December 10, 2025
Issues Technology

#TungguAnakSiap: PP Tunas Baru Awal, Butuh Kolaborasi Banyak Orang

PP Tunas jadi regulasi penting guna menciptakan ruang digital ramah anak. Orang tua, guru, hingga pemerintah terkait perlu kolaborasi menyukseskannya.

  • December 10, 2025
  • 4 min read
  • 66 Views
#TungguAnakSiap: PP Tunas Baru Awal, Butuh Kolaborasi Banyak Orang

Risiko digital pada anak terus meningkat, mulai dari paparan konten seksual, komentar kebencian, manipulasi foto dengan Akal Imitasi (AI), hingga eksploitasi data pribadi. Situasi ini jadi sorotan dalam talkshow “Bangun Ruang Digital Ramah Anak #TungguAnakSiap” yang diselenggarakan Magdalene dan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) RI di Jakarta Selatan, (9/12).

Acara yang dihadiri 120 orang tua, guru, dan pendidik ini membahas tantangan digital yang kian kompleks, serta urgensi pelaksanaan PP Nomor 17 Tahun 2025 atau PP Tunas yang disahkan Presiden Prabowo Subianto pada Maret 2025 silam.

Talkshow menghadirkan tiga pembicara, yakni psikolog anak dan remaja Gisella Tani, influencer gentle parenting Halimah, dan Direktur Sekolah Putra Pertiwi Noviyanti Elizabeth. Mereka memaparkan temuan lapangan terkait dampak langsung ruang digital pada anak, tantangan, dan perlunya semua pihak terlibat dalam pelaksanaan PP Tunas.

Baca juga: Indonesia Punya PP Tunas untuk Lindungi Anak di Internet, Apa itu?

Penyebab Anak Kian Rentan

Ella menjelaskan anak semakin tertekan oleh standar visual di media sosial. “Mereka berpikir harus tampil seperti itu untuk disukai,” ujarnya.

Perwakilan komite yayasan sekolah swasta di Tangerang Selatan, Vera, menuturkan anak perempuannya yang masih SMP mulai tertarik mencoba tindakan tidak pantas setelah melihat konten seksual.

“Saya tidak menyangka dampaknya bisa sebesar itu,” katanya pada acara ini.

Pernyataan Vera diamini oleh salah satu tenaga pengajar yang juga hadir, Suparto. Di sekolah, ia mencatat banyak kerentanan siswa yang terkait penggunaan gawai yang kurang bijak. Mulai dari murid berutang demi top-up gim daring, anak Sekolah Dasar yang sudah bisa mengakses konten pornografi dari tautan YouTube, hingga siswi yang jadi korban penyebaran konten intim non-konsensual oleh mantan pacar. Tak cuma itu itu, ia menemukan foto tak berbusana dari siswa yang dimanipulasi dengan menggunakan deepfake.

“Ada anak berkata, ‘Pak, saya takut mau sekolah. Saya merasa tidak aman di internet.’ Itu menunjukkan betapa rentannya mereka,” tuturnya.

Sementara itu, orang tua yang hadir lainnya bahkan menyebut, ada anak temannya yang sampai putus sekolah. Pemicunya adalah kecanduan gim daring. “Nilai sekolahnya jebol, susah konsentrasi, mau akses psikolog juga tak punya privilese,” terangnya.

Gisella membenarkan, paparan konten yang belum sesuai usia anak, meningkatkan risiko tertentu. Terlebih bila anak terus-menerus menghabiskan waktu dengan gawai tanpa pendampingan hingga di tahap kecanduan. Kondisi ini sering membuat anak sulit tidur, mudah gelisah, dan merasa harus mengikuti arus agar tidak tertinggal teman sebaya.

“Kalau anaknya ketinggalan tren, dia enggak dianggap oleh teman-teman sebayanya. Ini dilema mereka,” ujarnya. 

Baca juga: Waspada Pedofil dan Child Grooming di ‘Online Game’

PP Tunas adalah Awal, Kolaborasi Tetap Diperlukan

Co-Founder Magdalene, Devi Asmarani, menyampaikan pelaksanaan PP Tunas membutuhkan kerja panjang. Ia menilai regulasi tidak cukup tanpa dukungan keluarga, sekolah, komunitas, dan platform digital. Menteri Komunikasi dan Digital, Meutya Hafid, menegaskan pentingnya memastikan kesiapan mental anak sebelum mereka masuk ruang digital.

“Pemerintah tidak bisa bekerja sendiri,” ungkapnya.

Dirjen Komunikasi Publik dan Media, Fifi Aleyda Yahya berujar, PP Tunas dirancang untuk menciptakan ruang aman, bukan membatasi ekspresi anak. PP Tunas memberi arah baru bagi upaya perlindungan digital, tetapi pendampingan orang dewasa tetap menjadi fondasi utama.

Noviyanti menilai PP Tunas memberi dasar hukum bagi sekolah menyusun aturan internal yang lebih kuat, termasuk pedoman penggunaan gawai, etik digital, dan mekanisme pelaporan cepat. Ia menekankan perlunya integrasi literasi digital dalam kurikulum.

Di kesempatan yang sama, Halimah berkomentar, salah satu strategi mengurangi kerentanan anak adalah orang tua perlu bisa menjadi influencer buat anak-anak mereka. Selain itu juga perlu membangun kedekatan lewat komunikasi yang empatik.

“Jangan langsung menghakimi apalagi membandingkan dengan kondisi kita. Dengan begitu anak merasa aman dan nyaman untuk berbagi perasaan dan bercerita, ketimbang meniru orang atau influencer yang kurang pas,” ucap perempuan pemilik akun Instagram @IGDailyJour itu.

Anak juga sebisa mungkin punya kesempatan untuk menghabiskan waktu berkualitas dengan orang tua masing-masing, meski sebentar. “Di waktu-waktu inilah, orang tua bisa mengajak ngobrol tentang apa yang harus dilakukan ketika melihat konten berbahaya,” katanya.

“Dunia digital tidak punya tombol hapus. Anak tidak boleh masuk sendirian,” tandasnya.

Saat ditanya, siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab, Halimah bilang orang tua memang figur utama karena anak mencontoh perilaku kita sehari-hari. Namun, imbuhnya, kolaborasi lintas pemangku kepentingan sangat dibutuhkan, termasuk pemerintah daerah untuk menyediakan ruang bermain yang aman.

“Anak butuh ruang bergerak di luar layar. Ruang publik ramah anak itu bagian dari perlindungan digital juga,” ujarnya.

About Author

Ahmad Khudori

Ahmad Khudori adalah seorang anak muda penyuka kelucuan orang lain, biar terpapar lucu.