Pesta Literasi 5.0: Gugat Narasi Dominan dan Menjadikan Teknologi Teman
Kebutuhan menghadirkan narasi alternatif di tengah arus informasi yang didominasi suara-suara besar semakin mendesak. Karena itu, Pesta Literasi 5.0 yang digelar Magdalene bersama Alitra di Taman Ismail Marzuki, Jakarta (22/11), menjadi ruang yang memadukan sastra, jurnalisme, teknologi, dan akal imitasi (AI) untuk menjawab tantangan ini. Dihadiri para penulis, akademisi, jurnalis, kreator, hingga pegiat literasi, festival ini menjadi wadah publik untuk memahami bagaimana teknologi membentuk cara masyarakat menyerap sekaligus menyaring cerita.
Baca Juga: Ubud Writers & Readers Festival 2025 Gandeng Leila S. Chudori hingga Banu Mushtaq
Dalam sambutan pembukaan, Co-Founder Magdalene, Devi Asmarani, menyoroti bagaimana publik kini kian mudah terseret arus dan kehilangan perspektif. Di tengah banjir data, batas antara informasi kredibel dan kabur semakin tipis. Karena itu, menurutnya, ruang seperti Pesta Literasi berperan penting untuk mengurai narasi yang menyinggung isu keberagaman dan kelompok terpinggirkan.
“Sejak awal kami berdiri, kami percaya bahwa cerita yang inklusif dan berpihak pada kesetaraan dan jujur terhadap pengalaman manusia dapat menggerakan percakapan penting dalam masyarakat. Dan bisa menjadi penggerak untuk perubahaan, baik lewat jurnalisme, opini, sastra. Semuanya berangkat dari keyakinan bahwa narasi yang baik bisa membuka ruang baru bagi keberagaman, dan menggugat narasi dominan,” ujarnya.
Menurut Devi, Pesta Literasi bukan hanya ajang bertukar gagasan, tetapi juga pertemuan antara ide, kebenaran, dan kebebasan berekspresi. Kesadaran literasi, ujarnya, harus diperkuat terutama ketika teknologi mengubah cara manusia mencipta, membaca, dan membagikan cerita.
“Bagi Magdalene, literasi itu adalah jantung dari kerja-kerja kami. Itu sebabnya kami merasa perlu mengangkat topik literasi dalam konteks teknologi saat ini. Kami percaya masa depan literasi indonesia itu tergantung pada kemampuan kita untuk membuka bagi generasi yang lebih luas dan inklusif. Tanpa takut salah, bisa bereksperimen, dan tanpa takut gagal,” imbuhnya.
“Masa depan literasi baik di buku, layar, maupun di ruang digital ada di tangan kita.”
Baca Juga: Objektifikasi Festival ‘Breastfeeding’: Gagal Paham Publik tentang Reproduksi Perempuan
Alitra: Literasi sebagai Warisan Kreatif di Era Digital
Sementara itu, Founder Alitra, Aulia Meidiska, menilai kegiatan membaca, menulis, dan menyimak memiliki pengaruh besar terhadap pola pikir dan kreativitas publik. Di tengah arus informasi yang seperti “tsunami”, kemampuan literasi menjadi jangkar.
“Alitra khususnya berharap dengan adanya acara ini, kita semua bisa terus bersemangat dalam berkarya. Karena kami di Alitra percaya bahwa semua manusia itu bisa berkarya. Semakin banyak karya yang kita lahirkan semakin banyak juga warisan yang kita tinggalkan untuk orang-orang di sekitar kita untuk generasi selanjutnya,” ucapnya.
Aulia menambahkan, Pesta Literasi 5.0 diharapkan menjadi titik awal inovasi literasi baru—yang tak menyalahkan teknologi, tetapi menjadikannya alat bantu untuk memperluas wawasan.
“Tetapi tetap menjadi pihak yang lebih pintar daripada teknologi sebagai diri kita. Karena memang kemampuan literasi yang mumpuni lah yang bisa membuat kita menjadikan teknologi sebagai teman, bukan lawan.”
Devi menegaskan kolaborasi Magdalene dan Alitra lahir dari visi bersama mengenai keberagaman dan kesetaraan. Alitra, ujarnya, adalah penerbit yang berani menerbitkan karya anti-mainstream di tengah industri arus utama.
“Kolaborasi ini terasa sangat alami, kolaborasi ini jadi terasa semakin mempertajam komitmen kami berdua,” tuturnya.
Baca Juga: Ubud Writers & Readers Festival 2025: Merayakan Keragaman dan Penulis Indonesia pada Dunia
Respons Publik: Antusias dan Merasa Didengarkan
Antusiasme publik tampak dari peserta yang hadir. Divya Sanjay, 25, peserta asal Bandung, menyempatkan diri mengikuti sesi masterclass dan merasa mendapatkan banyak perspektif baru.
“Memang jauh-jauh hari aku menyempatkan untuk mengikuti sesi masterclass dari Ibu Reda.
Pesta literasi ini secara keseluruhan semuanya menarik banget buat aku, karena secara diskusi dan para panel semuanya penting untuk aku,” tuturnya kepada Magdalene (22/11).
Tak hanya itu, Faza Fauzan, 33 dan Bayu Aji, 23, peserta disabilitas yang mengikuti tiga sesi diskusi, merasa acara ini cukup inklusif karena menyediakan pendamping bagi peserta difabel—fasilitas yang jarang mereka temukan.
“Harapannya acara ini bisa diselenggarakan terus-menerus ya karena ini penting bagi kami yang jarang diperbincangkan. Dari semua sesi semuanya menarik, tapi satu sesi yang jadi perhatian kami yaitu ekosistem literasi inklusif disabilitas, kami diberikan kesempatan dan didengarkan,” ungkap Bayu (21/11).
















