah tapi seberapa besar makar itu didukung. Kalau gagal bisa disebut makar. Kalau berhasil dan pemerintahannya tumbang, akan lahir pemerintahan baru yang lebih baik.”
Baca juga: KPI Daerah Jakarta Larang Media Siarkan Kekerasan Terkait Demo, Potensi Ganggu Kebebasan Pers
3. Ambiguitas Pencabutan Keanggotaan DPR
Selain itu, Prabowo juga menyebut, pemerintah bersama para ketua partai politik sudah mengambil langkah tegas untuk menonaktifkan para anggota dewan. Ia bilang, terhitung sejak (1/9), masing-masing anggota dewan perwakilan rakyat (DPR) yang telah menyampaikan pernyataan-pernyataan yang keliru, resmi ditindak tegas oleh partai politiknya masing-masing.
Meskipun begitu, secara konstitusional, mekanisme pergantian antar-waktu (PAW) untuk para anggota DPR tidak bisa diputuskan sepihak oleh ketua umum partai. Pemberhentian anggota DPR perlu melalui Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan Tata Tertib DPR, melalui Badan Kehormatan dan partai politik yang bersangkutan, dengan persetujuan Rapat Paripurna DPR.
Selain itu, Prabowo mengungkapkan, beberapa pimpinan DPR akan melakukan pembatalan terhadap beberapa aturan, termasuk tunjangan hidup DPR.
“Kemudian para pimpinan DPR menyampaikan akan dilakukan pencabutan beberapa kebijakan DPR RI, termasuk besaran tunjangan anggota DPR dan juga moratorium kunjungan kerja ke luar negeri,” kata Prabowo.
4. Penyelesaian Kasus Affan yang Jauh dari Tindakan Konkret
Terkhusus penyelesaian kasus kematian pengemudi ojek daring Affan Kurniawan yang dibunuh Brigade Mobil (Brimob) (28/8), Prabowo hanya memerintahkan seluruh jajaran aparat penegak hukum untuk menyelesaikan kasus sebaik-baiknya. Ia menuntut kecepatan sampai transparansi proses hukum terhadap pelaku, tapi tidak menyebut instansi mana yang disebut sebagai pelaku.
“Terhadap petugas yang kemarin melakukan kesalahan ataupun pelanggaran, saat ini Kepolisian RI telah melakukan proses pemeriksaan. Ini telah saya minta dilakukan dengan cepat, dengan transparan, dan dapat diikuti secara terbuka oleh publik.”
















