Environment Issues Opini

Batuk Pejabat, Polusi, dan Upaya Setengah Hati Perbaiki Transportasi

Perlu transportasi publik berkualitas untuk menghadirkan udara bersih di ibu kota.

Avatar
  • September 1, 2023
  • 6 min read
  • 1364 Views
Batuk Pejabat, Polusi, dan Upaya Setengah Hati Perbaiki Transportasi

Sri Mulyani irit bicara dalam Rapat Komisi XI DPR RI, (31/8). Suaranya serak dan ia mengidap Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) karena polusi. Dalam kesempatan itu, ia lebih banyak diwakili oleh Suahazil Nazara, Wakil Menteri Keuangan. Masih di bulan yang sama, batuk Jokowi menjadi tajuk utama berita di Indonesia. Ia mengklaim penyakit itu muncul buntut polusi Jakarta yang kian menggila.

Rentetan batuk pejabat itu membuat isu polusi semakin jadi perbincangan. Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) mengklaim sumber polusi udara di wilayah Jakarta hampir 70 persen berasal dari sektor transportasi. Sementara itu, menurut Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), polusi udara saat ini diperparah oleh fenomena El Nino yang menyebabkan kemarau panjang.

 

 

Merespons kondisi tersebut, Presiden Joko “Jokowi” Widodo memberikan beberapa arahan untuk mengatasi masalah ini, di antaranya adalah penerapan sistem bekerja dari rumah (work from home atau wfh) dan modifikasi cuaca untuk mengatasi polusi udara di Jabodetabek.

Arahan itu memang bisa menjadi salah satu solusi, tapi tidak permanen. Solusi Jokowi tidak menyentuh akar persoalannya, yaitu sistem transportasi publik yang belum memadai.

Upaya mengurai masalah transportasi publik seharusnya lebih difokuskan untuk menjadi jalan keluar masalah polusi udara Jakarta, tanpa menegasikan sumber-sumber polusi lainnya, seperti limbah pabrik dan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).

Baca juga: Tidak Bisa Tidak, Kita Harus ‘WFH’ Sekarang

Kondisi Tansportasi Jabodetabek

Selama ini, beberapa pihak menganggap pemerintah cenderung lebih menyalahkan masyarakat yang enggan berpindah dari penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi publik.

Hingga saat ini, penduduk Jakarta dan sekitarnya cenderung masih memilih menggunakan kendaraan pribadi ketimbang kendaraan umum dalam melakukan mobilitas.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mencapai sekitar 148 juta kendaraan pada 2022 dan didominasi oleh sepeda motor sebesar sekitar 125 juta unit.

BPS juga mencatat produksi kendaraan bermotor dalam negeri mencapai 6,18 juta unit pada 2021. Jumlah tersebut naik 42 persen dari tahun 2020 yang hanya berjumlah 4,35 juta unit.

Di Jakarta, Korps Lalu Lintas Kepolisian Republik Indonesia mencatat jumlah kendaraan bermotor pada 2022 berjumlah sekitar 3,7 juta mobil dan 17,3 juta motor.

Jumlah ini menunjukkan bahwa jumlah mobil dan motor meningkat sangat drastis berturut-turut sebesar 269 persen dan 721 persen dalam waktu dua puluh tahun terakhir. Dapat kita bayangkan betapa eksesifnya jumlah kendaraan bermotor saat ini.

Di wilayah pinggiran Jakarta seperti Kota Tangerang, Banten, jumlah kendaraan pribadi (mobil dan motor) pada tahun 2022 juga tinggi, yakni mencapai sekitar 3,4 juta kendaraan. Sementara itu, jumlah kendaraan bermotor di kota penopang lainnya–Bogor, Depok dan Bekasi–berkisar 6,1 juta kendaraan.

Dari sisi ekonomi regional, pemerintah daerah mungkin senang dengan banyaknya kendaraan bermotor, karena semakin banyak kendaraan, semakin banyak pula pajak yang dipungut; yang berpengaruh ke besaran Pendapatan Asli Daerah (PAD) masing-masing daerah.

Namun dari sisi lingkungan, dapat kita bayangkan jika sekitar 30 juta kendaraan lalu lalang setiap harinya, berapa banyak emisi yang dikeluarkan ke udara?

Baca juga: Polusi di Jabodetabek Memburuk, Kami Harus ‘Bayar’ Udara Bersih

Transportasi Publik Bapuk, Kendaraan Pribadi Tetap Pilihan

Warga Jabodetabek memang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi dalam melakukan mobilitas sehari-hari. Ini kemungkinan besar disebabkan oleh transportasi publik belum memadai serta mekanisme pembiayaan dan kepemilikan kendaraan pribadi yang kini semakin dipermudah.

Statistik Komuter pada 2019 menyebutkan 91,6 persen komuter Jabodetabek, alias pelaku perjalanan yang keluar-masuk Jakarta setiap hari, tidak memiliki keinginan untuk beralih ke moda transportasi umum. Beberapa alasannya adalah waktu tempuh lama, tidak praktis, dan jauhnya akses yang terintegrasi antarmoda transportasi. BPS juga mencatat bahwa 6 dari 10 komuter menggunakan sepeda motor sebagai moda transportasi utama.

Belum memadainya sistem transportasi publik memantik berbagai siasat yang dilakukan oleh warga, di antaranya adalah mengompreng dan mengandalkan ojek daring, selain membeli dan menggunakan kendaraan pribadi.

Pilihan ojek daring sebagai salah satu moda pengumpan juga sering kali dianggap menjadi alternatif, bahkan solusi, dari masalah yang ada.

Namun, jika kita teliti lebih jauh, kepemilikan kendaraan pribadi dan adanya bisnis ojek daring justru menunjukkan bahwa sistem transportasi publik kita selama ini masih problematik.

Baca Juga: Selain di Laut, Udara Jakarta juga Mengandung Mikroplastik

Upaya Setengah Hati Pemerintah

Pembenahan transportasi publik di Jabodetabek sebetulnya bukan hal baru. Sudah banyak upaya untuk membangun dan memperbaikinya.

Misalnya, DKI Jakarta sudah memiliki JakLingko, sebuah sistem transportasi terintegrasi mapan yang menggabungkan TransJakarta, minitrans (BRT) dan mikrotrans (non-BRT) sebagai moda pengumpan (feeder). Berbagai proyek infrastruktur besar seperti Moda Raya Terpadu (Mass Rapid Transit/MRT dan Lintas Raya Terpadu (LRT) juga dibangun untuk memenuhi kebutuhan transportasi publik massal di Jakarta.

Pertanyaannya, meski moda transportasi publik di ibu kota semakin beragam, apakah jalurnya sudah cukup menjangkau semua wilayah dan sistem pengumpannya sudah mendukung konektivitas dengan wilayah pinggiran?

Di samping penyediaan infrastruktur, pemerintah juga sudah berupaya untuk mengajak warga untuk menggunakan transportasi publik demi lingkungan yang lebih baik.

Misalnya, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memiliki program Gerakan Nasional Kembali Ke Angkutan Umum pada tahun 2022 dan Program Langit Biru.

Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) juga melakukan uji emisi kendaraan sebagai bentuk dukungan terhadap pengendalian pencemaran udara. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga telah mengajak warganya untuk turut menggunakan transportasi publik.

Pembenahan Struktural

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah, lalu mengapa belum optimal dalam merayu masyarakat beralih ke transportasi publik?

Pertama, solusi-solusi yang hadir selama ini hanya bersifat jangka pendek, seperti persuasi penggunaan kendaraan listrik, yang juga masih problematik, atau kebijakan ganjil genap dan 4-in-1.

Meminjam pandangan sosiolog C. Wright Mills dari Columbia University, AS, transportasi publik pada dasarnya bukanlah personal troubles, tetapi merupakan public issues yang perlu mendapat perhatian karena terkait dengan hajat hidup orang banyak.

Secara struktural, pemerintah perlu membangun tata kelola transportasi publik yang terdesain dengan sistematik dan berkelanjutan.

Sistem kereta rel listrik (KRL) CommuterLine bisa jadi contoh baik. Sistem transportasi berbasis rel warisan dari zaman Belanda ini berhasil mereformasi sistemnya dan menjadi salah satu moda paling diandalkan oleh komuter Jabodetabek karena jangkauannya (secara geografis dan ekonomis) yang baik.

Namun demikian, sistem ini perlu didukung dengan transportasi publik pengumpan yang mendukung mobilitas warga menuju stasiun. Misalnya, pemerintah daerah khususnya di wilayah pinggiran dapat mengoptimalkan angkot menjadi pengumpan, sama halnya Jakarta mengoptimalkan mikrotrans sebagai feeder TransJakarta.

Di samping infrastruktur, kita juga perlu membangun kultur bertransportasi publik. Dari sisi budaya publik, penggunaan transportasi publik akan optimal jika struktur penyediaan layanan transportasi yang aman, inklusif, aksesibel, dan ekonomis sudah berjalan.

Penggunaan transportasi publik harus jadi bagian dari keseharian masyarakat dan ditanamkan sejak kecil. Dalam proses tersebut, proyeksi agar anak-anak terinternalisasi budaya menggunakan layanan transportasi publik sejak dini menjadi sangat krusial.

Pembudayaan untuk menggunakan transportasi publik sejak dini perlu didukung dengan layanan infrastruktur yang memberi keamanan dan kenyamanan, seperti yang ada di Jepang. Kebijakan penyediaan bus sekolah di DKI Jakarta perlu diperluas cakupannya sehingga dapat dinikmati lebih banyak anak-anak usia sekolah di wilayah Jabodetabek.

Upaya ini menjadi ikhtiar jangka panjang yang perlu diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang lebih pro kepada masyarakat umum. Beriringan dengan kebijakan penanganan polusi udara lainnya, udara bersih yang merupakan hak setiap warga pasti dapat dihirup kembali.

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.



#waveforequality


Avatar
About Author

Dwiyanti Kusumaningrum

Dwiyanti Kusumaningrum, Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan Anggi Afriansyah, Peneliti, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *