December 14, 2025
Environment Issues Politics & Society

Ada Apa dengan Obsesi Berlebihan Prabowo pada Sawit?

Prabowo terus membingkai sawit sebagai komoditas ideal yang enggak merugikan, meski bukti kerusakannya bisa dilihat di mana-mana.

  • December 14, 2025
  • 6 min read
  • 633 Views
Ada Apa dengan Obsesi Berlebihan Prabowo pada Sawit?

Presiden Prabowo Subianto kembali menempatkan bisnis kelapa sawit sebagai jawaban atas persoalan ekonomi dan energi Indonesia. Dalam sejumlah pernyataan publik, ia membingkai sawit sebagai komoditas strategis yang membuat Indonesia tak perlu bergantung pada impor bahan bakar fosil. 

“Tapi kita diberikan karunia oleh Yang Maha Kuasa, kita punya kelapa sawit, kelapa sawit bisa jadi BBM, bisa jadi solar, bisa jadi bensin juga kita punya teknologinya,” kata Prabowo dalam pidato HUT ke-61 Partai Golkar di Istora Senayan, Jakarta, (5/12), seperti dilansir Kompas.com

Prabowo menyebut keberadaan sawit sangat krusial, terutama di tengah konflik global. Menurutnya, perang yang masih berlangsung di Eropa berpotensi menghambat pasokan energi internasional. 

“Saudara-saudara, perang lanjut di Eropa, bisa-bisa kita tidak bisa impor BBM dari manapun. Kita mau impor pun nanti tidak bisa. Selat di Laut Merah, di depan Yaman kan terhenti,” ucapnya. 

Pernyataan ini melanjutkan sikap Prabowo setahun sebelumnya, ketika ia menyamakan sawit dengan pohon lain yang menyerap karbon. Pernyataan itu disampaikan dalam Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas). Kebun kelapa sawit, menurut Prabowo, merupakan aset negara yang perlu dilindungi. 

Indonesia, kata Prabowo, justru perlu menambah luas perkebunan sawit. Ia menilai tudingan deforestasi akibat sawit sebagai sesuatu yang keliru. “Enggak usah takut apa itu katanya membahayakan, deforestation, namanya kelapa sawit ya pohon, ya kan?” tuturnya, dikutip dari Kompas TV. 

“Benar enggak, kelapa sawit itu pohon, ada daunnya kan? Dia menyerap karbondioksida. Dari mana kok kita dituduh yang mboten-mboten saja itu orang-orang itu,” lanjutnya. 

Prabowo juga menyatakan tak khawatir terhadap pembatasan impor produk sawit Indonesia oleh Uni Eropa. “Saya bilang, terima kasih karena kita tidak jual ke Anda, mereka panik sendiri.” 

Baca juga: 7 Perusahaan Diduga Jadi Biang Keladi Bencana Ekologis di Sumatera Utara

Tak Bisa Gantikan Hutan 

Kehidupan sehari-hari memang tidak terhindarkan dari sawit. Jejak buah itu ada di dalam minyak goreng, sabun, hingga biodiesel yang masyarakat konsumsi. Pun demikian, pembukaan lahan untuk kebun sawit juga tidak bisa serampangan. Karena, tidak seperti yang Prabowo sampaikan, kebun sawit tak menggantikan di hutan alam.  

Juru Kampanye Satya Bumi, Riezcy Cecilia Dewi atau Icy berkata hutan alam adalah ekosistem yang kompleks, memiliki keragaman hayati dan habitat untuk berbagai satwa. Di sisi lain, sawit ditanam secara monokultur dengan sangat luas. Tak ada tanaman lain di kebun sawit selain pohon sawit.  

“Hutan alam itu habitat untuk satwa yang ada di sana, ketika digantikan sawit, itu menghilangkan satwa yang hanya bisa tinggal di dalam hutan alam,” jelasnya. 

Ini berpengaruh juga pada kontrol hama. Sistem monokultur rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Icy bilang, di hutan alam, populasi hama dikendalikan secara alami oleh predator. Ketika predator itu hilang untuk membuka kebun dengan tumbuhan seragam dan ditanam secara berdekatan, penyebaran penyakit dan hama terjadi dengan sangat cepat.  

“Karena penyakit dan hamanya begitu cepat menyebar, jadi memerlukan penggunaan pestisida yang lebih intensif. Pada akhirnya, ini akan menambah beban polusi lingkungan.”  

Dari sisi ekologis, hutan alam memiliki fungsi menjaga siklus air, mencegah erosi, dan menyerap karbon dalam jumlah yang besar. Masalahnya, sawit tak punya kemampuan tersebut. Dari struktur akar, tumbuhan penghasil minyak ini, memiliki akar serabut yang dangkal.  

Maka ketika terjadi hujan lebat, akar yang tidak bisa mencengkram tanah dengan kuat itu, tidak bisa mencegah longsor. Tak hanya akarnya, daun kelapa sawit juga enggak bisa menyerap karbon dalam jumlah yang besar. 

“Meskipun sawit sama-sama dapat menyerap karbon, tapi jumlah yang tersimpan dan terserap berbeda dengan hutan alam. Hutan alam bisa menyerap karbon lebih besar daripada sawit,” tutur Icy.  

Kebun sawit, ujar Icy, juga menyebabkan degradasi tanah. Lahan bekas perkebunan sawit tidak bisa produktif seperti sedia kala. Ini disebabkan pohon sawit yang rakus air. “Perlu proses yang lama, biaya yang besar, untuk mengembalikan tanah yang bekas ditanami sawit.” 

Baca juga: Krisis Lingkungan di Tesso Nilo: Hutan Menyempit, Gajah Kian Terjepit  

Batas Aman 

Lagipula, secara nasional, Indonesia sudah melewati batas aman pembukaan lahan untuk sawit. Menurut hasil penelitian Satya Bumi, batas aman pembukaan lahan sawit di Indonesia mencapai 18,15 juta hektare. Sedangkan, per tahun 2022, terdapat 18,22 juta hektare lahan perkebunan sawit.  

“Artinya luas perkebunan sawit yang ada saat ini sudah melebihi batas aman luas perkebunan sawit tersebut secara nasional,” tutur Icy. Penelitian yang dilakukan MADANI Berkelanjutan, Satya Bumi dan Sawit Watch ini dilakukan dengan menghitung batas aman berdasarkan daya dukung dan daya tampung.  

Daya dukung diartikan sebagai kemampuan satu wilayah untuk menyediakan sumber daya. Sementara, daya tampung adalah kemampuan lingkungan untuk menyerap dampak negatif tanpa mengalami kerusakan permanen.  

Sumatera dan Kalimantan, jadi dua pulau yang memiliki lahan perkebunan sawit paling luas. Kebun sawit di dua pulau itu sudah melebihi batas aman perkebunan sawit. Di Sumatera, ada perkebunan sawit, baik legal maupun ilegal, mencapai 10,70 juta hektare. Padahal, batas aman kebun sawit di pulau itu berada di angka 10,69 juta hektare.  

“Untuk Pulau Kalimantan, luasnya saat ini mencapai 6,68 juta hektare. Sedangkan batas aman atau cap-nya itu, dia 6,61 juta hektare. Ini melampaui batas atas,” tutur Icy.  

Ini terjadi karena pemerintah melihat pembukaan lahan sebagai solusi tunggal menambah produksi. Padahal, Icy berkata, pemerintah bisa meniru praktik di Malaysia. Alih-alih membuka lahan, pemerintah, perusahaan, dan petani sawit di Malaysia meningkatkan produktivitas kebun sawit yang sudah ada dengan teknologi.  

Baca juga: Dear Prabowo, Setop Samakan Pohon Sawit dengan Tanaman Hutan

“Tidak dilakukan pemerintah karena mungkin malas berinovasi, jadi apa-apa, solusinya buka lahan baru,” ucapnya.  

Merujuk laporan Malaysian Palm Oil Board (MPOB), kebun kelapa sawit dengan kisaran luas 5,6 juta hektar di Malaysia menghasilkan sekitar 3,3 ton per hektar, pada 2023. Sementara, menurut Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, “produktivitas sawit nasional baru mencapai 3 hingga 4 ton per hektar setara CPO.” Padahal, luas kebun kelapa sawit di tahun yang sama mencapai 16,8 juta hektar.  

Perhatian yang sama juga diutarakan Kepala Pusat Studi Agraria Lembaga Riset Internasional (LRI) Sosek IPB University, Bayu Eka Yulian yang mengatakan ekspansi lahan sawit bukan solusi untuk menambah produksi. Bayu menekankan peningkatan produktivitas petani rakyat yang masih rendah karena belum menerapkan Good Agriculture Practices (GAP).  

“Produktivitas, khususnya untuk pekebun masyarakat, independent small holder itu masih rendah, karena mereka belum menerapkan GAP yang bagus,” terangnya, dikutip dari Kompas.com. 

About Author

Andrei Wilmar

Andrei Wilmar bermimpi buat jadi wartawan desk metropolitan.