Praktik Konversi: Upaya Sia-sia yang Menyiksa
Mulan, 25 terpaksa mengikuti praktik konversi saat ia duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Dia ingat betapa sia-sianya upaya tersebut. Sayangnya, praktik sejenis kini justru disahkan sebagai kebijakan pemerintah daerah.
Bupati Cianjur dr. Muhammad Wahy, misalnya, berencana memasukkan siswa yang “terindikasi LGBT” ke barak militer. Di sana, mereka akan “dibina” melalui pendidikan bela negara, serta disediakan layanan psikolog dan pendamping.
“Kalau memang ada yang terindikasi LGBT juga akan dibina. Nanti akan dilakukan pembinaan dan juga pendidikan bela negara,” tuturnya, Mei lalu, dilansir dari CNN Indonesia.
Ketika mendengar rencana ini, Mulan teringat pengalaman masa lalunya. Memasukkan anak ke barak militer hanya satu bentuk praktik konversi. Nyatanya, banyak bentuk lainnya yang digunakan untuk “mengubah” identitas gender seseorang.
Mulan memang tidak pernah dikirim ke pelatihan militer, tapi ia pernah mengalami bentuk lain dari praktik konversi. Hasilnya tetap nihil.
“Iya, enggak bisa dimungkiri kalau wacana-wacana seperti itu pasti bikin aku teringat sama situasi-situasi yang aku alami sebelumnya, secara umum sih dengan terapi konversi ini ya,” ungkap Mulan kepada Magdalene, (12/7).
Sejak Sekolah Dasar (SD) hingga SMA, dia dimasukkan ke sekolah laki-laki. Orang tuanya percaya, berada di lingkungan maskulin akan membentuk identitas gendernya sesuai ekspektasi. Ia juga mengikuti kegiatan outbond untuk membentuk disiplin.
“Ini sebenarnya enggak apple to apple, tapi selama sekolah aku ikut kegiatan yang outbond dan disiplin, tapi enggak mengubah identitas gender aku, bahkan sampai sekarang.”
Usaha keluarganya tidak berhenti di sana. Mulan sempat dipaksa menjalani hipnoterapi. Hasilnya sama: Tidak ada perubahan pada identitas gendernya. Ia tetap mengidentifikasi diri sebagai perempuan.
Justru, yang berubah hanya kondisi mentalnya yang makin memburuk. “Alih-alih memberikan efek yang diinginkan oleh pihak luar yang menginginkan aku berubah jadi laki-laki ‘biasa’, itu malah membuat aku jadi counter-productive.”
Baca juga: Penyiksaan itu Bernama Terapi Konversi, Cerita Seorang LGBT
Tanpa Consent
Selaras dengan pengalaman Mulan, penelitian “Upaya-Upaya Pengubahan SOGIE” (2024) yang dibuat YIFoS Indonesiajuga menekankan dampak berbahaya dari praktik konversi. Mereka bahkan menolak menyebut upaya-upaya tersebut sebagai terapi, karena praktik ini tidak terbukti secara psikologis.
Mewawancarai lima responden, penelitian YIFoS Indonesia menemukan jenis-jenis praktik konversi, seperti pemerkosaan korektif, pemaksaan pernikahan, intervensi pihak keluarga, dan ritual agama. Hampir semua narasumber mengaku tidak diberi informasi awal sebelum mengikuti praktik sia-sia ini.
Mereka tidak tahu, tujuan praktik yang dilakukan adalah “mengoreksi” identitas gender dan seksual. Nampaknya, ketidakjelasan informasi ini berkaitan dengan umur para narasumber ketika menjalani praktik pengubahan sex, orientation, gender identity and expression (SOGIE). Empat narasumber masing-masing berusia 14, 17, 20, dan 21, saat mengalaminya.
Hanya satu narasumber, Ananda, yang saat itu berusia 26 tahun, menerima informasi pendahuluan. Ia mampu mengenali praktik tersebut sebagai bentuk upaya mengubah orientasi seksual, setelah berdiskusi dengan orang terdekat.
Sebagian responden baru menyadari pengalaman mereka sebagai praktik konversi setelah memperoleh pemahaman tentang identitas gender dan seksualitas. Seperti Ega, yang langsung menghentikan praktik tersebut setelah memahami maksud sebenarnya.
“Setelah aku bergabung sama organisasi jadi tahu itu berarti mengalami terapi konversi, mengalami kekerasan. Makanya aku di 2022 akhirnya berani speak up sama orang tua kalau aku nggak mau lagi mendapatkan perlakuan itu,” katanya dalam laporan YIFoS Indonesia.
Baca juga: Transpuan di Sarang Penyamun: Pengalamanku di Sekolah Putra
Merusak Mental
Sialnya, mereka yang tak dimintai consent dan tak diberi penjelasan awal yang memadai, harus dihantui dampak buruk untuk waktu yang panjang. Praktik konversi yang diharapkan “mengubah” identitas seksual pun ujungnya hanya merusak mental dan melahirkan kesepian.
Narasumber bernama Reza yang melalui praktik konversi bernuansa agama mengalami trauma setelahnya. Setiap melihat keramaian, dia terbayang gereja tempatnya melalui terapi konversi. Kesepian dan depresi pun menghantuinya.
“Pada saat itu kayak rasa depresi karena memang enggak punya teman queer juga jadi kayak kelihatan banget gitu.”
Keterpurukan mental juga dialami oleh Ananda. Sebelum mengalami praktik konversi, dia adalah individu yang senang bercerita. Membagikan keresahan ke orang-orang di sekitar membuat beban hidupnya sedikit berkurang. Pun demikian, setelah mengikuti praktik konversi, dia cenderung untuk memendam semuanya sendiri.
“Semenjak ini kayak lebih tiba-tiba lebih senang memendam sendiri apa pun karena tadi aku [takut] menambah beban lain. Beda kalau sebelumnya tuh kayak apa pun aku akan ceritakan ke teman, ingin curhat atau segala macam aku bisa plong,” tutur Ananda.
Di tengah keadaan mental yang memburuk ini, mereka sulit mendapatkan layanan psikologis yang memadai. Salah seorang narasumber misalnya, mengaku tidak bisa mengakses psikolog karena keterbatasan finansial. Sementara yang lain mengatakan lingkungan mereka menormalisasi praktik tersebut sehingga tidak terlihat sebagai masalah.
Baca juga: Apa Pun Sakitnya, (Bukan) Ruqyah Jawabannya
Mencari Komunitas
Mencari lingkungan yang mampu mendukung teman-teman LGBT pasca-mengalami praktik konversi menjadi hal krusial. Pengalaman Ega mencari komunitas yang membantunya mengidentifikasi dampak buruk pasca-praktik konversi jadi bukti kuat akan kebutuhan lingkungan suportif.
Mulan juga mengatakan, meski tak mendapat dukungan dari keluarga, pasangan dan rekan-rekannya membantunya berproses. Selain itu, dia juga bertemu dengan seorang psikolog profesional dan terbuka terhadap identitas gendernya.
“Dia juga punya pengalaman di komunitas transgender, dia cukup baik untuk menawarkan pembayaran yang tidak mahal, apalagi saat itu aku masih kuliah, jadi finansial adalah suatu hal yang sangat krusial,” tutur Mulan.
Itu membantunya menata ulang dan menemukan nilai positif dalam dirinya. “Prosesnya juga enggak yang sekali selesai, aku tuh masih terus berproses sampai hari ini,” lanjut Mulan.
Koordinator YIFoS Indonesia, Maulidya menerangkan, melalui support system dan jaringan organisasi, individu LGBTIQ akan terpapar pengetahuan penting seputar situasi kebijakan dan pelayanan kesehatan. Penguatan pemahaman ini pun dilakukan dengan berbagai macam cara.
“YIFoS mendukung penguatan ini melalui training dan sesi penguatan kapasitas, seperti Queer Camp, Listening You, pembuatan modul, dan kunjungan ke sekolah-sekolah untuk membangun lingkungan yang aman bagi individu LGBTIQ melakukan pencarian diri,” katanya dalam keterangan tertulis pada Rabut (16/7).
Selain itu, YIFoS Indonesia beberapa kali bekerja sama dengan layanan psikolog yang inklusif. Ini bisa membantu pemulihan kondisi mental pasca mengalami praktik pengubahan SOGIE. Sebab, support system dan layanan psikologis sangat krusial dalam menanggulangi dampak buruk dari praktik pengubahan SOGIE.
“Misalnya percobaan bunuh diri, kehilangan pekerjaan ataupun akses pendidikan akibat identitas SOGIE, diusir dari rumah, dan lain-lain,” tutup Maulidya.
















