Problematika Prolegnas, Batu Sandungan Pengesahan RUU PKS
Tidak ada standar yang jelas dalam menilai RUU yang perlu dicabut dari daftar prioritas di DPR.
Awal Juli lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memutuskan untuk mengeluarkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020.
RUU PKS merupakan satu dari 16 RUU yang dikeluarkan dari Prolegnas Prioritas 2020. Selain RUU PKS, RUU penting lain yang dikeluarkan antara lain RUU tentang Keamanan dan Ketahanan Siber, RUU tentang Otoritas Jasa Keuangan, RUU tentang Sistem Kesehatan Nasional, dan RUU tentang Kependudukan dan Keluarga Nasional.
Sebelumnya pada Januari, pemerintah dan DPR menyepakati ada 50 RUU dalam daftar prioritas tahun ini. Beberapa RUU yang tetap dibahas termasuk RUU Cipta Kerja dan RUU Ibukota Negara.
Marwan Dasopang, Wakil Ketua Komisi VIII DPR yang menaungi pembahasan bidang pemberdayaan perempuan dan anak, mengusulkan penarikan RUU PKS dari Prolegnas prioritas tahun 2020 karena pembahasannya sulit. Ia menambahkan, sejak periode lalu masih terjadi perdebatan terkait judul RUU, definisi kekerasan seksual, hingga pemidanaan di dalam RUU PKS.
Pernyataan itu menyulut reaksi berbagai elemen masyarakat, salah satunya Komisi Nasional (Komnas) Perempuan sebagai inisiator RUU ini.
Pencabutan 16 RUU dari prolegnas adalah sebagian cerminan masalah yang ada dalam legislasi kita. Setiap tahun, jumlah RUU yang dibahas menjadi undang-undang (UU) selalu tidak sesuai dengan target yang ditetapkan DPR dan pemerintah. Perbaikan perlu dilakukan.
Mekanisme pembentukan UU
DPR dan pemerintah menyusun Prolegnas untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas. Prolegnas jangka menengah memuat arah dan kebijakan hukum nasional, dan daftar RUU yang ingin diselesaikan dalam 5 tahun (satu masa keanggotaan DPR). Sementara, Prolegnas Prioritas Tahunan merupakan pelaksanaan rencana jangka menengah yang dilakukan setiap tahun. Dalam pelaksanaannya, DPR dan pemerintah masing-masing membuat daftar RUU yang mereka usulkan untuk masuk dalam Prolegnas.
Sesuai Undang-Undang (UU) No. 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, DPR dan pemerintah kemudian membahas dan menyepakati bersama RUU apa saja yang masuk dalam Prolegnas. DPR dan pemerintah kemudian membahas RUU-RUU yang disepakati melalui dua tingkat pembicaraan.
Pembicaraan pertama dilakukan dalam rapat-rapat komisi yang terbagi ke dalam 11 Komisi. Tugas komisi dalam pembentukan undang-undang adalah mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan penyempurnaan RUU yang termasuk dalam ruang lingkup tugas dan mitra kerja masing-masing.
Baca juga: RUU PKS Dicabut dari Prolegnas, Pemerintah Berpihak Kepada Siapa?
Sebagai contoh, Komisi I menangani RUU di bidang pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, intelijen. Contoh lainnya, Komisi VIII menangani RUU di bidang agama, sosial, kebencanaan, dan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, salah satunya RUU PKS.
Pembicaraan kedua dilakukan dalam rapat paripurna DPR yang berisi penyampaian laporan proses pembicaraan pertama, pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap anggota DPR, dan pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang ditugaskan.
RUU yang telah mendapat persetujuan DPR dan presiden diserahkan kepada presiden untuk disahkan menjadi UU dengan dibubuhkan tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan, serta diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Perjalanan panjang RUU PKS
Dari 16 RUU yang dicabut dari Prolegnas Prioritas 2020, RUU PKS adalah salah satu yang paling mendapat perhatian publik dan kelompok sipil.
Komnas Perempuan mengusulkan RUU PKS pada tahun 2012 karena menilai Indonesia dalam situasi darurat kekerasan seksual.
RUU PKS mengatur sembilan jenis kekerasan seksual: Eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. RUU PKS melengkapi kekosongan hukum karena Kitab Hukum Acara Pidana (KUHP) saat ini yang ada hanya mengatur mengenai perkosaan dan pencabulan.
Selain itu, RUU PKS memuat restitusi, perampasan keuntungan, kerja sosial, pembinaan khusus, pencabutan jabatan, dan pengumuman putusan hakim terkait pelaku yang tidak diatur dalam KUHP.
Sejak 2012, DPR baru meminta Komnas Perempuan untuk menyerahkan naskah akademik RUU ini pada 2016. Naskah akademik adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap masalah tertentu dalam suatu RUU. Lalu, baru pada tahun 2017, DPR menyepakati RUU PKS sebagai usulan inisiatif DPR.
Pada 2018, pembahasan RUU PKS mulai menemui jalan berliku. Beberapa anggota parlemen mulai mempermasalahkan beberapa hal yang dalam RUU, seperti pemuatan marital rape sebagai kekerasan dan perlindungan terhadap lesbian, gay, bisexual, and transgender (LGBT). Mereka menganggap ini bertentangan dengan agama.
Marital rape adalah hubungan seksual antara pasangan suami istri dengan cara kekerasan, paksaan, ancaman atau dengan cara yang tidak dikehendaki pasangannya masing-masing. Bahkan, ada yang menganggap adanya RUU PKS justru memberi celah masyarakat melakukan zina dan seks bebas.
Kebuntuan soal RUU PKS terus bertahan hingga akhir masa jabatan DPR periode 2014-2019.
Pembahasan di tahun 2019 juga cenderung sedikit karena terpotong dengan masa pemilu serentak. Alhasil, RUU PKS dioper ke anggota dewan periode 2019-2024.
Baca juga: Aktivis: DPR Anggap Remeh RUU PKS
DPR periode 2014-2019 telah melakukan setidaknya 15 kali pembahasan dan belum bisa menelurkan UU PKS. Sementara, DPR periode 2019-2024 belum satu kali pun membahas RUU PKS dan mereka sudah mengenyahkannya dari program legislasi tahun ini.
Ketua Baleg Supratman Andi Agtas berjanji bahwa 16 RUU yang dicabut, termasuk RUU PKS, bakal dimasukkan dalam Prolegnas tahun 2021.
Problematika Prolegnas dan langkah pembenahan
Prolegnas menghadapi permasalahan yang sama dari tahun ke tahun. Dari aspek jumlah, target RUU yang tercantum dalam Prolegnas selalu tidak tercapai. Dari awal penggunaannya di tahun 2005, Prolegnas selalu diawali dengan target yang ambisius dan diakhiri dengan capaian yang tidak bagus.
Tingginya target Prolegnas dari tahun 2005 hingga 2014 selalu berujung dengan capaian RUU yang jauh lebih rendah. Rata-rata capaian pembentukan UU setiap tahunnya hanya 32 UU, angka itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan target rata-rata pengesahan RUU yang mencapai 74 RUU.
Dampaknya, Badan Legislasi (Baleg) DPR harus mengeluarkan beberapa RUU dari Prolegnas karena ketidaksanggupan memenuhi target.
Dalam pelaksanaannya, tidak ada standar yang jelas dalam menilai RUU yang perlu dicabut dari daftar prioritas. RUU PKS, misalnya, di berbagai media hanya disebutkan dikeluarkan karena pembahasannya “agak sulit” tanpa penjelasan lebih lanjut. Di sisi lain, RUU Cipta Kerja yang memiliki ruang lingkup amat luas dengan materi yang sangat banyak dan kompleks, tetap dibahas bahkan pada saat berlangsungnya masa reses.
Ke depannya, ada beberapa hal yang harus dibenahi dari Prolegnas. Pertama, penentuan target Prolegnas harus mempertimbangkan kapasitas DPR, ketersediaan waktu legislasi, dan mekanisme pembahasan suatu RUU.
Kedua, syarat suatu RUU bisa dimasukkan dalam Prolegnas harus diperketat. Misalnya, RUU yang diprioritaskan sudah harus dilengkapi naskah akademik dan telah memenuhi teknik penyusunan RUU yang baku sehingga pembahasan di DPR tidak lagi memperdebatkan persoalan “titik-koma”, tetapi fokus ke isi.
Ketiga, DPR harus mempertimbangkan faktor berat-ringannya isi suatu RUU dalam penentuan masuk Prolegnas; misalnya dari jumlah pasalnya, luas cakupan, hingga apakah materi pengaturannya sama sekali baru atau asing.
Keempat, DPR harus membatasi diri untuk tidak membahas RUU yang masuk di tengah tahun berjalan dan tidak masuk Prolegnas sejak awal, sehingga bisa benar-benar fokus pada RUU-RUU prioritas.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.