Gender & Sexuality Issues Opini Safe Space

Penyiksaan itu Bernama Terapi Konversi, Cerita Seorang LGBT

Kawan LGBT berbagi kisah tentang pengalaman terendahnya menjalani terapi konversi rukiah.

Avatar
  • January 31, 2024
  • 5 min read
  • 3060 Views
Penyiksaan itu Bernama Terapi Konversi, Cerita Seorang LGBT

“Dian”, 32 masih mengingat jelas kenangan pahit 2021 silam. Ia dipaksa merunduk saat pemuka agama membacakan doa-doa persis di lubang telinga. Perasaan malu dan hina memuncak ketika tetangga berdatangan untuk melihat proses rukiah tersebut.

“Rumah saya ibarat ada pengajian, tetangga pasti diundang, kan,” kata Dian.

 

 

Kakak perempuan Dian yang sejak lama menduga adiknya memiliki orientasi seksual di luar heteronormatif, mengalami kepanikan moral. Sejak Sekolah Menengah Atas (SMA), Dian mengatakan kakak perempuannya sudah curiga lantaran sering mengajak “teman laki-laki dengan gelagat yang berbeda” ke rumah.

Selang sepuluh tahun, kakak perempuan Dian menggelar pertemuan keluarga hanya untuk menyatakan sang adik sakit dan terdapat jin perempuan di dalam tubuhnya. Tak tanggung-tanggung, sang kakak pun rela mengeluarkan kocek pribadi untuk memanggil pemuka agama dan melaksanakan rukiah.

“Anak ini sakit! Dia enggak suka sama perempuan. Ada jin perempuan di tubuhnya,” kata Dian menirukan tuduhan kakaknya.

Setelah mendapat tuduhan itu, ayah Dian tidak berfokus pada identitas dan orientasi seksual anaknya, dia lebih peduli pada “jin perempuan”. Hingga akhirnya, keluarga memutuskan sepihak, rukiah adalah solusi terbaik untuk Dian.

“Mereka (keluarga) lebih terfokus sama rukiahnya ini, sih, enggak terfokus sama aku yang LGBT. Jadi kayak, ini anak ada jinnya, mereka berusaha mengeluarkan jin tersebut,” jelasnya pada (7/12/23) di Bogor.

Meski begitu, setelah doa-doa dibisikkan tepat di samping telinga, Dian tak merasa ada perubahan apa pun. Di tengah ruang tamu yang telah disulap untuk menyelenggarakan pengajian, Dian hanya diam dan berkata pada dirinya sendiri, semua ini akan berakhir.

Kepasrahan Dian bukan tanpa alasan. Selain karena memang tak bisa, Dian tak melawan ketika dipaksa duduk bersimpuh, dikelilingi tetangga dan keluarga saat pemuka agama membaca doa yang tak dimengertinya, untuk membuktikan kalau di dalam dirinya, enggak ada jin perempuan itu.

Setelah rukiah berakhir, satu-satunya dampak yang diterima Dian adalah merasa hina dan malu. Kerumunan dan tatapan tetangga yang melihat proses itu pun membuat Dian mengalami trauma. Dia semakin membulatkan tekad untuk keluar dari lingkungan tersebut.

“Aku nguatin diri sendiri, mungkin sekarang kayak gini, tapi suatu saat aku harus keluar dari sini. Jangan sampai ketemu orang itu lagi (kakak Dian),” katanya.

Beberapa bulan setelah kejadian itu, Dian akhirnya menyewa kamar indekos untuk tinggal sendiri. Dia tak pernah pulang lagi ke rumah dan jarang datang ke perkumpulan keluarga, “Hanya sekali-sekali, itu pun kalau lagi Lebaran.”

Rasa malu, trauma dan putus hubungan dengan keluarga adalah satu-satunya perubahan yang dialami Dian. Di sisi lain, dia tak merasakan perubahan orientasi dan ekspresi seksual yang disebabkan oleh jin perempuan di dalam tubuhnya. Menurut Dian, rukiah yang menguras batinnya itu sia-sia.

“Enggak ada perubahan sama sekali. Ya aku kayak gini, ya kayak gini! Enggak ada istilah, setelah dirukiah itu benar-benar ‘bersih’, kembali lagi ke hetero, enggak!” tegas Dian.

Baca juga: Apa Pun Sakitnya, (Bukan) Ruqyah Jawabannya

Rukiah Didukung Perda Anti-LGBT

Perda anti-LGBT menjadi salah salah senjata jitu di tahun politik. Namun alih-alih menampakkan sikap penolakan yang keras seperti biasanya, pemerintah dan DPRD di beberapa kota/kabupaten menggunakan topeng humanis dengan menyematkan kata “rehabilitasi” di dalam Perda sebagai solusi untuk menekan kelompok LGBT.

Salah satu contohnya adalah Peraturan Bupati (Perbup) 47 Tahun 2023 yang merupakan peraturan turunan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 13 Tahun 2015 Tentang Anti Perbuatan Maksiat. Bupati Garut Rudy Gunawan menyatakan, pemerintah kabupaten akan melakukan pendekatan kesehatan, sosial, dan agama pada komunitas LGBT.

“Pendekatan-pendekatan hukum ini kita tidak lakukan, tapi (yang kita lakukan adalah) pendekatan pembinaan-pembinaan menyadarkan ke jalan yang lurus kembali,” kata Rudy, sebagaimana tertulis di laman jabarprov.go.id.

Selaras dengan itu, Perda Nomor 10 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Perilaku Penyimpangan Seksual (P4S) yang disahkan DPRD kota Bogor memuat kata “rehabilitasi” dalam empat pasal. Pasal 18 yang mengatur terkait rehabilitasi untuk “seseorang yang mengalami penyimpangan seksual” menjelaskan mengenai bentuk rehabilitasi yang akan diberikan, yakni “motivasi; diagnosis; perawatan medis; bimbingan mental dan spiritual; bimbingan sosial dan konseling; serta bantuan dan asistensi psikis juga medis.”

Jika mau dilihat lebih teliti, rehabilitasi atau “pengembalian ke jalan lurus” hanyalah bahasa lain dari terapi konversi. Walaupun terkesan humanis dan tanpa hukuman, praktik ini dikategorikan sebagai bentuk penyiksaan oleh dunia internasional.

Baca juga: Praktik Ruqyah terhadap Kelompok LGBT adalah Tindak Kekerasan

Komunitas LGBT Tak Butuh Rehabilitasi

Dalam laporan terapi konversi yang dikeluarkan oleh Pakar Independen Perlindungan Terhadap Kekerasan dan Diskriminasi Berdasarkan Orientasi Seksual dan Identitas Gender (IESOGI) di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), praktik mengubah identitas dan orientasi seksual adalah bentuk penyiksaan.

Laporan yang sama juga merekomendasikan negara-negara yang masih melakukan terapi konversi untuk menghentikannya. Dalam rekomendasi juga disebutkan negara harus “mengampanyekan bahaya terapi konversi kepada masyarakat.”

Ketua Sanggar Swara Khanza Vina mempertanyakan alasan masih eksisnya terapi konversi di Indonesia. Dia berujar, terapi konversi adalah tindakan yang berbahaya dan tidak boleh dilakukan.

“Dan ternyata ya memang gagal, faktanya gagal terapi, sekarang kenapa mau dilakukan lagi?” kata Khanza dalam diskusi publik Yifos dengan judul “Perda P4S: Serba-Serbi Seksualitas & Pendidikan” yang diselenggarakan pada (17/11/23).

Khanza juga mengatakan, terapi konversi dengan ritual agama tertentu adalah praktik yang beberapa kali didengarnya.

“Misalkan bentuk terapinya adalah terapi atas ritual keagamaan tertentu, aku pernah dengar. Dan itu menjadi trauma teman-teman tersendiri, sih,” ucapnya.

Baca juga: Siapa Yang Paling Berhak Bicara Tentang LGBT?

Di belakang topeng humanis kata rehabilitasi, ternyata praktik ini hanyalah alat pendukung fobia yang berpotensi memberikan trauma kepada komunitas LGBTIQ+. Menurut Khanza, komunitas LGBTIQ+ tidak memerlukan terapi. Masalah yang seharusnya diselesaikan adalah fobia terhadap LGBT yang masih menyelimuti mayoritas masyarakat.

“Yang harusnya diterapi mungkin mereka (yang fobia LGBTIQ+), bukan kitanya. Biar bisa menerima orang lain di luar laki-laki dan perempuan,” tegas Khanza.

Andrei Wilmar, mahasiswa jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara (UMN) yang sedang mengerjakan tugas akhir.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari


Avatar
About Author

Andrei Wilmar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *