Semua Mau Jadi ‘Content Creator’: Profesi Jurnalis Sepi Peminat, Masa Depan Jurnalisme Suram?
Dari beban kerja, gaji rendah, sampai redaksi yang tak aman dan inklusif: alasan profesi jurnalis kehilangan peminat?
“Gue kan diundang jadi dosen tamu. Terus temen gue si dosen (yang mengundang) bilang, anak jurnalistik mereka cuma tiga orang. Yang lain pengin jadi content creator.”
Obrolan ini terjadi sekitar setengah tahun lalu. Salah satu kawan jurnalis yang bekerja buat perusahaan media internasional curhat tentang pengalamannya diundang jadi dosen tamu buat mahasiswa ilmu komunikasi. Kampus itu termasuk lima besar universitas paling ramai pendaftar di Indonesia.
Ketika mendengarnya, saya tak kaget-kaget amat. Saya memang bukan mahasiswa ilmu jurnalistik, tapi sempat bergabung jadi anggota pers mahasiswa saat kuliah. Dalam rentang 2011-2015 itu, kabar tentang mahasiswa ilmu komunikasi lebih memilih penjurusan humas (public relation), ketimbang jadi jurnalis adalah hal wajar. Hampir di tiap angkatan, lebih ramai yang memilih peminatan humas. Bahkan, anggota pers kampus kami juga banyak yang tak ingin jadi jurnalis setelah merasakan jadi jurnalis kampus.
Baca juga: Kenapa Pemecatan Massal VICE dan Masa Depan Buruk Jurnalisme Tak Mengejutkan?
“Kayaknya, aku enggak akan kuat,” kata seorang kawan yang sekarang bekerja di agensi iklan. Dari sembilan orang jurnalis kampus di angkatan saya, hanya saya sendiri yang akhirnya terjun jadi jurnalis. Setelah angkatan saya, tak ada satu orang pun alumni pers kampus kami yang sekarang bekerja sebagai jurnalis purnawaktu.
Namun, apakah circle saya bisa menggambarkan sepinya peminat jurnalistik? Kalau iya, apa dampaknya?
Saya mencoba menemukan jawaban lebih general dengan mencari statistik jumlah mahasiswa jurnalistik di Indonesia. Setelah mengobok-obok internet dan situs Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti), data itu belum ada. Kalau ingin tahu jumlah pasti mahasiswa S1 Ilmu Komunikasi, lalu mengerucutkannya per angkatan, dan mencari persentase mereka yang memilih penjurusan jurnalistik, saya cuma punya pilihan manual: bertanya pada semua kampus yang punya jurusan ilmu komunikasi di Indonesia, minta izin mengumpulkan data, lalu mengolahnya sendiri.
Pekerjaan makan waktu panjang begini sudah tidak relevan di dunia jurnalisme online. Di industri jurnalisme kita, jurnalis yang punya waktu panjang untuk meliput satu angle saja dalam satu waktu, tanpa melakukan pekerjaan lainnya, adalah sebuah keistimewaan.
Satu-satunya data yang mendekati ada di penelitian Remotivi, 2021 lalu. Dalam “Mengapa Ada Banyak Mahasiswi Jurnalistik Tetapi Sedikit Jurnalis Perempuan?”, mereka mencatat jumlah mahasiswa yang memilih ilmu jurnalistik angkatan 2016-2018 di empat universitas: Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Diponegoro, Universitas Padjajaran. Totalnya 338 orang dengan catatan: 109 laki-laki dan 229 perempuan.
Salah satu temuan penelitian itu: Sebanyak 65 persen responden laki-laki dan 63 persen responden perempuan tidak memprioritaskan karier jurnalistik sebagai pilihan utama pekerjaan setelah lulus kuliah. Hanya 2,6 persen responden laki-laki dan 6 persen responden perempuan yang memilih jurnalis sebagai karier utama setelah kuliah.
Baca juga: MadgeTalk: Pemberitaan Media Makin Tak Bermakna, Kita Harus Bagaimana?
Komentar-komentar berikut dicatat Remotivi dalam penelitian tersebut saat berdiskusi langsung dengan partisipan FGD yang mereka bikin:
“Sebatas tertarik saja dengan jurnalisme, namun kurang tertarik untuk dijadikan profesi.” (Perempuan, angkatan 2016, pernah magang)
“Tidak menutup kemungkinan jadi jurnalis tapi jadi pilihan terakhir.” (Laki-laki, angkatan 2017, belum magang)
“Saya menempatkan profesi jurnalis sebagai alternatif saja karena risiko kerja tinggi dan jam kerja tidak sesuai dengan gaji.” (laki-laki, angkatan 2016, pernah magang)
Gaji rendah dan beban kerja yang berat adalah faktor utama yang bikin minat para mahasiswa ini kurang.
Kerja Rodi di Balik Romantisasi Profesi Jurnalis
“Rona” tidak termasuk partisipan penelitian Remotivi, tapi dia juga dulu mahasiswi ilmu jurnalistik di salah satu kampus di Jawa Barat yang enggan jadi jurnalis setelah lulus kuliah. Sayangnya, nasib berkata lain. Ia sempat jadi jurnalis di salah satu media nasional di Jakarta, bekerja buat divisi hard news atau berita lempang.
“Sebenarnya berawal dari ‘ya sudah, kerja dulu aja jadi jurnalis, hitung-hitung perbanyak portofolio’ yang berujung jadi ‘anjir, capek banget, mau resign aja tapi mesti tunggu dapet kerjaan lain dulu’,” kata Rona pada saya. Perkara begini sering terjadi buat mahasiswa ilmu komunikasi, setidaknya begitu testimoni Rona melihat teman-teman sendiri. “Biasanya tempat magang akan nawarin, atau malah ditawarin senior yang udah duluan kerja di media,” tambahnya.
Keengganan Rona bermuara serupa hasil penelitian Remotivi. Dia sudah tahu kalau beban kerja jurnalis amat berat, belum lagi gaji pas-pasan. Semua diketahuinya saat sempat bergabung dengan pers kampus.
“Lucunya, belakangan gue baru sadar kalau beban kerja berat ini diromantisasi,” cerita Rona. Di pers kampusnya, mengerjakan tabloid atau mengejar tulisan sampai larut adalah hal wajar. Hal macam bergadang di sekre sampai dimarah-marahi senior yang jadi redaktur adalah hal biasa. Buat yang bisa mengikuti sistem ini akan diganjar label anggota loyal, buat yang tidak akan dianggap lemah.
Baca juga: Jauh Panggang dari Api: Idealisme vs Realitas Jadi Wartawan Daerah
Serupa pengalaman Rona, “Jeni” (26 tahun), juga mengamini romantisasi beban kerja berat ini. Ia yang dulu sempat bekerja dua tahun sebagai jurnalis media online, akhirnya memutuskan resign dan beralih profesi. “Aku sempat heran, kenapa nulis 10 berita straight news sehari waktu itu wajar dan enggak ada yang protes. Soalnya aku betulan kewalahan, sampai gak sempat laundry, beresin kamar, terus makan berantakan gitu lho. Kerjaan kok kayak enggak kelar-kelar, padahal pergi pagi, pulang dini hari,” kata Jeni sambil ketawa.
Ia bercerita, kawan-kawan reporter yang biasa ngetem di pos-pos tertentu bahkan suka saling meledek tentang jumlah kuota harian mereka. “Siapa yang lebih sedikit ya dikata-katain, dianggap kurang jago dibanding yang kuotanya banyak,” tambah Jeni.
Romantisasi beban kerja ini dipahami Rona dan Jeni sebagai hasil dari model bisnis media yang menghamba pada jumlah klik. Kuantitas konten lebih didahulukan banyak dapur redaksi, ketimbang kualitas, apalagi kesejahteraan jurnalisnya.
“Boro-boro bikin berita bagus, atau kepikiran bikin karya bagus. Pada mikirin kuota harian dulu lah,” tambah Rona.
“Aku dulu sempat tanya editorku, bukan protes. Tapi, ya malah dinyinyirin. Dia bilang dia sempat di zaman nulis berita sampai 16-an satu hari,” kata Jeni. Dari sana, dia sadar kalau masalah romantisasi ini struktural dan sulit diurai.
Melihat jenjang karier dan kepuasan menghasilkan karya baik yang buruk, bikin Jeni makin mantap pindah haluan dari jurnalisme. Dia tak ingin profesi barunya disebut demi menjaga identitas, tapi dia bilang gaji dan beban kerjanya sekarang jauh lebih masuk akal. “Seenggaknya bisa tidur lebih beres sih daripada dulu jadi (jurnalis),” tambahnya.