December 18, 2025
Issues Politics & Society

Sering Jalan di Tempat: Apa yang Bikin Gerakan Sosial Sulit ‘Happy Ending’? 

Pada kondisi terburuk, organisasi sebagai motor penggerak gerakan sering kali jadi tempat di mana kekerasan sistemik justru direproduksi. Dan hal ini perlu dilawan dengan bentuk gerakan yang lebih regeneratif.

  • December 18, 2025
  • 6 min read
  • 312 Views
Sering Jalan di Tempat: Apa yang Bikin Gerakan Sosial Sulit ‘Happy Ending’? 

Kita semua tentu sepakat bahwa 2025 merupakan tahun yang panjang bagi masyarakat Indonesia. Sejak awal tahun ini, rangkaian aksi demonstrasi telah mewarnai lini masa perjuangan.  

Sebut saja gelombang aksi #IndonesiaGelap yang bergulir pada Februari 2025 lalu. Aksi-aksi lanjutan seperti penolakan Undang-Undang Tentara Negara Indonesia (UU TNI) pada Maret 2025, sampai aksi besar di akhir Agustus 2025, jadi momentum perjuangan yang juga ikut terekam pada tahun ini. 

Namun, tak hanya di tahun 2025, rangkaian demonstrasi sebenarnya sudah terus bergulir sejak beberapa tahun sebelumnya. Sebut saja #PeringatanDarurat yang bergema di Agustus 2024, atau Aksi Kamisan yang tak pernah absen di tiap minggunya. Gerakan ini pun turut dibersamai dengan rangkaian konsolidasi dan juga diskusi dalam ruang-ruang yang lebih kecil. Di berbagai lini, orang-orang berkumpul dan menyerukan satu semangat yang sama, yakni semangat perjuangan untuk keadilan. 

Kendati punya semangat perjuangan, rangkaian aksi protes ini tentu tidak lepas dari berbagai kritik dan juga masukan. Fathimah Fildzah Izzati, Pemimpin Redaksi Marsinah.id, dalam artikelnya di Project Multatuli bilang mempertanyakan kelanjutan aksi protes adalah hal yang lumrah untuk dilakukan. Kritik dan evaluasi ini pun pernah ditujukan pada gerakan Aksi Kamisan sampai #PeringatanDarurat.  

Fathimah bilang ada beberapa alasan mengapa gerakan di Indonesia sering kali berhenti pada tahap protes semata. Alasan ini antara lain adalah masyarakat yang masih “alergi” dengan urusan politik, sampai pengandalan tenaga mahasiswa secara tunggal dalam perjuangan. 

Namun, di sisi lain, permasalahan dalam aktivisme ini justru tak jarang datang dari tubuh gerakan itu sendiri. Hal ini disampaikan oleh Annisa R. Beta, Dosen Kajian Budaya di University of Melbourne (15/12). Annisa bilang gerakan yang mandek tak jarang disebabkan oleh reproduksi kekerasan sistemik yang terjadi dalam tubuh organisasi sebagai motor pergerakan. Secara ironis, ketika kita melawan sistem yang menggerus kemanusiaan, terkadang kita melakukan hal yang sama terhadap diri atau organisasi kita sendiri, kata Annisa. 

Baca juga: Solidaritas Lintas Isu: Kunci Perjuangan Iklim Global 

Corak Gerakan yang Ekstraktif sampai Activism Burn Out  

Melanjutkan penjelasannya, Annisa pun menyebut bahwa persoalan yang ada pada tubuh gerakan sering kali mengarah pada corak gerakan ekstraktif. Dalam arti lain, gerakan ini terperangkap dalam logika produktivisme kapitalistik yang eksploitatif di mana aktivisme diartikan sebagai kegiatan yang diukur dari seberapa banyak yang bisa dilakukan, bahkan dari seberapa lelah kita ketika ada di dalamnya.  

Aktivisme yang ekstraktif pun tak lepas dari struktur hierarki yang secara tidak langsung muncul dalam tubuh gerakan. Annisa bilang, hierarki feodalisme ini sering kali ditemukan sudah mengakar secara tradisi dan natural. 

“Sayangnya ada beberapa lapisan yang paling terlihat kalau ngomongin gerakan yang ekstraktif. Hal ini adalah pola eksploitatif gerakan dan juga struktur hierarki feodalisme yang sudah jadi tradisi dan terjadi natural gitu,” jelas Annisa. 

Selaras dengan penjelasan Annisa, Lucia Nader, aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dari Brazil, juga menyebut bahwa sistem kapitalis jadi biang keladi sehingga muncullah gerakan yang ekstraktif. Namun tidak hanya sistem kapitalis, ia juga menyebut bahwa sistem patriarki turut andil dalam menciptakan pola aktivisme yang ekstraktif.  

Dalam analisanya “Regenerative Activism: Reimagining Power in The Human Rights Field” (2024) yang dimuat dalam Open Global Rights, Lucia menyebut bahwa sistem sosial ini membuat para aktivis terbelenggu dalam status quo relasi kuasa yang sudah terbangun. Dengan sistem patriarki yang membelenggu, gagasan seorang pemimpin yang secara heroik menyelamatkan dunia secara sendiri akan terus dinarasikan tanpa menyelesaikan apa-apa.  

Bukan tanpa sebab, Annisa pun menjelaskan bahwa corak gerakan yang ekstraktif merupakan warisan kolonial yang membuat tindakan eksploitatif dan struktur hierarki dapat dinormalisasi. Semakin parah, warisan ini diperkuat dengan logika kapitalisme yang semakin membuat gerakan menilai sesuatu dari seberapa banyak yang dihasilkan.  

Sebagai dampaknya, pola gerakan yang ekstraktif ini pun dikhawatirkan bisa memunculkan Non-Profit Industrial Complex (NPIC), kata Annisa. Dalam arti lain, gerakan organisasi yang bersifat ekstraktif akan memiliki output yang tidak transformatif dan justru mereproduksi kekerasan sistemik itu sendiri. 

Pada dampak yang terparah, gerakan ekstraktif juga bisa memunculkan activism burn-out, atau kelelahan dalam melakukan aktivisme. Bukan hanya dalam konteks fisik, burn-out yang ia maksud di sini adalah kelelahan mental yang berujung pada hilangnya harapan terhadap apa yang diperjuangkan saat ini. Hal ini pun disebabkan akan kekecewaan para aktivis atas reproduksi kekerasan sistemik yang terjadi pada tubuh gerakan. 

“Yang lebih menyeramkan dan fatal sebagai dampaknya adalah burn-out orang-orang yang lebih muda. Ini aku bukan mengartikan cuma stres atau kecapean, tapi juga soal logika dalam artian harapan. Mereka kehilangan itu,” kata Annisa. 

Baca juga: ‘Youth Spring’: Ketika Generasi Z Menolak Diam 

Apakah Ada Jalan Keluar? 

Sebagai alternatif, Annisa sendiri menyebut gerakan regeneratif sebagai jalan ke luar dari gerakan yang ekstraktif. Secara sederhana, gerakan regeneratif merupakan pola gerakan yang bebas dari belenggu kekerasan sistemik dan juga berfokus pada keberlanjutan. 

Sebagai langkah awal, Annisa bilang menavigasi ulang tatanan hierarki yang ada dalam organisasi pergerakan bisa jadi titik berangkat. “Enggak sesulit itu sebenarnya. Kita harus beneran addressing, membahas secara serius hierarki-hierarki yang sekarang udah ada dalam gerakan. Kita harus tantang itu,” kata Annisa. 

Dalam Cambridge Dictionary, regeneratif sendiri berarti proses tumbuh atau penumbuhan kembali. Selaras dengan hal ini, Lucia bilang regenerasi dalam tubuh aktivisme berarti memperbarui, memulihkan, dan juga merevitalisasi diri setelah mengalami kerusakan yang cukup besar.  

Untuk itu, dalam gerakan yang regeneratif, Lucia menyebut bahwa kita perlu membayangkan kembali struktur kekuasan dan relasinya dalam sebuah gerakan. Seperti yang sering dilakukan dalam gerakan feminis, kepemimpinan kolektif bisa jadi jalan keluar untuk mewujudkan gerakan yang regeneratif.  

Kepemimpinan kolektif sendiri adalah sebuah proses kepemimpinan di mana anggota yang beragam menyumbangkan keterampilan, membuat keputusan secara kolaboratif, dan bekerja menuju tujuan bersama. Melalui laman Harvard Law School, Tamara L. Friedrich, dari the University of Oklahoma, menyebut bahwa kepemimpinan ini termuat dari beberapa anggota tim yang berperan sebagai pemimpin, baik dalam kapasitas formal maupun informal.

Perpindahan tanggung jawab dalam kepemimpinan kolektif sering kali didasarkan pada keahlian individu. Siapapun yang lebih relevan dengan masalah yang dihadapi, dia lah yang akan memimpin jalannya aktivitas dalam bidang tersebut. 

Baca juga: Merayakan Feminisme dari Era Koran hingga Media Sosial 

Pada tingkat individu, gerakan yang regeneratif juga mengutamakan kekuatan internal pada diri masing-masing aktivis. Hal ini merujuk pada penjagaan harapan aktivis dengan menghargai sumber daya mereka sebagai manusia. Masih dalam analisanya, Lucia menyebut hal ini mengacu pada bagaimana kita membawa nilai-nilai perlawanan tersebut ke dalam kehidupan kita sehari-hari. 

Senada dengan hal ini, Annisa juga menekankan bahwa gerakan memang sejatinya juga harus terwujud dalam kehidupan kita sehari-hari. Pasalnya tujuan perjuangan bukan hanya perihal menang, ini juga soal memastikan siapapun yang ada di dalamnya bisa tetap hidup bersama perjuangan itu sendiri. 

Embodying rather than performing itu jadi sangat penting sebagai langkah awal mewujudkan gerakan yang regeneratif,” tutup Annisa. 

About Author

Syifa Maulida

Syifa adalah lulusan Psikologi dan Kajian Gender UI yang punya ketertarikan pada isu gender dan kesehatan mental. Suka ngopi terutama iced coffee latte (tanpa gula).