December 5, 2025
Issues People We Love Politics & Society

Mengangkat yang Terkubur: Upaya Perempuan Tionghoa Angelina Enny Gali Akar Diskriminasi Rasial 

Angelina Enny, perempuan penulis Tionghoa, menjadikan sastra sebagai ruang untuk memahami identitas bangsa, salah satunya dalam mengungkap akar diskriminasi rasial terhadap warga Tionghoa.

  • October 9, 2025
  • 5 min read
  • 4281 Views
Mengangkat yang Terkubur: Upaya Perempuan Tionghoa Angelina Enny Gali Akar Diskriminasi Rasial 

Saya masih mengingat jelas suasana malam itu, (7/8), saat duduk di antara puluhan pengunjung yang memenuhi ruang diskusi “Perempuan Tionghoa dan Sejarah Indonesia” di Gramedia Jalma, Blok M, Jakarta Selatan. Acara ini menjadi salah satu rangkaian Literature and Ideas Festival, mempertemukan dua penulis perempuan berdarah Tionghoa, Angelina Enny dan Grace Tioso. 

Diskusi berpusat pada dua karya penting mereka: Mencari Sita di Hindia Belanda (KPG, 2024) dan Perkumpulan Anak Luar Nikah (Noura Publishing, 2023). Pengunjung diajak menelusuri jejak identitas dan sejarah Tionghoa di Indonesia. Saya tertegun ketika Angelina dan Grace menekankan, saat membicarakan etnis Tionghoa, memori kolektif kerap berhenti pada tragedi 1998, seolah peristiwa itu satu-satunya yang mendefinisikan keberadaan mereka di Nusantara. 

Baca Juga: Menolak Lupa, Kerusuhan Mei 1998 

Tragedi kemanusiaan 1998 memang meninggalkan bekas mendalam. Banyak yang kemudian menganggap diskriminasi terhadap etnis Tionghoa bermula pada masa Orde Baru, seolah masalah ini muncul tiba-tiba. Faktanya, diskriminasi telah berlangsung lebih dari satu abad. Kesadaran sejarah inilah yang ingin disampaikan Angelina Enny melalui bukunya, Mencari Sita di Hindia Belanda

Buku itu bercerita tentang Ernest Ageerbek, yang mencari ibu kandungnya, pribumi di Hindia Belanda. Dalam perjalanan, ia bertemu hantu pendongeng, gadis keturunan Tionghoa penjual opium, dan sekelompok laki-laki Tionghoa. Petualangan ini memancing pertanyaan mendalam tentang identitas bangsa, sekaligus membuka sejarah yang jarang disentuh. 

Dalam wawancara khusus pada (8/10), saya berbincang langsung dengan Angelina. Perbincangan ini mengingatkan diskriminasi tidak muncul dalam ruang hampa. Sebaliknya, ia sering merupakan warisan kolonial yang terus dipelihara. Sastra dalam hal ini, menjadi medium yang tepat untuk menyingkap sejarah yang terkubur atau terpinggirkan. 

Baca Juga: 20 Tahun Tragedi Mei 1998, Keluarga Korban Terus Minta Keadilan

Luka yang Tak Pernah Dibicarakan 

Angelina Enny telah lama menjadikan identitas ketionghoaannya sebagai inti karya-karyanya. Identitas itu hadir organik dalam berbagai bentuk, mulai dari buku puisi In Between, Di Antara (KPG), kolaborasi dengan penyair Belanda Robin Block, hingga naskah Malam Kelima Belas, yang mengangkat kisah Kerusuhan Mei 1998 dan sempat masuk dalam Daftar Panjang Jakarta Film Fund. Bagi Angelina, menulis tentang identitas bukan sekadar pilihan artistik, melainkan cerminan pengalaman hidupnya sendiri. 

Lahir dari keluarga besar dengan kakek yang bermigrasi langsung dari Tiongkok, ia tumbuh dengan cerita getir tentang sentimen rasial yang dilembagakan negara. Luka ini bukan hanya terkait tragedi 1998. Ia juga mengenang kekerasan terhadap warga Tionghoa pada 1965, saat keluarganya dituduh komunis. 

“Pamanku jadi korban tuduhan itu. Pamanku jadi gila, sering marah meluap-luap. Baru belakangan aku tahu, dia disekap dan disiksa di sebuah gedung karena dituduh komunis, padahal dia buruh biasa,” ujar Angelina. 

Selain itu, kakeknya yang turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia justru namanya tak diakui dalam sejarah. Luka diskriminasi rasial ini semakin menganga. Ketidaktahuannya terhadap akar masalah memicu rasa ingin tahu yang mendalam, hingga ia menelusuri diskriminasi sengaja dipelihara sejak era kolonial Belanda. 

Penelusuran itu membawanya pada pemahaman bahwa ketidakadilan terhadap warga Tionghoa berakar dari sistem sosial yang dengan sadar diciptakan penjajah untuk mengatur dan membedakan manusia berdasarkan ras. Mulai dari “Eropa,” “Timur Asing,” dan “Pribumi,” dengan komunitas Tionghoa di posisi ambigu. Maksudnya, orang Tionghoa dibutuhkan dalam ekonomi, tetapi dibatasi secara sosial dan politik.  

Peter Carey dalam Orang Cina, Bandar Tol, Candu & Perang Jawa (2008) menjelaskan etnis Tionghoa ditempatkan sebagai middleman minority. Mereka diberikan hak ekonomi tertentu, namun dibatasi secara sosial dan dijaga jaraknya dari kelompok bumiputra. Posisi ini membuat mereka penting dalam sirkulasi ekonomi kolonial, tapi sekaligus mudah dijadikan kambing hitam saat terjadi gejolak sosial. 

“Dari sini aku baru memahami bahwa stigma dan diskriminasi terhadap Tionghoa bukanlah hal baru. Ini warisan panjang yang sengaja dirancang sejak masa kolonialisme Belanda,” jelas Angelina. 

Pelembagaan diskriminasi rasial terlihat melalui kebijakan Wijkenstelsel dan Passenstelsel. Wijkenstelsel memaksa komunitas Tionghoa tinggal di wilayah khusus (pecinan), membatasi ruang gerak geografis dan sosial mereka. Passenstelsel mengharuskan setiap orang Tionghoa memiliki surat izin untuk bepergian di luar kawasan tersebut. 

Kedua kebijakan lahir tak lepas dari Geger Pecinaan, pemberontakan besar warga Tionghoa terhadap Belanda pada 1740 di Batavia, yang berakhir dengan pembantaian massal. Sejak itu, segregasi rasial diperkuat, dan pengendalian ketat terhadap warga Tionghoa semakin sistematis. 

Baca Juga: Catatan Hitam Indonesia dalam Lima Novel Sejarah 

Dalam Mencari Sita di Hindia Belanda, Angelina menekankan bagaimana kebijakan kolonial ini menorehkan trauma antar-generasi. Misalnya melalui karakter Poppy, gadis penjual opium, yang menyaksikan seorang sinse dan istrinya dipersulit masuk kota, ditangkap, dan kemudian dipenggal. 

Bagi Angelina, menarasikan akar diskriminasi rasial melalui sastra bukan sekadar estetika, melainkan tindakan politis. Sejarah panjang diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tidak boleh dibiarkan terkubur. Selama ini, isu rasial kerap dipakai untuk mengalihkan perhatian publik dari ketimpangan kekuasaan. Ini jadi strategi yang ditanamkan kolonial Belanda dan terus direproduksi. 

“Kita harus mengenal akar dan muasalnya. Dengan begitu, kita bisa lebih bijak menentukan sikap karena memahami bagaimana identitas kita terbentuk,” kata Angelina. 

Sastra, menurutnya, menjadi ruang aman dan reflektif untuk mengurai sejarah yang dipelintir atau dihapus. Masyarakat diajak tidak sekadar mengingat, tapi memahami konteks diskriminasi rasial yang mengakar, sehingga mampu bersikap lebih kritis terhadap narasi kekuasaan yang menyesatkan. 

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.