Konflik Papua yang sarat kekerasan dan ketidakstabilan politik, telah terjadi sejak 1960-an. Enggak heran jika ini termasuk konflik terlama dalam sejarah manusia modern. Konflik yang terjadi terus-menerus ini juga menjadi hambatan signifikan bagi kemajuan suatu negara.
Untuk kasus di Papua sendiri, konflik berkepanjangan menimbulkan implikasi mendalam terhadap kehidupan Orang Asli Papua (OAP). Dampaknya mencakup marjinalisasi OAP, pengungsian besar-besaran, kelaparan yang meluas, gangguan keamanan tak berkesudahan, tidak aktifnya layanan publik, serta disfungsi pemerintahan.
Ini menunjukkan bahwa selama ini, termasuk selama Joko “Jokowi” Widodo berkuasa 10 tahun, langkah-langkah untuk membangun Papua belum diiringi dengan pemahaman yang menyeluruh atas segala konteks yang terjadi di tanah Papua. Padahal menyelesaikan permasalahan di Papua tidak bisa menggunakan logika umum, apalagi cara-cara standar.
Sebagai contoh, meskipun pasar modern Rufei telah dibangun pemerintah kota Sorong, masyarakat yang didominasi mama-mama Papua lebih senang berjualan di pasar tradisional Boswesen, atau di sepanjang pinggiran jalan raya. Pasar modern yang harapannya membuat kota lebih tertata tak lantas membuat OAP pindah karena adanya perbedaan pemahaman dan pengalaman hidup.
Salah sedikit saja, inisiatif pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah, meskipun tujuannya baik, justru bisa memicu komplikasi di tingkat lokal ketika berhadapan dengan kerumitan (wicked) akibat kondisi yang kompleks, tidak menentu, dan perbedaan nilai.
Jokowi, yang notabene merupakan presiden dari kalangan sipil saja, tidak bisa menyelesaikan konflik di Papua. Bahkan, bisa dibilang dia telah gagal melakukan deeskalasi di Papua. Lalu, apa yang bisa kita harapkan dari Prabowo yang memiliki latar belakang militer dan rekam jejak gelap pelanggaran hak asasi manusia (HAM)?
Baca Juga: Kematian Ibu dan Bayi di Papua Tertinggi se-Indonesia: Bagaimana Cara Mengatasinya?
Jokowi: Membangun Papua, Tak Kurangi Konflik
Ketika pertama kali terpilih sebagai Presiden pada 2014, Jokowi menjadi ikon perubahan. Sebab, terpilihnya Jokowi seolah mengirimkan pesan bahwa kalangan sipil biasa—tanpa latar belakang sosial mentereng maupun militer—bisa menjadi pemimpin Indonesia.
Alih-alih lahir dan besar di keluarga konglomerat, Jokowi bahkan pernah mengalami penggusuran sewaktu kecil. Latar belakang Jokowi tersebut seharusnya memunculkan sensitivitas dalam dirinya terhadap yang lemah dan dilemahkan oleh sistem politik dan struktur sosial yang tidak adil.
Namun, publik—atau kita semua—telah salah menilai Jokowi. Selama periode kepemimpinannya, Jokowi tak banyak membawa perubahan sosial, termasuk bagi rakyat di Papua.
Memang, Jokowi merupakan presiden yang paling sering berkunjung ke Papua. Namun, inisiatif ini lebih menekankan pada pembangunan fisik dan pendekatan politik yang kaku daripada mendorong partisipasi dan pengakuan identitas OAP serta transformasi konflik.
Pemerintah, di bawah rezim Jokowi, memandang modernisasi sebagai perwujudan inisiatif pembangunan. Banyak masyarakat yang memuji strategi Jokowi yang memprioritaskan pembangunan infrastruktur di seluruh Indonesia, terutama di Papua.
Padahal, persoalan partisipasi, pengakuan identitas, dan transformasi sosial merupakan hal yang tak kalah—bahkan paling—krusial, tetapi belum cukup mendapat perhatian.
Hasil riset Tim Gugus Tugas Papua Universitas Gadjah Mada (GTP UGM) menemukan adanya peningkatan nyata dalam kejadian kekerasan di tengah masyarakat di Papua selama delapan tahun terakhir. Tercatat sejak tahun 2015 hingga akhir Juni 2023 terdapat 378 kasus tindak kekerasan di Papua. Kekerasan yang dilakukan didominasi oleh kelompok bersenjata, diikuti oleh kekerasan antarsesama masyarakat.
Artinya, meningkatnya pembangunan fisik di Papua justru beriringan dengan meningkatnya jumlah korban jiwa akibat konflik. Ini karena ada akar masalah yang tidak pernah tersentuh, yaitu keadilan.
Metode Jokowi yang menekankan pertumbuhan fisik untuk mengejar ketertinggalan sering kali mengabaikan elemen-elemen penting, seperti diskusi, konsolidasi sosial, dan penyembuhan luka akibat kekerasan negara pada masa lalu di tanah Papua yang para pelakunya “masih menikmati” impunitas hukum.
Upaya dari atas ke bawah, tanpa melibatkan masyarakat setempat, justru tidak kompatibel dan membahayakan pengakuan atas kebutuhan dan eksistensi mereka.
Pemerintah harus mengubah pendekatannya menggunakan pendekatan keadilan sosial. Pendekatan ini memungkinkan masyarakat terlibat sekaligus memastikan bahwa investasi infrastruktur maupun sosial adalah semata untuk kepentingan rakyat Papua.
Faktor utama lain penyebab kegagalan Jokowi dalam meredakan kekerasan di Papua adalah tidak adanya strategi yang berorientasi pada dialog ‘organik’ dengan masyarakat Papua. Tidak adanya transparansi atas pelanggaran HAM masa lalu dan pengakuan atas identitas OAP semakin memperburuk ketidakpuasan masyarakat.
Jika pemerintah gagal mengidentifikasi dan memitigasi masalah mendasar yang ada, inisiatif dan terobosan yang ditujukan untuk meredakan ketegangan hanya akan dipahami sebagai solusi sementara saja.
Baca Juga: #AllEyesonPapua: Bukan Tanah yang Dirampas Negara, tapi Seluruh Hidup Kami
Berharap pada Prabowo?
Prabowo dan Jokowi jelas memiliki latar belakang sosial yang berbeda. Prabowo tidak hanya diduga kuat merupakan aktor pelanggar HAM, tetapi latar belakangnya sebagai purnawirawan militer sedikit banyak akan membangkitkan trauma tersendiri dalam benak OAP.
Salah satu kontroversi Prabowo adalah dugaan keterlibatannya dalam operasi militer di Indonesia ketika menjabat sebagai Komandan Jenderal Kopassus pada 1996-1998. Saat itu, ia diduga menjadi aktor yang menyebabkan penahanan dan penghilangan paksa para aktivis. Selain itu, Prabowo juga diduga terlibat dalam konflik Timor Timur. Meskipun, Prabowo telah menyangkal keterlibatannya.
Rekam jejak Prabowo telah menimbulkan skeptisisme publik atas upaya penegakan hukum dan HAM di bawah kepemimpinannya.
Wajar jika publik menganggap Prabowo sebagai tokoh militer, akan lebih cenderung menggunakan langkah-langkah militer untuk menangani masalah Papua. Anggapan ini dapat menghambat pengembangan wacana produktif yang diperlukan untuk memahami akar penyebab masalah masyarakat Papua.
Baca Juga: Review ‘Orpa’: Ketika Orang Papua Memotret Realitas Masyarakatnya
Karena itu, sulit mengharapkan Prabowo akan menekankan strategi persuasif dan dialogis dalam menangani konflik dan masalah kesejahteraan di Papua. Padahal, masyarakat Papua membutuhkan pemimpin yang mampu menumbuhkan kepercayaan melalui dialog, kerendahan hati dan pengakuan atas kesalahan sejarah, serta dedikasi terhadap upaya mewujudkan keadilan sosial. Tanpa hal ini, upaya untuk menyelesaikan konflik di Papua tidak akan efektif.
Perlu diingat, OAP merupakan entitas politik yang tengah berproses dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, penting untuk mendukung dan mempercepat pembangunan sumber daya manusia OAP.
Artinya, pemerintah seharusnya lebih banyak berfokus pada pembangunan nonfisik terlebih dahulu. Ini diwujudkan melalui akselerasi pembangunan manusia unggul berbudaya, pengakuan atas identitas dan dosa masa lalu, serta bersikap lebih adil.
Pemerintah harus memaknai dan memfasilitasi perbedaan implikasi pembangunan ini dengan konteks asimetris, dari yang semula pembangunan fisik menjadi nonfisik, dengan memperluas ruang partisipasi dan berupaya mengakui kepentingan OAP dalam setiap perumusan kebijakan pembangunan Papua.
Lebih jauh, di era Presiden Prabowo Subianto ini, pemerintah perlu benar-benar memperhatikaan tiga hal pokok, yakni konflik, keterbelakangan, dan desentralisasi asimetris.
Nuansa kekhususan inilah yang harus dipahami Prabowo untuk melakukan deeskalasi konflik. Ketika rakyat di Papua telah semakin tercerdaskan kehidupannya, maka urusan pembangunan lainnya akan jauh lebih mudah.
Alfath Bagus Panuntun El Nur Indonesia, Lecturer at the Department of Politics and Government, Universitas Gadjah Mada.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.