Environment Issues

Hutan Mangrove Kami Berubah Jadi Gedung-gedung Tinggi

Luas mangrove di Indonesia semakin berkurang, padahal ia punya banyak manfaat untuk mengatasi imbas perubahan iklim. Kita tak bisa diam saja sekarang.

Avatar
  • June 12, 2023
  • 6 min read
  • 897 Views
Hutan Mangrove Kami Berubah Jadi Gedung-gedung Tinggi

Sewaktu pulang kampung ke Sulawesi April lalu, Direktur Program Kelautan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Ilman Muhammad, mengajak anaknya berkunjung ke hutan mangrove. Sebab, baginya hutan itu bukan sekadar konservasi. Ada masa kecil yang Ilman habiskan di sana, dan meninggalkan memori sampai saat ini.

“Dulu pulang sekolah main di situ, nangkep ikan bareng teman-teman. Makanya pengen anak merasakan hal yang sama,” cerita Ilman pada Magdalene, Rabu (7/6).

 

 

Namun, begitu sampai di sana, hutan mangrove sudah tergantikan dengan jajaran bangunan. Bangunan yang didirikan untuk pengembangan bisnis dan berorientasi ekonomi. Suatu hal yang disayangkan Ilman, karena masyarakat mementingkan materi ketimbang mempertahankan fungsi yang dimiliki mangrove.

Pengrusakan mangrove tentu terjadi di berbagai tempat. Pada 2022, hutan mangrove di pesisir Sulawesi Barat rusak akibat penebangan liar oleh masyarakat. Lahannya dialihkan fungsi menjadi tambak udang. Sementara kayunya dimanfaatkan untuk kayu bakar.

Kemudian, Mongabay melaporkan, terjadi ekspansi tambak dari Sulawesi Selatan ke berbagai daerah lain: Sulawesi Utara, Kalimantan, Sumatera, dan Nusa Tenggara. Di Papua, hutan mangrove terancam oleh perluasan sawit. Sebab, pembuatan tambak selalu gagal akibat ombak tinggi mencapai tiga meter.

Baca Juga: Bencana hingga Kematian di Depan Mata, Kenapa Kita Masih Cuek pada Krisis Iklim?

Lain lagi di Jakarta. Kerusakan mangrove disebabkan kegiatan reklamasi kota-kota pantai, pembangunan permukiman, dan sedimentasi. Imbasnya, sampah-sampah menutup aliran air laut sehingga air payau—tempat ekosistem mangrove—berubah menjadi air tawar.

Berbagai kerusakan itu merupakan bagian dari perubahan ekosistem mangrove. Berdasarkan pengamatan Ilman, perubahan mulai terjadi sejak 1980, salah satunya disebabkan eksploitasi mangrove. Puncaknya terjadi pada 1997-2000 ketika krisis moneter. Saat itu nilai rupiah menurun, membuat harga udang naik drastis. Kondisi ini mendorong warga membuka lahan baru untuk tambak udang, sehingga ekosistem mangrove beralih fungsi.

Kondisi ini juga terjadi di Suaka Margasatwa Muara Angke. Air payau berubah menjadi air tawar, dan tumbuh tanaman invasif seperti plumpung dan eceng gondok. Akibatnya, mangrove tidak dapat tumbuh dengan baik. Ditambah banyaknya sampah yang tidak terkontrol, membuat lumpur menutupi permukaan air.

“Biji mangrove di tanah terhalang (sampah yang ada di permukaan), jadi enggak bisa tumbuh. Satwa juga berkurang karena enggak nyaman tinggal di situ,” jelas Ilman.

Menurutnya, ada dua faktor penyebab yang mengganggu dinamika pertumbuhan mangrove: Dinamika oseanografi karena pembangunan di wilayah pantai—mengubah pola arus pantai yang menjaga keseimbangan sedimen di wilayah pesisir, dan sedimentasi yang semakin tinggi di dataran tinggi karena tata guna lahan.

“Itu yang bikin sedimen nutupin mangrove, jadinya air laut enggak bisa masuk dengan leluasa. Akhirnya air payau berubah jadi air tawar,” tutur Ilman.

Realitas tersebut mengurangi efisiensi mangrove yang memiliki banyak manfaat. Sebab, mangrove terhambat untuk berkembang dengan baik.

@magdaleneid

Minggu lalu, kami ikutan nanam mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke. Tanaman mangrove jadi salah satu hal yang fundamental buat mencegah banjir abrasi dan sampah di Jakarta. Tapi sayangnya masih belum banyak yang tahu. By the way, pada tahu nggak gimana cara nanam mangrove? Seberapa besar sih mangrove yang ada di Indonesia? Cus, ikutin perjalanan kami nanam mangrove bersama @Ys. Konservasi Alam Nusantara 🌱 Nantikan juga series liputan kami soal lingkungan lainnya di series #KrisisIklimdiDepanMata #jagabumikita #pohonmangrove #konservasialam #krisisiklim #serunyamembaca

♬ suara asli – Magdalene – Magdalene

Mengenal Fungsi dan Manfaat Mangrove

Banjir bandang dan Badai Seroja yang terjadi di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada 2022, mengakibatkan kerusakan di 17 kabupaten dan kota. Namun, Kampung Kuya yang terletak di Desa Matawai Atu, Sumba Timur, tidak mengalaminya. Padahal, lokasi Kampung Kuya sangat berdekatan dengan laut.

Hal itu berkat mangrove yang dipertahankan warga Kampung Kuya. Mangrove menahan arus air laut yang mengikis dataran pantai, sehingga kampung tersebut selamat dari banjir dan abrasi.

Yang terjadi di Kampung Kuya adalah contoh peran mangrove sebagai tembok pertahanan bencana. Sementara kampung lainnya terdampak bencana, lantaran memangkas habis dan memanfaatkan lahan bekas mangrove untuk memperluas tembok rumah. 

Kondisi itu mencerminkan kehidupan sebagian orang Indonesia yang menetap di wilayah pesisir, sehingga mangrove bermanfaat untuk meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap perubahan iklim. Sekaligus mengingatkan pentingnya menjaga hutan mangrove. Terutama bagi warga Jakarta, berkaca dari potensi kota ini tenggelam akibat penurunan tanah dan kenaikan tinggi muka laut.

Baca Juga: Problem Perempuan Penjaga Hutan: Akses Minim hingga Kesenjangan Upah

Di sisi lain, mangrove juga dapat meningkatkan produktivitas biota air, menjadi habitat bagi spesies fauna tertentu, serta menjaga kualitas air tanah di daratan. Kemudian berperan sebagai penyedia tanaman pangan, obat-obatan, dan kayu bakar.

Sayangnya, pada 2021 Badan Pusat Statistik melaporkan, luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 3,63 juta hektare—sekitar 20,37 persen dari total di dunia. Sementara di Jakarta, luasnya tidak lebih dari 63,2 hektare. Luas itu sebenarnya semakin berkurang selama delapan tahun terakhir akibat deforestasi.

Lalu, apa yang perlu dilakukan untuk menjaga ekosistem mangrove?

Pentingnya Restorasi Mangrove

Pulihnya ekosistem mangrove ditandai dengan meningkatnya eksistensi biota, yang sebelumnya menurun. Hal itu didorong lewat restorasi, untuk mengatasi peralihan fungsi kawasan hutan mangrove.

Sejauh ini, terdapat sejumlah daerah yang merestorasi mangrove. Misalnya Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. Pada 2020, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menanam lebih dari 500 ribu bibit mangrove pada area seluas 65,64 hektare. Melansir Mongabay, penanaman tersebut sekaligus upaya Kalimantan Barat untuk menjadi pusat mangrove dunia.

Kemudian di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, para nelayan memulihkan hutan mangrove di lahan bekas tambak. Hasilnya terbentuk ekosistem mangrove, yang memberikan ruang bagi udang dan kepiting untuk berkembang biak.

Dalam tulisannya di Kompas, Nikson Sinaga mengungkapkan ekosistem tersebut turut membantu ekonomi para nelayan. Sebelumnya, kehidupan mereka terpuruk lantaran pekerjaan di tambak merugi, setelah pakan alami dari bekas hutan mangrove habis.

Baca Juga: Cerita Penjaga Hutan di Sumba Timur: Hidup Kami Bergantung pada Alam

Sementara di Suaka Margasatwa Muara Angke, dampak restorasi yang dilakukan sejak 2021 tak hanya terlihat dari mangrove yang tumbuh dengan baik. Jenis spesies satwa pun meningkat: 20 jenis burung laut, 40 jenis burung terestrial, dan 18 jenis herpetofauna.

Ilman mengungkapkan berbagai cara yang dilakukan YKAN bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), untuk merestorasi mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke. Pertama, memperbaiki gangguan aliran air, dengan membersihkan sampah setiap bulan. Baik oleh petugas internal YKAN, maupun dalam skala besar yang melibatkan eksternal—seperti relawan dari korporasi yang bekerja sama dengan YKAN.

Namun, belakangan ini pembersihan berskala besar terhenti. Menurut Ilman, kedua penyebabnya saling berkaitan: Peningkatan jumlah sampah dan belum ada relawan yang berpartisipasi. Padahal, YKAN membutuhkan orang dalam jumlah besar untuk membersihkan sampah.

“Sebenarnya pembersihan ini bukan solusi utama, sumber sampahnya yang harus diperbaiki,” ujar Ilman. “Selama masih banyak sampah yang masuk, selama itu pula kita harus mengeluarkan sampah dari mangrove.”

Kedua, menyiapkan perangkap untuk mencegah masuknya sampah. Perangkap itu terbuat dari bambu untuk menghalangi sampah, supaya hanya air yang mengalir ke ekosistem mangrove.

Ketiga, membersihkan tanaman invasif, seperti plumpung dan eceng gondok. Diikuti penyediaan media dan penanaman mangrove, dan dipastikan supaya mangrove bisa tumbuh.

Restorasi tersebut disertai dengan pembangunan fasilitas, untuk BKSDA dan pengunjung. Misalnya jembatan, sebagai jalanan agar pengunjung dapat mengakses suaka margasatwa. Kemudian menara, untuk pengamatan burung dan memantau ekosistem mangrove secara menyeluruh.

“Fasilitas ini penting untuk mendukung sarana pendidikan tentang mangrove,” terang Ilman.

Meskipun demikian, sarana pendidikan tidak cukup dibentuk lewat pembangunan fasilitas. Perlu kampanye kesadaran lingkungan yang melibatkan masyarakat, untuk berkontribusi dan mengenal lebih jauh tentang mangrove. Salah satunya dengan melakukan penanaman mangrove bersama.

Terlepas dari upaya edukasi dan restorasi mangrove, hal utama yang penting dilakukan adalah mengurangi produksi sampah. Ini dikarenakan pembuangan sampah berdampak besar pada lingkungan, termasuk ekosistem mangrove.

“Pemerintah juga bisa membuat sistem, supaya sampah enggak berakhir di mangrove. Soalnya sampah-sampah itu mengganggu ekosistem, sampai (mangrove) susah tumbuh karena terhalang (sampah),” kata Ilman.

Terlepas dari fungsi mencegah bencana dan sarana edukasi, mangrove memiliki peran lebih bagi kehidupan masyarakat Indonesia. Terlebih masyarakat yang tinggal di pesisir, memiliki keterkaitan erat dekat mangrove. Maka itu, tak seharusnya ekosistemnya dirusak demi kepentingan ekonomi—melalui alih fungsi lahan menjadi tambak, bangunan, maupun pemukiman.

“Bukan hanya nilai ekonomi yang harus dilihat dari mangrove, ada unsur sosial dan budaya yang harus dipertahankan,” tutup Ilman.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari


Avatar
About Author

Aurelia Gracia

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *