PKBI Dorong Gerakan Keluarga yang Toleran dan Inklusif
PKBI dan Program Peduli meluncurkan inisiatif untuk membangun keluarga yang toleran terhadap anggota keluarga minoritas gender dan anak yang berhadapan dengan hukum.
Perayaan ulang tahun seharusnya menjadi momen yang indah bagi setiap orang, termasuk “Melisa”. Namun suatu malam Desember lalu, usai merayakan ulang tahunnya di sebuah hotel di Banda Aceh, Melisa dan kawan-kawannya–yang semuanya adalah transpuan–tiba-tiba didatangi sekitar 10 warga yang kemudian meludahi dan meneriaki mereka dengan kata-kata, “Bakar waria! Bunuh mereka!”
Melisa dan enam temannya kemudian dibawa ke Kantor Satpol PP dan bermalam di sana. Alasan penangkapan tersebut didasari atas dugaan masyarakat bahwa mereka akan mengadakan pemilihan ratu waria karena mereka mengenakan gaun, rias wajah, dan aksesoris.
Selama lebih dari satu hari mereka menunggu tanpa kepastian dan diperlakukan secara tidak manusiawi: pakaian dipreteli dan dibakar; disuruh salat memakai baju laki-laki; dan hanya diberi makan nasi tanpa lauk. Tim investigasi yang dibentuk oleh sebuah lembaga swadaya masyarakat (LSM) setempat kemudian mendapatkan informasi bahwa Melisa dan teman-temannya baru bisa dibebaskan dengan salah satu syarat penting: harus dijemput oleh keluarga. Keluarga Melisa dan teman-temannya akhirnya datang untuk menjemput mereka, dan mereka pun dibebaskan.
Insiden yang dialami Melisa hanya satu dari banyak perilaku intoleran yang kemudian menjadi salah satu alasan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) membentuk inisiatif inklusi sosial bersama Program Peduli, sebuah LSM yang fokus pada kesejahteraan kelompok marginal. Saat ini merangkul transpuan dan anak-anak yang berhadapan dengan hukum atau di lembaga pemasyarakatan (lapas), Program Peduli ini bertujuan agar mereka diterima kembali oleh keluarga yang telah menelantarkan mereka, dan membangun keluarga yang toleran.
Melisa masih “beruntung” karena ada keluarga yang menjemputnya. Manajer Program Peduli, Yudi Supriadi mengatakan, banyak sekali transpuan yang tidak diterima oleh keluarga dan diusir dari rumah akibat stigma yang mengukuhkan bahwa transpuan adalah aib bagi keluarga.
“Yang terpenting dan pertama harus dilakukan adalah toleransi dan penerimaan dari keluarga. Kalau waria sudah diterima oleh keluarganya, hal ini akan menjadi contoh baik bagi keluarga lain,” katanya dalam acara “Keluarga yang Bertanggung Jawab dan Toleran” di Wisma PKBI, Jakarta Selatan, pekan lalu.
Tahapan utama yang dilakukan dalam program inklusi sosial, menurut Yudi, adalah forum keluarga untuk memperbaiki relasi transpuan dengan keluarganya, dan mengidentifikasi keluarga-keluarga yang sudah menerima mereka anggota keluarga mereka yang transpuan seutuhnya.
“Hal ini bertujuan untuk menjadi contoh baik bagi keluarga lain agar bisa menerima kembali anak mereka. Kalau keluarga sudah bisa menerima keadaan mereka, maka perlahan masyarakat akan bisa menerima juga,” katanya.
Yudi mengatakan, penerimaan keluarga merupakan hal yang krusial karena ketika lingkungan keluarga bisa menerima keberadaan transpuan, maka masyarakat juga akan menjadi bagian dari sistem keamanan ketika terjadi tindakan intoleransi atau persekusi terhadap para transpuan.
“Dengan kata lain, ketika ada ancaman dari organisasi masyarakat (ormas) atau Satpol PP, keluarga bersama masyarakat, paling tidak di tingkat kelurahan, bisa menjadi pelindung bagi mereka,” ujar Yudi.
Ia menyampaikan sebuah kasus tindakan intoleransi pada Oktober lalu di mana anggota Satpol PP, Perlindungan Masyarakat (Linmas), polisi setempat, dan warga menggerebek sebuah rumah kos di daerah Bandung dan meminta keterangan dari delapan transpuan penghuni rumah tersebut.
“Para waria ini sudah dekat dengan keluarganya, sehingga keluarga mengadvokasi masyarakat setempat agar tidak melakukan kekerasan terhadap anak mereka,” kata Yudi.
“Dalam kasus ini, karena kami sudah dekat dengan RT, RW, dan Karang Taruna, maka mereka turut menjadi tameng dan melindungi. Para waria akhirnya tidak jadi ditangkap, mereka aman,” tambahnya.
Toleransi keluarga untuk anak berhadapan dengan hukum
Selain transpuan, yang sering kali diabaikan dan tidak ditoleransi oleh keluarganya adalah anak yang berhadapan dengan hukum (ABH) atau anak yang berada di lapas karena melakukan tindakan kriminal. Pada 2017, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat 3.849 kasus pengaduan terkait dengan persoalan anak, 530 di antaranya anak sebagai pelaku kekerasan.
“Banyak anak di lapas tidak mendapatkan kunjungan dari keluarga. Selain itu, setelah keluar dari penjara pun keluarga biasanya tidak menerima mereka kembali karena stigma buruk masyarakat yang menganggap bahwa mereka bekas tahanan,” kata Yudi.
PKBI bersama Program Peduli kemudian melakukan Forum Orang Tua yang bertujuan memperbaiki hubungan anak berhadapan dengan hukum atau di lapas, serta meningkatkan kesadaran orang tua akan pentingnya menjaga relasi dengan anaknya.
Salah satu upaya yang dilakukan adalah memfasilitasi pertemuan antara anak didik lapas (andikpas) dengan keluarganya yang tidak pernah dikunjungi atau bertemu keluarga selama menjalani masa pidana.
“Anak, sekalipun ia ABH, dilihat bukan sebagai individu yang bisa dipisahkan dari keluarga, di mana orang tua mempunyai peranan sentral bagi kelangsungan hidup dan perkembangan anak,” kata Yudi.
“Forum ini sangat bermanfaat agar orang tua bisa memperhitungkan periode kritis dalam tahap perkembangan psikososial anak menuju kehidupan dewasa, dan memberikan dukungan personal kepada setiap anak,” katanya.
Dokumenter ini menyoroti kondisi memprihatinkan yang dihadapi narapidana perempuan yang hamil, melahirkan, dan membesarkan anak di penjara.